Agroforestry di Segene Balik

Oleh : Isma Arsyani

Terus terang saya baru pertama kali mendengar nama kampung Segene Balik. Sebuah kampung yang berada di Kecamatan Kute Panang di Kabupaten Aceh Tengah. Namun saya yakin nama ini nama baru akibat saat ini sering sekali terjadi pemekaran desa demi dalih pembangunan yang merata. Namun apa pun nama kampung ini dahulu, terus terang (lagi) saya baru pertama kali menginjak tanah kampung ini.

Kampung ini di sebelah utara berbatasan dengan lembah sungai yang mengalir dari Simpang Balik. Sedangkan di selatan berbatasan dengan perbukitan dan hutan yang mengarah ke wilayah Lukup Sabun. Bila menuju ke timur, jalanan kampung ini akan terus menuju Ratawali. Sedangkan di arah barat, merupakan jalan datang atau pulang kita menuju Simpang Balik di Bener Meriah.

Saya tiba di kampung ini bukan karena kebetulan belaka. Namun ada sebab, saya kebetulan menjadi peserta pelatihan agroforestri yang diadakan oleh Yayasan Leuser Internasional (YLI) di Bener Meriah selama dua hari pada tanggal 19 dan 20 Januari 2011 lalu. Perjalanan ke kampung ini merupakan rangkaian agenda pelatihan untuk melihat kampung atau wilayah yang sudah mulai menggalakkan program agroforestry.

Kegiatan agroforestry di Segene Balik sudah berjalan selama lebih satu tahun. Mereka mulai menggalakkan sistem ini sejak akhir tahun 2009. Mereka mencoba memadukan kegiatan penanaman kayu dengan palawija dan perikanan. Kayu yang ditanam berupa mahoni dan sebagian pinus. Untuk palawija mereka menggalakkan tanaman cabe. Sedangkan perikanan mereka telah membuat kolam yang dibenihi beberapa jenis ikan air tawar.

Awalnya di akhir 2009, terjadi banjir yang menghancurkan reservoir air di daerah hulu. Masyarakat sadar selain hujan yang lebat juga sudah terjadi degradasi lahan di daerah hulu sehingga banjir cepat datang. Atas kesepakatan antara masyarakat dan seorang penyuluh dari dinas kehutanan Aceh Tengah, mereka mengadakan musyawarah untuk menanam kayu dan dipadukan dengan pertanian di Segene Balik. Setelah masyarakat setuju, Abdul Kholiq, sang penyuluh yang juga penggagas agroforestri di kampung ini, mencoba mencari bibit hingga ke ibukota propinsi. Tak lama kemudian mereka mendapatkan bibit mahoni dan sebagian kecil pinus sebanyak 25.000 bibit.

Kedatangan bibit ini di Segene Balik tak semulus yang mereka telah rencanakan. Saat bibit datang, bibit banyak yang hilang, diduga banyak yang mengambil untuk dijual atau ditanam sendiri. Namun dengan musyawarah dan mufakat akhirnya, sebagian besar bibit terkumpul lagi. Mulailah mereka mendirikan kelompok tani agar penanaman kayu ini dapat terkontrol dan terarah. Terbentuklah Sido Dadi, kelompok tani yang dipimpin oleh Mbah Saniman. Namun Mbah Saniman ini dikenal juga dengan “Mbah Surip”, yang merupakan julukan yang diberikan oleh orang-orang luar yang sering mampir ke Segene Balik untuk melihat agroforestri di sana.

Selain ingin menjaga lingkungan dari ancaman bencana yang kerap dan akan terjadi, motivasi mereka menjalankan sistem agroforestri ini karena tanaman kopi mereka tak lagi menghasilkan. Mereka menganggap lahan atau jenis tanah di darah mereka tak cocok untuk tanaman kopi. Setelah mereka menghitung untung-rugi, mereka siap beralih menanam kayu yang bertumpang sari dengan cabe maupun kacang-kacangan.

Secara ekologi dan ekonomi memang belumlah terlihat keuntungan dari sistem yang mereka jalankan. Selain usia “gerakan” ini baru lebih setahun. Pepohonan juga masih belum tumbuh besar walaupun mereka tumbuh dengan baik di sini. Namun dari sisi ekonomi, mereka ada keuntungan, walau bukan dampak langsung. Namun lebih kepada keinginan dan semangat mereka untuk membuka lahan kritis dan lahan tidur untuk ditanam kayu dan cabe, sehingga produksi panen cabe juga meningkat seiring meningkatnya luas tanam di daerah ini.

Berpikir ke depan adalah pandangan mereka di kampung ini. Selain ingin meraih keuntungan ekonomi dari hasil kayu, palawija, dan ikan. Mereka juga sadar kalau di kemudian hari sistem agroforestri juga menjaga lingkungan kampung mereka menjadi lebih terjaga dari banjir, erosi, dan anomali iklim yang kerap terjadi sekarang ini.

Lima atau 10 tahun lagi, sepertinya akan sangat menarik berkunjung kembali ke Segene Balik melihat perkembangan agroforestri di sana. Selain agroforestri, bila bisa dikelola dengan baik bisa juga menjadi tempat agrowisata atau ekowisata karena wilayah Kute Panang terkenal sebagai derah temas mumanang.

Tak hanya di Segene Balik. Di wilayah Tawardi, Lokop Sabun, juga di Kute Panang. Ada juga seorang yang berkeinginan kuat menanam kayu yang tumpang sari dengan tanaman kopi. Kayu yang ditanam adalah Mindi. Beliau seorang guru Sekolah Dasar berusia 31 tahun. Seperti juga kelompok tani Sido Dadi, beliau juga mempunyai motivasi bagaimana bumi ini tidak menjadi sakit di kemudian hari. Bila ada lahan, ayah satu anak yang bernama Kenara Seni ini akan konsisten untuk menanam kayu yang nantinya berguna secara ekologi dan ekonomi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.