Cerpen: Mahdi Idris
Namaku Najaz. Aku lahir tiga puluh tahun yang lalu, ketika tanah ini disekap air mata dan darah saudaraku mengalir di setiap persimpangan jalan. Amat sulit kubayangkan suasana pasti pada masa kelahiranku itu. Aku hanya mendengarnya dari kakekku dan orang-orang yang hidup sezaman dengannya. Sedang ibuku tak banyak menceritakannya, selain waktu itu aku dilahirkan pada saat badai menerjang kampung, halilintar menggelegar dahsyat, suara gemuruh dari perut bumi seolah sedang murka. Batang-batang pepohonan bertumbangan, berpatahan, dan di sana-sini adalah kebinasaan maha dahsyat.
Masa kelahiranku tak bertanda baik, kata kakekku dan sebagian ahli perbintangan. Mereka menafsirkan, kehidupanku penuh dilema. Satu-satunya yang harus dilakukan, adalah aku harus dipeusijuek, untuk menjauhkan malapetaka yang menghampiriku. Mereka menginginkan semua itu tak membekas padaku, menurut anggapan mereka yang kini kuanggap konyol.
Entah hal apakah yang seterusnya terjadi pada awal-awal kehidupanku didunia ini. Sungguh, semua itu tak pernah terekam kembali dalam ingatanku. Yang kutahu hanya seorang wanita yang kusebut ”Ibuku,” dialah yang selalu kuhadirkan bayangannya pada setiap waktu. Dia pula yang telah mengubah segalanya dalam diriku. Rasa cinta dan kasih sayangnya telah membias padaku sebagai seorang individu tanpa daya.
Ia selalu melarangku mendekati sungai, karena takut tenggelam. Saat itu umurku beranjak delapan tahun. Pada hal semua orang tua di kampungku sangat mengharapkan anaknya dapat berenang, sebab kampungku rentan bencana banjir. Sering terjadi setahun dua kali, pada bulan Agustus sampai September. Bila sungai meluap, semua kampung di pinggir aliran sungai itu tenggelam berhari-hari. Bahkan sampai sebulan, airnya baru surut.
Anak-anak sebayaku bebas mengarungi banjir, karena mereka memang lihai dalam gelombang arus dahsyat itu. Bagiku, semua yang mereka lakukan hanya hayalan belaka. Tak mungkin, karena aku dikatakannya “suhu batu,” sepandai apapun aku berenang tetap jua tenggelam.
Ibu melarangku memanjat pohon, katanya akan jatuh bila menginjak cabang tunggal, juga atas alasan “suhu batu,” yang berat dipikul. Ibuku juga selalu mencari kutu di kepalaku, karena bila banyak kutu, aku akan diterbangkan ke rimba raya, singgasananya sang raja. Bahkan yang amat menakutkan, aku akan berubah menjadi kutu seperti mereka yang sudah diterbangkan ketika tidur pada malam hari. Untuk menanggapinya, aku hanya menjawab, “aku takut.”
Ketika matahari hampir terbenam, mambang kuning keluar memendar cahaya keemasan di kaki langit, memantul indah dari jauh kutatap; terpana, ibu cepat keluar dari rumah menyuruhku agar segera masuk kedalam. Katanya pada saat inilah Ratu Penguning datang mencari dayang dari ruh orang-orang yang mati karena terserang penyakit secara mendadak, bagi mereka yang di luar pada saat mambang kuning itu datang.
Ibu tak pernah membiarkanku di luar batas. Semua pantangan itu lazim kuturuti, sebagai anak semata wayangnya. Aku selalu bersamanya, hingga aku tak mampu bekerja seperti kawan sebayaku. Pekerjaanku hanya di rumah, menemaninya, menggiling bumbu masakan dengan batee neupeh, memasak, membuat kue jika sudah dekat lebaran, dan hal lain yang patut dikerjakan oleh kaum perempuan.
***
Pada ketika ibu meninggal, umurku lima belas tahun. Ayah tak jua pulang, yang kata ibu, ia merantau sewaktu aku masih bayi. Namun bagiku ibulah yang kurasakan kehilangannya. Aku juga tak berarti putus asa karena kepergiannya yang tak pernah kembali seperti sedia kala. Pada saat itulah aku ingin mencari jati diri yang sebenarnya. Siapakah diriku hakikatnya, sejauh manakah perjalanan hidup yang telah kutempuh. Berhari-hari aku merenungkannya. Sebab aku mulai mengerti semua ini sejak ibu menghilang di depan mata.
Hari belasungkawa selama tujuh hari kematian ibu telah berakhir. Para tetangga sudah mulai menghidupkan kembali dapurnya. Sebab sejak hari pertama ibu meninggal, orang-orang kampung; tetangga kami tak memasak di rumah. Mereka membawa anak-anak untuk makan di rumahku. Memang sudah menjadi adat-istiadat yang berlaku, di setiap rumah orang yang meninggal diadakan kenduri, mereka memasak dan memberikannya pada setiap pelayat, atau orang-orang yang berdoa supaya arwah mendapat ketenangan di alam barzakh. Selama tujuh hari mereka berdatangan dari berbagai kampung, sanak saudara, dan orang-orang yang mengetahui berita kematian itu.
Seusai pesta kematian ibu, kakekku yang sudah berumur delapan puluhan tahun itu duduk termangu, memikirkan utang selama kenduri tujuh hari sudah sampai masa pembayarannya. Tapi kakek tak punya uang untuk melunasi. Tak ada barang yang dapat dijual. Lama-lama aku merasakan juga kelinglungan orang tua itu. Namun, aku takkan membiarkannya untuk menjual tanah, satu-satunya warisan ibu untukku, ketika kakek mengutarakannya padaku. Agar semua itu tak berlarut-larut, maka kusimpulkan untuk bekerja, agar hutang itu terlunasi.
Mula-mula yang kuberitahukan kakek, bahwa aku punya tawaran pekerjaan dari seorang pedagang mie tepung di pasar. Semua kebohongan itu kuciptakan untuk menghilangkan keraguan tentang ketidaksanggupanku bekerja pada masa umur belia. Kakek langsung mengabulkan permintaanku. Karena tahu persis atas pekerja itu. “Hanya membantu penggilingan tepung!” kataku pada saat itu, hingga segera melenyapkan kebimbangannya.
Tapi nyatanya, aku ikut bang Rahim membelah kayu papan di gunung. Pekerjaan yang tak wajar dilakukan oleh anak seusiaku. Namun apa daya, hanya pekerjaan inilah yang dapat menghasilkan uang banyak, sekaligus mampu kulunasi utang walaupun berisiko tinggi. Di situlah kulanggar pantangan ibu. Aku mulai memanjat pohon dan menyebrang sungai. Tentunya tak lepas dari pengawasan bang Rahim yang telah mengetahui latar belakang hidupku.
***
Dalam waktu dua minggu, aku sudah dapat melunasi hutang. Namun, pekerjaan itu tak sembarang kutinggalkan. Sebab kakekku tak mampu lagi membiyai kebutuhan keluarga yang berjumlah lima orang. Saat itu, aku pun mulai menyadari dan memahami diriku sendiri, sebagai manusia tak berpendidikan tinggi. Tentunya, hidup penuh dilema, bukanlah tafsiran manusia dungu lima belas tahun lalu, yang sempat menggundahi ibuku.
Aku terlalu cepat untuk mandiri. Hidup ini telah mengajariku menghadapi segala hal. Hingga aku tumbuh dewasa di antara suara singsow membelah kayu, kicau burung, longlongan anjing hutan, arus sungai, kabut gunung, dan entah apalagi yang sering kujumpai di rimba raya. Alam bebas itu segera kusebutnya kawan sejati, biar kelak aku lebih hidup diperkotaan tanpa suara-suara alam yang selalu menghanyutkanku menuju muara air mata merindukan hidup yang terindah.
***
Sepuluh tahun tanpa rasa masyghul menyelimutiku. Hidup dari hutan ke hutan, dari gunung ke lembah, akhirnya perjalanan jualah yang berubah. Semua itu telah kutinggalkan, segumpal bimbang menyesakku; tujuan hidupku. Apa tujuan hidup sebenarnya, kemanakah sauh akan kulabuh, pada siapakah aku akan mempertaruhkan segalanya. Demi suatu jawab itu, kenangan lampau mulai memudar. Kuatur langkah setapak demi setapak, menelesuri jalan kebimbanganku selama ini. Jalan menuju Tuhan mulai kurambat, merambah belukar-belukar cahaya dalam kesemuan. Namun penuh keyakinan.
Tanpa segala apa yang memahat di awal perjalanan hidupku, kuretas keinginanku untuk berubah. Sebab kutahu, aku hanya sebuah kepalsuan. Menjalani semua yang tak pernah kutahu, manusia memang tak pernah tahu akan takdirnya.
Kini aku duduk menyepi, bersunyi sendiri. Mengharap secercah cahaya yang sebentar lagi menyinari, yakni cahya Tuhan. Kuharap jua pada-Nya, kelak aku adalah pengembara yang diridhai.[]
Tanah Luas, 19 Agustus 2009
Catatan (bhs. Aceh):
Peusijuek : tepung tawar
Batee Neupeh : Batu penggiling bumbu
Mahdi Idris adalah penulis sastra, bergiat di Balai Sastra Samudra Pasai. Kumpulan cerpennya yang telah terbit: Lelaki Bermata Kabut (Cipta Media, 2011). Menetap di desa Rayeuk Kuta Kec. Tanah Luas, Aceh Utara.