Oleh: Isma Tantawi
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
Abstract
The objective of this study is to determine and analyze the thinking of Gayo Lues community on the man and society in the Didong Jalu. The data in this research is analyzed based on both observation and documentation methods. The theoretical base used in this research is relied on literature sociological theoery suggested by Thomas Warton (1974) that literature work is considered to be expression of art and social document. The result of this study shows that Didong Jalu contains the thought of the Gayo Lues community.The Gayo Lues community believes that the first human being created by Allah s.w.t. was Adam and that Hawa (Eve) was the second. Adam and Hawa were ancestors of all man kind. In addition, the thinking of the Gayo Lues community also encompasses social life, family relationship and stratification in their community.
Key Words: Thinking, Gayo Lues community, human, social life, and Didong jalu
I. Pendahuluan
Didong sebagai tradisi lisan atau oral tradition (folklore) sudah berkembang sejak masuknya agama Islam di dataran tinggi Gayo, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia (L.K. Ara, 1995: 639). Agama Islam masuk ke Aceh pada abad ke-7 M. kira-kira 40 tahun setelah Nabi Muhammad s.a.w. wafat (Sutejo Sujitno, 1995: 71). Dalam Didong, sejak awal sampai saat ini nafas dan nuansa keislaman tetap bertahan. Bahkan Didong merupakan media dakwah untuk menyampaikan dan menyebarkan amanat keagamaan kepada masyarakat di samping menyampaikan pesan budaya suku Gayo itu sendiri.
Didong merupakan tradisi lisan suku Gayo sudah berakar dalam kehidupan masyarakatnya. Persembahan Didong diadakan pada pesta suka (pesta ayunan, pesta penyerahan anak kepada guru, pesta sunat rasul, dan pesta perkawinan) saja. Dalam Didong, diceritakan tentang kebudayaan suku Gayo, agama Islam (orang suku Gayo secara keseluruhan menganut agama Islam) dan waktulah-waktulah yang aktual, seperti peristiwa daerah, peristiwa nasional, dan peristiwa internasional.
Kata Didong, berasal dari bahasa Gayo, yaitu: dari akar kata dik dan dong. Dik, artinya menghentakkan kaki ke papan yang berbunyi dik-dik-dik. Kemudian dong, artinya berhenti di tempat, tidak berpindah. Jadi, kata Didong dapat diartikan bergerak (menghentakkan kaki) di tempat untuk mengharapkan bunyi dik-dik-dik. Bunyi dik-dik-dik selalu digunakan untuk menyelingi persembahan Didong. Menurut kamus Bahasa Gayo – Indonesia, Didong ialah sejenis kesenian tradisional yang dipertandingkan antara dua Guru Didong yang berasal dari dua kampung yang berbeda. Persembahan dimulai setelah salat Isa sampai sebelum salat Subuh, (M.J. Melalatoa, 1985: 71).
Kata Didong menjadi nama kesenian tradisional di Gayo Lues berdasarkan cerita rakyat (foklore), yaitu: Asal-usul Gajah Putih yang dikumpulkan oleh Sulaiman Hanafiah (1984: 140 – 149). Gajah Putih merupakan penjelmaan dari seorang sahabat yang sudah meninggal dunia. Ketika Gajah Putih ini akan dibawa ke Istana Raja Aceh oleh orang-orang yang diperintahkan oleh raja. Gajah Putih tidak mau berjalan dan melawan. Gajah putih menghentak-hentakkan kakinya ke tanah, sampai menimbulkan bunyi dik-dik-dik. Namun demikian, ketika sahabatnya yang membawa, Gajah Putih pun berjalan dan sampailah ke Istana Raja Aceh.
Gerakan Gajah Putih yang menghentak-hentakkan kakinya ke tanah dan menimbulkan bunyi dik-dik-dik, selalu ditirukan oleh orang-orang yang melihat kejadian itu. Akhirnya kebiasaan tersebut dijadikan dan digunakan pada waktu merasa gembira atau pada waktu menyampaikan amanat dan nasihat kepada anak, teman, masyarakat atau kepada sesiapa saja yang dianggap perlu untuk disampaikan. Oleh sebab itu, kebiasaan tersebut berlangsung sampai saat ini dan disebut dengan tradisi lisan Didong Gayo.
Didong Gayo dapat dibagi menjadi dua macam. Pertama, Didong Gayo Lues. Didong Gayo Lues berkembang di Kabupaten Gayo Lues dan Kabupaten Aceh Tenggara. Didong Gayo Lues pada umumnya berbentuk prosa (bebas) dan hanya pada bagian tertentu saja yang disampaikan berbentuk puisi (terikat) seperti pantun. Isi cerita di dalam Didong Gayo Lues berhubungan antara satu bagian dengan bagian lainnya.
Kedua, Didong Lut (Laut). Didong Lut berkembang di Kabupaten Aceh Tengah. Didong Lut berbentuk puisi (terikat). Isi Didong Lut tidak berhubungan secara langsung antara satu bagian dengan bagian lainnya. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa Didong Lut seperti puisi yang dinyanyikan dan setiap puisi memiliki makna masing-masing.
Didong Gayo Lues dapat dibagi tiga macam; yaitu, Didong Alo (Didong penyambutan tamu), yaitu: Didong dipersembahkan untuk menyambut tamu. Pemain Didong Alo berjumlah lebih kurang 10 orang dari pihak tuan rumah dan 10 orang dari pihak tamu. Didong Alo dipersembahkan sambil berlari arah ke kiri atau ke kanan. Didong Alo berisi tentang ucapan selamat datang dan ucapan terima kasih atas kehadiran tamu. Begitu juga dari pihak tamu mengucapkan terima kasih atas undangan dan sudah selamat diperjalanan sampai dapat selamat sampai ke tempat tuan rumah.
Didong Jalu (Didong Laga), yaitu Didong dipersembahkan pada malam hari oleh dua orang Guru Didong yang diundang dari dua kampung yang berbeda. Setiap Guru Didong didampingi oleh pengiring yang berjumlah 10 sampai 20 orang. Pengiring berfungsi untuk mendukung persembahan. Pada bagian tertentu (adini Didong) cerita Didong disambut oleh pengiring sambil bertepuk tangan serta menggerakkan badan ke muka dan ke belakang atau ke kiri dan ke kanan.
Didong Niet (Didong Niat) selalu dipersembahkan berdasarkan Niet seseorang. Misalnya Niet seseorang yang ingin mempunyai keturunan atau berkeinginan punya anak laki-laki atau perempuan. Jika keinginan ini dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa, maka Didong Niet ini pun dipersembahkan. Didong Niet ini mengkisahkan tentang anak yang diniatkan. Cerita dimulai dari awal pertemuan kedua orang tuanya. Kemudian pertemuan itu direstui serta dilanjutkan kepada jenjang peminangan dan pernikahan. Seterusnya cerita mengenai perkembangan bayi di dalam kandungan dan sampai bayi lahir ke dunia. Setelah itu cerita diteruskan ke pesta ayunan (turun mani) pemberian nama dihubungkan dengan hari kelahiran, agama (agama Islam), dan nama-nama keluarga seperti nama orang tua, kakek, nenek, dan lain-lain.
Cerita Didong yang menjadi objek penelitian ini adalah cerita Didong Jalu yang dipersembahkan oleh Guru Didong Ramli Penggalangan dan Idris Cike di Medan pada tanggal 11 dan 12 Desember 2004. Persembahan dimulai pukul 21.45 dan berakhir pada pukul 04.30 WIB.
II. Pemikiran tentang Manusia dan Kemasyaraakatan
Manusia dan masyarakat merupakan salah satu objek pengarang dalam mencipta karya sastra, sampai karya sastra itu merupakan gambaran tentang manusia dan masyarakat. Jadi, karya sastra menyajikan persoalan kehidupan yang sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif manusia, (Rene Wellek, at al, 1995: 109).
Menurut H.B. Jassin, (1981: 6) melalui karya sastra kita dapat memahami kehidupan manusia dan masyarakat, karena karya sastra merupakan gambaran kehidupan manusia dan masyarakat. Karya sastra adalah hasil kreativitas yang objeknya adalah manusia dan masyarakat. Apa yang ada di dalam kehidupan manusia dan masyarakat diungkapkan pengarang melalui bahasa, baik bahasa lisan maupun tulisan, (Atar Semi, 1988: 8).
Pemikiran tentang manusia dan masyarakat di dalam Didong Jalu berhubungan dengan manusia sebagai ciptaan Allah Swt. Nabi Adam a.s. sebagai manusia yang pertama, bagian tubuh manusia, manusia sebagai makhluk sosial, hubungan kekerabatan dan strata sosial.
1 Manusia Sebagai Ciptaan Allah
Menurut Damanhuri Djamil, (1985: 93) setelah muncul makhluk yang serba primitif, muncul pula makhluk-makhluk yang lebih sempurna. Secara perlahan makin kompleks, menuju pertumbuhan makhluk yang makin sempurna susunan dan kelengkapan tubuhnya. Pada puncak kesempurnaan ini, Allah Swt. menciptakan manusia, yang dimuliakan darjatnya.
Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan. Sebagaimana yang tergambar dalam Firman Allah Swt. surat Al-Hijr ayat 28-29, terjemahan Mahmud Junus, (1997: 238) maksudnya ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat; sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan ke dalamnya roh ciptaan-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.
Manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa atas Kudrat dan Iradat-Nya. Allah Swt. adalah pencita semesta beserta isinya, termamasuk manusia, makhluk yang paling istimewa, (Damanhuri Djamil, 1985: 47). Kehadiran manusia berhubungan dengan adanya jagat raya itu sendiri. Seluruh alam ini merupakan satu kesatuan, tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.
Manusia adalah makhluk Allah yang paling aktif dalam melihat terahadap realiti, sama ada di luar dirinya ataupun ke atas dirinya sendiri. Oleh karena itu, manusia selalu mengalami perubahan. Tamadun manusia tidak pernah berada pada satu titik tertentu, selalu berubah dan berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi yang dimiliki.
Masyarakat Gayo Lues meyakini bahwa manusia adalah ciptaan Allah Swt. dan sesuai dengan konsep agama Islam tentang kejadian manusia yang pertama; yaitu, Nabi Adam a.s. seperti diceritakan Guru Didong berikut ini:
Ada Nabi Adam, tidak berayah tidak beribu, yang diciptakan dari tanah. Tiba-tiba sudah terjelma sampai 3 hasta lebar dadanya. Sudah diciptakan oleh Allah. Setelah diciptakan wujud Nabi Adam, Allah menghembuskan roh ke ubun-ubun Nabi Adam, (Idris Cike, paragraf: 123).
Faham masyarakat Gayo Lues tentang manusia adalah sejajar dengan faham agama Islam. Bahwa manusia diciptakan oleh Allah dan manusia hidup di dunia ini hanya untuk mengabdi kepada Allah. Apa yang ada dan diperoleh manusia semuanya berasal dari Allah. Manusia hanya dapat berusaha sedangkan keputusan semuanya berasal dari Allah. Segala perbuatan manusia akan dibalas oleh Allah. Perbuatan baik akan diberikan pahala dan perbuatan salah akan diberikan dosa. Manusia yang memiliki pahala yang lebih banyak dari dosa akan dimasukkan ke dalam syurga sebaliknya manusia yang lebih banyak dosa dari pahala akan dimasukkan ke dalam neraka.
2 Nabi Adam Sebagai Manusia yang Pertama
Menurut ajaran Islam secara fisik manusia yang pertama diciptakan oleh Allah adalah Nabi Adam a.s. sedangkan secara nur (cahaya) yang pertama diciptakan oleh Allah Swt. adalah nur Nabi Muhammad s.a.w., (Muhammad Baihaqi, 1995: 1-3). Berikut ini akan diuraikan mengenai kejadian Nabi Adam a.s. secara fisik. Allah Swt. telah menurunkan perintah kepada malaikat Jibrail, Mikail, Israfil, dan Izrail untuk mengambil tanah dari beberapa bagian dunia ini, dan membawa tanah tersebut ke dalam syurga. Dengan perintah Allah s.w.t tanah tersebut ditata oleh keempat malaikat tersebut, sampai berbentuk tubuh manusia, (Damanhuri Djamil, 1985: 101)
Setelah tubuh manusia selesai dibuat, secara ghaib Allah Swt. meniupkan roh ke dalam tubuh manusia itu melalui ubun-ubun. Roh memasuki tubuh dan meresap ke seluruh bagian tubuh itu. Dengan cara demikian, tubuh itu berubah menjadi seorang manusia yang sempurna yang bernama Nabi Adam a.s. Dia manusia yang pertama dan dialah nenek moyang manusia yang mendiami muka bumi ini, (Labib MZ, Tanpa Tarikh: 12-13).
Manusia dikaruniakan kepadanya sesuatu yang tidak ada pada makhluk lainnya; yaitu, budi, akal, dan fikiran secara padu. Dengan budi, akal, dan fikiran manusia dijadikan oleh Allah Swt. sebagai khalifah, penguasa, dan pengatur di muka bumi ini.
Menurut Abdul G. Djapri, (1985: 27) Nabi Adam a.s. adalah orang yang pertama menerima perintah dari Allah Swt. untuk memimpin umat di muka bumi ini. Nabi Adam a.s. merupakan awal kehidupan manusia. Masyarakat Gayo Lues meyakini bahwa Nabi Adam a.s. adalah manusia yang pertama dan Nabi pertama dijadikan oleh Allah Swt. Seperti diceritakan oleh Guru Didong di bawah ini:
… Nabi Adam tidak berayah dan tidak beribu. Nabi Adam diciptakan Allah. Tingginya empat meter dan lebar dadanya tiga hasta. Adam adalah sebagai nabi dan manusia yang pertama diciptakan oleh Allah, (Ramli Penggalangan, paragraf: 134).
Nabi Adam a.s. merupakan manusia yang pertama diciptakan oleh Allah Swt. dan pasangannya adalah Hawa. Hawa seorang wanita yang diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam a.s. Nabi Adam a.s. dan Hawa merupakan sumber keturunan dari semua umat manusia yang ada di permukaan bumi ini, (Idris Cike, paragraf: 09).
3 Anggota Tubuh Manusia
Pemikiran tentang bagian tubuh badan manusia di dalam Didong Jalu meliputi kepala, jari tangan, lutut, rambut, kaki, mata telinga, empedu, telapak kaki, lidah, bibir, gigi, hati, telinga, jantung, dada, hidung, mulut, dan telinga, sebagaimana yang terpancar dalam ungkapan Guru-Guru Didong.
a) Kepala dan Jari Tangan
Dalam persembahan Didong Jalu setiap Guru Didong harus memohon maaf kepada para tama yang dapat hadir dan para undangan yang tidak dapat hadir pada waktu persembahan. Para tama yang dapat hadir, Guru Didong dapat memohon maaf secara langsung. Bagi tamu yang tidak dapat hadir, Guru Didong memohon maaf secara simbolik menggunakan kepala dan jari tangan sebagai pengganti sirih pinang untuk menyatakan mohon maaf kepada masyarakat yang tidak dapat hadir itu. Seperti diceritakan Guru Didong berikut ini:
… Pertama maaf, kedua maas, ketiga tabi dan keempat ampun. Mohon maaf kepada ayah. Mohon maaf kepada ibu. Yang dekat saya panggil, kalau terjangkau saya teriaki. Untuk yang jauh dan tidak terdengar. Saya angkatkan jari tanganku yang sepuluh, sebelas dengan kepala satu. Tujuh kali ke atas, tujuh kali ke bawah. Tujuh kali ke kanan, tujuh kali ke kiri. Sebagai ganti tepak yang dibungkus dengan kain yang berisi lengkap …,(Ramli Penggalangan, paragraf: 28).
b) Lutut
Sebelum melaksanakan persembahan Didong Jalu, panitia pesta suka harus memenuhi persyaratan-persyaratan. Persyaratan-persyaratan ini berguna sebagai penghargaan kepada guru yang akan mengajari anak-anak. Persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi adalah jarum tujuh bilah dan ibu kunyit berukuran sebesar lutut (seumpama ibu kunyit yang paling besar). Pemberian persyaratan ini bertujuan supaya guru puas hati dan dapat bersunguh-sunguh memberikan pelajaran kepada anak-anak.
Sebagai bukti dan kesungguhan orangtua untuk pernyerahan kanak-kanak kepada guru. Ibu bapa anak-anak diumpamakan menyerahkan persyaratan ibu kunyit sebesar lutut. Kemudian jarum yang tujuh bilah terbagi dua. Tiga bilah untuk pelajar dan empat bilah untuk guru. Untuk pelajar berguna untuk menahan segala bahaya dan tantangan, sedangkan untuk guru berguna untuk menajamkan doa dan mengabulkan ilmu yang diberikannya kepada pelajar, (Ramli Penggalangan, paragraf: 27).
c) Rambut dan Kaki
Dalam persembahan Didong Jalu antara satu Guru Didong dengan Guru Didong lainnya harus saling memohon maaf. Memohon maaf disampaikan secara tulus ikhlas. Mohon maaf ini disampaikan terutama pada waktu perubahan keadaan di dalam Didong Jalu; yaitu, dari berdiri tegak menjadi berjalan di atas papan persembahan, pada bagian batang. Bagi masyarakat Gayo Lues untuk mengungkapkan dan menyatakan mohon maaf secara sungguh-sungguh dengan menyatakan mohon maaf dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Guru Didong B memohon maaf kepada Guru Didong A. Seperti diceritakan Guru Didong berikut ini:
…Saya mohon maaf dari ujung rambutmu sampai ke ujung kakimu. Saya minta maaf tujuannya tidak lain dari memohonkan langkahmu. Langkahmu yang saya inginkan. Satu langkah dari dirimu, satu langkah dari diriku. Semoga dirimu memberikan izin, (Idris Cike, paragraf 29).
d) Mata dan Telinga
Kedua Guru Didong menyadari bahwa manusia memiliki sifat lemah dan pelupa, sampai manusia selalu melakukan kesalahan-kesalahan di dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, dalam kehidupan masyarakat Gayo Lues mata dan telinga, dua indera yang dapat digunakan untuk membedakan yang baik dengan yang buruk. Jika ada yang kurang baik dilihat mata dan kurang baik didengar telinga Guru Didong A memohon maaf kepada Guru Didong B. Seperti berikut iniu:
Saya berkewajiban menyampaikan maaf dan ampun, karena pada malam yang berbahagia ini, mungkin ada ceritaku yang kurang enak terdengar telinga, mungkin ada tingkahku yang kurang baik dipandang mata…, (Ramli Penggalangan, paragraf: 39).
Untuk menghilangkan rasa malu Guru Didong menggambarkan dengan membutakan mata. Artinya memberanikan diri untuk persembahan Didong Jalu. Seperti diceritakan Guru Didong berikut ini:
…Saya akan bercerita, bergulir telur di tanah rata, mahu menghilangkan rasa malu membutakan mata dan memekakkan telinga. Memecahkan empedu diusap di bawah telapak kaki…, (Idris Cike, paragraf 33).
e) Empedu dan Tapak Kaki
Bagi masyarakat Gayo Lues, jika usia sudah lanjut (sudah ada anak) merasa malu kepada ayah, ibu, mertua, anak, dan masyarakat untuk melaksanakan persembahan Didong Jalu. Oleh karena itu, Guru Didong menyatakan dirinya untuk menghilangkan rasa malu dengan ucapan memecahkan empedu dan memberikan di bawah telapak kaki. Artinya persembaham Didong Jalu dilakukan Guru Didong dengan menghilangkan rasa malu kepada masyarakat yang dapat hadir di dalam persembahan Didong Jalu, (Ramli Penggalangan, paragraf: 40).
f) Lidah, Bibir, Gigi, dan Hati
Sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat Gayo Lues, jika ada suatu kesalahan atau kekeliruan di dalam persembahan Didong Jalu, Guru Didong selalu mengakui tentang kelemahannya dalam menyampaikan pesan cerita Didong Jalu. Dalam mengungkapkan kekurangan ini Guru Didong mengakui semua pesan cerita yang disampaikan adalah merupakan hasil pekerjaan lidah yang tidak bertulang, bibir yang tidak bercetakan, gigi yang tidak beraturan, dan hati yang tidak berpedoman. Seperti diceritakan Guru Didong berikut ini:
…Jika ada cerita saya yang tidak sesuai menurut peraturan. Jika ada cerita saya yang tidak bersesuaian menurut kebiasaan. Maklum sajalah, perbuatan lidah yang tidak bertulang, perbuatan gigi yang tidak beraturan, perbuatan bibir yang tidak bercetakan dan perbuatan hati yang tidak tertentu…,(Idris Cike, paragraf: 33)
g) Jantung
Bagi masyarakat Gayo Lues kata jantung merupakan kata yang digunakan untuk menyatakan kasih sayang terhadap anak. Anak dianggap sebagai belahan jantung. Guru Didong menggambarkan kasih sayang kepada anak dan anak merupakan lambang kebahagiaan di dalam kehidupan rumah tangga. Seperti diceritakan Guru Didong berikut ini:
Tidak ada anak, berharap supaya ada anak, tidak ada buah hati belahan jantung berharap supaya ada. Setelah ada buah hati belahan jantung, seperti makin tinggi langit yang dijunjung, seperti makin luas bumi dipijak (Ramli Penggalangan, paragraf: 41).
h) Dada
Manusia yang pertama; yaitu, Nabi Adam a.s. diyakini oleh msyarakat Gayo Lues memiliki ukuran badan yang besar. Lebar dadanya sampai 3 hasta. Nabi Adam a.s. dijelaskan memiliki tubuh yang besar dan tinggi. Nabi Adam a.s. sebagai manusia yang pertama jauh lebih tinggi dan lebih besar ukuran badannya berbanding dengan manusia sekarang, (Idris Cike , paragraf: 124).
Pada bagian lain Guru Didong menggunakan kata dada sebagai tanda tulus ikhlas. Pada salah satu bagaian pada Didong Jalu antara kedua Guru Didong mengadakan satu kesepakatan. Kesepakatan ini harus menjadi panduan dan dijalankan secara tulus ikhlas. Seperti diceritakan Guru Didong berikut ini:
Jika sudah dari hati putihmu, sudah dari hati sucimu, sudah saya terima dengan tangan terbuka dan dengan lapang dada. Jika sudah ada izin…,(Ramli Penggalangan, Paragraf : 98).
i) Mulut dan Hidung
Mulut dan hidung digunakan Guru Didong sebagai bukti masyarakat Gayo Lues yakin bahwa setelah tubuh Nabi Adam a.s. diciptakan oleh Allah Swt. Allah Swt. meniupkan roh ke ubun-ubun Nabi Adam a.s. roh sampai ke hidung, langsung mencium, roh sampai ke mulut langsung berbicara. Jadi, hidung Nabi Adam a.s. sudah mencium dan mulut Nabi Adam a.s. sudah berbicara sebagai bukti dan tanda bahwa roh sudah masuk ke dalam tubuh badan Nabi Adam a.s., (Idris Cike, paragraf: 123).
4 Manusia Sebagai Makhluk Sosial
Menurut Lukman Sutrisno, manusia sebagai makhluk sosial saling memerlukan di dalam kehidupan sehari-hari. Manusia tidak dapat memenuhi keperluannya tanpa adanya bantuan orang lain. Oleh karena itu, manusia itu saling ketergantungan antara satu dengan yang lainnya, (Lihat Arib Budiman, et al, 1986: 59).
Menurut Sujono Dirjosisworo, (1985: 45), manusia sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia itu mempunyai sifat untuk mencari kumpulannya. Hidup berkumpul merupakan hasrat hidup bagi manusia. Setiap manusia di dalam kumpulan memperoleh keperluan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Manusia adalah berperangai buruk, jika hidupnya terpisah dari manusia yang lain. Manusia akan menjadi hidup normal jika dapat bergaul dengan manusia lainnya. Sejak lahir sampai dewasa manusia harus beraktivitas dan akibatnya aktivitas dari manusia lainnya, (Albert Branca, 1965: 295) Manusia memiliki ketergantungan dengan manusia lainnya dan juga memiliki keperluan yang timbal balik.
Menurut Muhammad Isa Selamat, (2000: 51), rasa sosial dimiliki manusia menunjukkan bahwa dalam kehidupan ini manusia memerlukan orang lain. Hubungan perasaan mahupan hubungan sosial, sampai antara yang satu dengan yang lainnya susah untuk dipisah-pisahkan.
Ada tiga faktor yang menyebabkan manusia itu hidup bermasyarakat. Pertama, manusia ingin hidup bermasyarakat adalah karena fitrah. Kedua, karena adanya kekuatan dari luar atau kekuatan dari manusia sekelilingnya. Ketiga, karena kemampuan manusia berfikir yang ingin mengenal lebih luas di luar dirinya-sendiri, (Ilyas Hasan, 2002: 269). Masyarakat Gayo Lues sangat memerlukan dan menjalankan kehidupan sosial, seperti gotong-royong, saling membantu, saling memerlukan, saling menyayangi, saling menyokong, dan lain-lain. Hubungan sosial yang ditemui di dalam Didong Jalu ini adalah sebagai berikut:
a) Manusia Saling Memerlukan
Bagi masyarakat Gayo Lues manusia saling memerlukan antara satu dengan yang lainnya dalam acara suka dan duka. Manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Kehidupan manusia sangat bergantung kepada manusia yang lainnya. Seperti diceritakan Guru Didong berikut ini:
…cerita kita sekedar untuk meningkatkan persaudaraan. Supaya pesta suka kita saling mengundang, khabar duka kita saling mengunjungi. Semoga satu yang sakit dua-dua merasakan, satu yang menanam tebu dua-dua makan manisan, (Idris Cike, paragraf: 92).
b) Manusia Saling Musyawarah
Manusia sebagai makhluk sosial saling memerlukan dan saling musyawarah antara satu dengan yang lainnya untuk menyelesaikan persoalan-persolan yang muncul di dalam kehidupan sehari-hari. Seperti diceritakan Guru Didong berikut ini:
…Masyarakat rakan musyawarah, orangtua menyiasati, cerdik pandai yang menguasai ilmu agama serta adat dan raja membuat keputusan. Masyarakat rakan musyawarah di dalam satu rumah. Rakan untuk meramaikan kegiatan di dalam satu kampong, (Idris Cike, paragraf: 12).
c) Manusia Saling Belajar
Dalam masyarakat Gayo Lues, manusia saling belajar antara satu dengan yang lainnya. Manusia tidak tahu apa-apa, jika tidak ada bantuan dari manusia yang lainnya. Oleh karena itu, jika manusia tidak dapat berkomunikasi dengan manusia lainnya tidak akan dapat berkembang dengan baik. Seperti diceritakan Guru Didong Ramli Penggalangan, (paragraf: 61) bahwa dirinya tidak pandai bercerita. Cerita sudah bercampur-campur dan tidak ada keteraturan. Oleh karena itu, ia berharap agar diajari, supaya pandai bercerita dan dapat faham dalam menghadapi kehidupan sehari-hari.
d) Manusia Saling Menasihati
Masyarakat Gayo Lues berpendapat bahwa semua manusia memiliki kelemahan dan kekurangan. Kelemahan dan kekurangan ini dapat diatasi dengan saling menasihati antara satu dengan yang lainnya. Manusia selalu memerlukan nasihat dari manusia yang lainnya. Seperti didiceritakan Guru Didong berikut ini:
Jika anakku pergi, jangan lupa membawa pedang sebagai senjata. Jika ada kayu yang melintang dapat diluruskan, jika ada bahaya yang menghadang dapat dilawan. Nasihat dari ayah dan ibu, kalau berjalan harus bertongkat, kalau bercerita harus mempunyai panduan, (Ramli Penggalangan, paragraf: 50).
e) Manusia Saling Mohon Maaf
Sudah menjadi sifat manusia bahwa manusia selalu memiliki kesalahan antara satu orang dengan orang lainnya. Masyarakat Gayo Lues selalu memohon maaf antara satu dengan yang lainnya. Di samping itu manusia memiliki sifat silap dan lupa, sampai kesalahan itu dapat terjadi pada setiap waktu. Oleh karena itu, manusia harus saling bermaafan. Seperti diceritakan Guru Didong berikut:
Antara saya dengan dirimu, mungkin ada yang kurang menyenangkan perasaan, saya mohon kepada dirimu untuk saling memaafkan. Supaya jangan menjadi beban kita nanti di alam akhirat. Saat ini saya memohon maafmu, pada malam yang berbahagia ini, (Idris Cike, paragraf: 160).
Pada bagian lain Guru Didong menyampaikan mohon maaf seperti berikut ini:
Kata-kataku yang tidak enak didengar telinga, perbuatanku yang tidak baik dipandang mata, supaya dihanyutkan ke air sungai yang berlalu. Hal ini sudah dari hati suciku. Kepada Allah aku mohon ampun, kepada dirimu dan masyarakat aku mohon maaf, (Ramli Penggalangan, paragraf: 163).
5 Hubungan Kekerabatan
Menurut Arbak Othman, (1999: 283) kerabat bermakna sanak saudara sedangkan kekerabatan bermakna kekeluargaan. Jadi, hubungan kekerabatan bermakna hubungan yang terdapat di antara anggota masyarakat di dalam satu kelompok. Setiap kelompok manusia memiliki hubungan sosial tertentu; yaitu, hubungan antara individu dengan individu dalam kelompok masyarakat, (Sujono Dirjosisworo, 1973: 111).
Dalam masyarakat Gayo Lues salah satu wujudnya hubungan kekeluargaan adalah melalui perkawinan dan adat. Hubungan yang timbul karena perkawinan seperti ralik (pihak keluarga isteri) dan juelen (pihak menantu laki-laki). Hubungan kekerabatan yang ditimbulkan oleh adat seperti sebet (pihak sahabat) dan guru (pihak guru). Sebet dan guru ialah hubungan kekerabatan yang terjadi akibat pertemuan dalam pergaulan kehidupan sehari-hari. Hubungan kekerabatan tersebut yang ditemui di dalam Didong Jalu adalah seperti berikut ini:
a) Ralik
Menurut Hasbi Aman Lela, (Wawan cara, 5 Desember 2004) dalam kehidupan masyarakat Gayo Lues ralik (pihak keluarga isteri) harus disambut dan dilayani dengan baik, karena mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Pihak ralik ini sangat mudah tersinggung, oleh karena itu, harus hati-hati dalam tingkah laku maupun percakapan. Seperti diceritakan Guru Didong berikut ini:
…Ralik, pihak famili isteri yang harus dilayani dengan baik oleh pihak famili suami dengan memberikan makanan dan minuman, (Ramli Penggalangan, paragraf: 24).
b) Juelen
Dalam masyarakat Gayo Lues juelen (pihak menantu laki-laki) bertugas untuk melaksanakan pekerjaan yang lebih berat. Seperti mengambil barang keperluan pesta. Pihak menantu laki-laki harus bersifat ringan tangan dan mudah untuk membantu. Pihak menantu laki-laki ini pun selalu melakasanakan pekerjaan dengan sungguh-sungguh, karena kalau terjadi kekeliruan atau kegagalan dalam pekerjaan akan menjadi aib bagi pihak menantu laki-laki, (Abdullah Wira Salihin Aman Bedi, Wawancara: 5 Desember 2004). Tugas juelen yang disampaikan Guru Didong adalah serikut ini:
Pihak juelen bertugas untuk bekerja, mulai dari persiapan, pelaksanaan dan penyelesaian pesta. Yang mentah, dia yang mewaktuknya. Yang jauh, dia yang mendekatkannya. Yang berkulit, dia yang mengupasnya. Yang bertangkai, dia yang memetiknya. Yang kuat bertugas untuk pengangkat. Yang bijaksana bertugas untuk menjadi juru bicara. Yang kuat digelari panglima. Yang juru bicara digelari bijaksana, (Ramli Penggalangan, paragraf: 25).
c) Sebet
Bagi masyarakat Gayo Lues sebet (pihak sahabat) terjadi karena pergaulan kehidupan sehari-hari dan menjadi saudara seperti satu ayah satu ibu. Oleh karena itu, harus hadir jika ada peristiwa suka mahupun duka. Menurut M. K. Abdullah Aman Jum, (Wawancara: 7 Desember 2004) sebet terjadi akibat pertemuan atau pergaulan dalam kehidupan sehari-hari, sampai terjalin hubungan yang akrab dan selalu akan saling memberi khabar pada peristiwa duka dan suka. Mereka saling mengunjungi dan saling memberitahukan jika ada persoalan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian tentang sahabat ini diceritakan Guru Didong seperti berikut ini:
Sebet, orang yang baru kenal di dalam pergaulan sehari-hari, karena air satu tetes, karena rokok satu batang, karena tembakau satu suntil. Akhirnya menjadi sahabat seperti satu ayah satu ibu, (Ramli Penggalangan, paragraf: 26).
d) Guru
Bagi masyarakat Gayo Lues guru pihak yang mengajar ilmu, adat, dan agama serta memberikan petunjuk kepada murid-muridnya. Guru memberikan doa supaya dapat selamat di dalam menghadapi kehidupan sehari-hari. Menurut M. Yusuf Maat Aman Khairuddin, (Wawancara, 8 Desember 2004) guru adalah orang yang memberikan doa untuk keselamatan. Doa supaya selamat dari segala hasad, dengki, dan kianat orang yang tidak takut untuk berbuat jahat. Guru adalah tempat meminta petunjuk supaya selamat dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Dalam memintak doa harus memenuhi syarat-syarat. Seperti dikemukakan Guru Didong berikut ini:
Guru tempat untuk menyerahkan beras senare, cincin satu, jarum tujuh pucuk dan ibu kunyit sebesar lutut, sebagai tanda penghargaan pelajar kepada guru. Jarum yang tujuh pucuk terbagi dua, tiga untuk pelajar empat untuk guru. Yang untuk pelajar, ke atas untuk menahan badai yang berhembus, ke bawah untuk menghadang gelombang yang pasang. Yang untuk guru untuk mengabulkan dan menajamkan doa yang diberikannya kepada kita, Guru berpesan kepada kita, satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh. Begitu tajam jarum ini, begitulah tajamnya ilmu yang diberikannya kepada kita (Ramli Penggalangan, paragraf: 27).
6 Strata Sosial
Gayo Lues merupakan daerah kabupaten yang dipimpin oleh seorang bupati dan satu kabupaten terdiri dari beberapa kecamatan. daerah kecamatan dipimpin oleh seorang camat dan satu kecamatan terdiri dari beberapa kampung. daerah kampung dipimpin oleh seorang kepala kampung dan satu kampung terdiri dari beberapa lorong yang dipimpin oleh kepala lorong.
Dalam satu kumpulan masyarakat terdapat strata sosial. Menurut Muhd. Yosof B. et al, (1972: 589) strata sosial adalah kumpulan-kumpulan yang ditemui di dalam msayarakat. Satu strata sosial ditandai dengan ciri-ciri yang membedakannya dengan strata sosial lainnya. Strata sosial ditentukan berdasarkan kedudukan seseorang dalam satu kumpulan, (Sujono Dirjosisworo, 1985: 91). Kedudukan seseorang individu di dalam masyarakat dapat dilihat dari dua aspek. Pertama dari aspek statik dan kedua aspek dinamik. Aspek statik adalah status berdasarkan kedudukan dan derjat yang ditentukan oleh keahlian seseorang yang dapat dibedakan dengan individu lainnya. Aspek dinamik adalah status berdasarkan jabatan yang formal di dalam kehidupan sehari-hari.
Setiap strata sosial memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing di dalam kehidupan masyarakat. Strata sosial yang ditemui di dalam kehidupan masyarakat Gayo Lues seperti yang dikemukakan di atas, tetapi Guru Didong hanya menceritakan strata sosial yang terdapat di dalam satu kampung. Berdasarkan tradisi lisan Didong Jalu, strata sosial dalam satu kampung pada masyarakat Gayo Lues ada empat strata sosial statik, seperti berikut ini:
a) Sudere
Menurut Maat Husin Aman Nipak, (Wawancara, 8 Desember 2004) sudere (masyarakat) strata sosial terdiri atas semua masyarakat yang ada di dalam satu kampung. Sudere ini bertugas untuk teman bermusyawarah, jika ada masalah yang timbul di dalam kehidupan masyarakat, dapat diselesaikan secara musyawarah. Tugas sudere dalam kehidupan masyarakat Gayo Lues seperti yang dijelaskan Guru Didong berikut ini:
…Masyarakat rakan musyawarah di dalam satu rumah. Rakan untuk meramaikan kegiatan di dalam satu kampung, (Idris Cike, paragraf 12)..
Pada bagian lain Guru Didong juga menceritakan bahwa masyarakat sebagai teman musyawarah dalam satu rumah yang diikuti oleh semua keluarga dan semua masyarakat yang ada di dalam satu kampung, (Ramli Penggalangan, paragraf: 19).
b) Urang Tue
Urang tue (orang tua atau yang dituakan) strata sosial di dalam masyarakat Gayo Lues bertugas untuk memberikan nasihat. Jika ada yang benar akan didukung dan jika ada yang salah akan dinasihati. Jika ada yang hilang akan dicarinya. Kemudian menjelaskan apa yang dapat dikerjakan dan yang dilarang serta akibat-akibatnya. Kamasiah Inen Siti Sari, (Wawancara, 4 Desember 2004). Tugas orang tua diceritakan Guru Didong berikut ini:
Orangtua menyiasati apa yang terjadi, untuk penasihat di dalam kampung. Jika ada yang pergi, dia yang mengikutinya. Jika ada yang hilang, dia yang mencarinya. Jika ada yang berbuat salah, dia yang melarangnya. Jika ada yang bertengkar, dia yang mendamaikannya. Setelah ada perdamaian, diberikannya doa dan nasihat kepada kita. Dia berharap, kata-kata yang tabu jangan diucap-ucap. Yang berat, jangan diangkat-angkat. Yang ringan, jangan diabaikan. Yang kotor, jangan disentuh-sentuh, (Idris Cike, paragraf: 13).
Pada bagian lain Guru Didong Ramli Penggalangan, (paragraf: 20) menceritakan peranan orang tua bertugas untuk menyiasati apa yang terjadi, menyokong yang benar dan menasihati yang salah. Jika ada perbedaan pendapat, dia yang mendamaikan. Setelah berdamai diberikan doa dan nasihat kepada pihak yang berselisih paham. Kemudian orang tua berharap, supaya yang kotor jangan disentuh dan yang pantang jangan dikatakan.
c) Pegawe
Menurut Siti Hawa Inen Mangsur, (Wawancara, 4 Desermber 2004) pegawe (Cerdik pandai) strata sosial di dalam masyarakat Gayo Lues yang memahami seluk-beluk agama Islam dan adat yang sedang dijalankan di dalam satu kampung. Cerdik pandai yang menguasai firman Allah Swt. dan sunnah rasul serta adat. Kelompok masyarakat cerdik pandai ini dapat membedakan hukum Islam, seperti haram, makruh, sunat, wajib, dan harus serta menjelaskan kepastian hukum Islam. Menganjurkan kepada semua strata sosial supaya mengikuti dan mematuhi segala peraturan yang ada. Seperti diceritakan Guru Didong berikut ini:
Cerdik pandai yang mengetahui hadis dan firman, yang mengetahui halal dan haram, yang mengetahui makruh dan harus. Hadis tetap hadis, firman tetap firman. Jika sudah halal tidak lagi haram, sudah makruh tidak lagi harus. Jika sudah ada, bererti sudah pasti ada. Yang bersifat baharu biasa berubah-ubah dan tidak pasti begitulah kira-kira, (Idris Cike, paragraf 15).
Pada bagian lain Guru Didong Ramli Penggalangan (paragraf: 22) menceritakan bahwa kelompok masyarakat cerdik pandai yang mengetahui wajib dan sunat, yang mengetahui hadis dan firman, yang mengetahui halal dan haram. Yang menentukan takaran dan bilangan. Satu are sudah pas empat kal, satu hasta sudah pasti dua jengkal. Are berguna untuk takaran, hasta berguna untuk ukuran panjang, genggaman untuk memenuhkan, pelingkut berguna untuk meratakan isi alat takaran. Hasta untuk mengukur, supaya diketahui panjang atau pendek. Neraca untuk menimbang supaya diketahui berat atau ringan, ditakar dengan are tidak kurang, ditimbang dengan neraca tidak lebih atau tidak kurang.
d) Pengulunte
Pengulunte (raja) di sini bermakna pemimpin. Bagi masyarakat Gayo Lues raja bertugas untuk membuat keputusan berdasarkan fakta dan masalah yang terjadi. Raja tidak identik dengan kekuasaan, tetapi raja adalah untuk memimpin dan selalu melindungi rakyatnya. Raja bertindak sesuai dengan peraturan dan kebiasaan yang ada di Gayo Lues, (Rebung Inen Aji, 5 Desember 2004). Guru Didong Idris Cike menjelaskan tentang peranan raja, seperti berikut ini:
Raja yang memberi keputusan. Diukur dengan are tidak kurang. Ditimbang dengan neraca sudah sesuai. Satu are sudah sesuai empat kal. Satu hasta sudah pasti dua jengkal. Guna are untuk takaran. Guna hasta untuk mengukur panjang. Guna genggaman untuk memenuhkan takaran. Guna pelingkut untuk meratakan takaran. Guna neraca untuk menimbang, supaya tidak lebih berat ke sebelah kanan atau tidak lebih ringan ke sebelah kiri…,(Idris Cike, paragraf: 16).
7. Kesimpulan
Hasil kajian tentang manusia dan masyarakat di dalam Didong Jalu menunjukkan bahwa, pertama, manusia sebagai ciptaan Allah Swt. Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang istimewa di atas alam ini. Kedua, manusia yang pertama diciptakan Allah adalah Nabi Adam a.s., Nabi Adam a.s. sebagai manusia pertama dan Hawa sebagai manusia kedua. Nabi Adam a.s. dan Hawa merupakan nenek moyang manusia. Ketiga, bagian tubuh manusia digunakan sebagai simbolik dan perumpamaan untuk mengungkapkan fikiran-fikiran di dalam tradisi lisan Didong Jalu. Keempat, manusia sebagai makhluk sosial. Terutamanya mengenai manusia saling memerlukan, musyawarah, belajar, menasihati dan memaafkan. Kelima, hubungan kekerabatan di dalam masyarakat Gayo Lues, seperti ralik (pihak keluarga isteri) juelan (pihak menantu laki-laki), sebet (pihak sahabat) dan guru (pihak guru). Keenam, strata sosial, seperti sudere (masyarakat), urang tue (orangtua atau yang dituakan), pegawe (cerdik pandai), dan pengulunte (raja).
Source: http://ismatantawi.blogspot.com/2009/05/didong-gayo-lues-analisis-pemikiran_9162.html