BERSAHAJA. Itulah kesan pertama saya saat melihat sosok lelaki berusia 50 tahun itu. Tidak ada yang spesial. Mengenakan kaus hijau berkerah, peci khas karawang Gayo, lelaki bertubuh kecil tersebut tampak seperti lelaki pada umumnya. Abu Mukmin namanya.
Hari itu, Senin malam, 12 Maret 2012. Saya bertemu dengannya saat hendak makan malam bersama dua orang teman di sebuah warung di kawasan Pasar Angkup, Takengon.
Saya begitu tertarik terhadap sosok Abu Mukmin setelah seorang teman saya menjelaskan siapa sebenarnya beliau. Akhirnya saya pun mendekatinya dan berbasa basi sambil menunggu makan malam yang belum juga datang.
“Hana Keber, Pak (Apa kabar, Pak)”, saya menyalaminya
“Alhamdulillah baik dan sehat”, jawab sosok yang terlihat ramah dan mudah bergaul itu tersenyum sambil mengulurkan tangan.
Kami pun duduk agak terpisah dengan kedua teman saya.
Saya menatap wajah Abu Mukmin. Kerut-kerut di keningnya mulai terlihat. Kulitnya seolah menggambarkan betapa beratnya perjalanan hidup yang pernah dilaluinya.
Abu Mukmin menarik nafas. Seperti mencoba membuka kembali sebuah perjalanan panjang. “Saya berasal dari keluarga susah. Dulu kami hidup serba kekurangan dan harus berjuang habis-habisan untuk dapat merubah hidup”, katanya, membuka percakapan.
Terlahir dari keluarga sederhana, 50 tahun silam, Abu Mukmin, menjalani kehidupan yang keras sejak kecil. Anak ketiga dari delapan bersaudara ini harus berjuang, khususnya untuk bisa mengenyam pendidikan dan melnajutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.
“Saya sadar, keluarga kami serba kekurangan. Adik-adik juga harus sekolah. Lalu dari bagaimana caranya agar saya bisa melanjutkan pendidikan setelah sekolah nanti. Berharap pada orangtua, sangatlah tidak mungkin, karena untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga pun, kedua orangtua saya sudah begitu berat”, kenangnya.
Saat itu, Abu Mukmin merasa malu kepada keluarga dan teman-temannya, termasuk pada diri sendiri. Saat teman-temannya sudah berhilangan karena melanjutkan pendidikan setamat Sekolah Menengah Atas (SMA), dirinya justru masih berada di kampung.
Rasa malu inilah yang akhirnya membangkitkan semangatnya untuk melanjutkan pendidikan. Pilihan itu tentu sangat berat untuk keluarganya. Darimana ia mendapatkan uang untuk membiayai pendidikan? Namun, karena tekad sudah bulat, akhirnya, Abu Mukmin merantau ke Banda Aceh untuk melanjutkan pendidikan tingginya di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry, Banda Aceh, dan mengambil jurusan Da’wah.
Pak Abu demikian dirinya disapa, menuturkan, menjalani hidup di Banda Aceh adalah sebuah perjuangan tidak akan pernah dilupakannya. Bagaimana tidak, dirinya harus bekerja apa saja untuk dapat mempertahankan kuliahnya agar tidak putus ditengah jalan. “Menjadi juru parkir, berjualan buah hingga berjualan sayur dipasar saya lakukan. Saya harus tetap bertahan di Banda Aceh”, ujarnya.
“Apakah itu tidak mengganggu kuliah?”, saya penasaran.
“Insya Allah tidak. Karena saya harus pandai-pandai mengatur waktu antara kuliah dan kerja”. Jawabnya.
Kata Pak Abu, dirinya pernah menjadi tukang parkir di kawasan Jambo Tape dan Beurawe, Banda Aceh. Biasanya, dia bekerja dari sore hingga tengah malam. Hampir tidak ada waktu luang untuk dapat bermain-main dengan teman-teman. Dirinya tetap berpegang pada janjinya kepada kedua orantua di kampung, akan kuliah dan menyelesaikannya.
Pengalaman menjadi tukang parkir selama 2 tahun, awalnya pak Abu hanya menjadi anak buah parkir saja, perlahan karena sifat jujur dan Qana’ah yang dimilikinya pak Abu pun dipercaya menjadi atasan yang membawahi 5 orang tukan parkir.
Tak hanya itu, bila ada waktu kosong pak Abu tak hanya menjadi tukang parkir saja, waktu itu dimanfaatkan untuk mengais rizki yang lain, dengan berdagang sayur dan buah, hingga waktu yang dilakoninya sangat lah padat, terlebih untuk menyelesaikan tugas-tugas dibangku perkuliahan.
Untuk itu Pak Abu membagi waktunya, sambil berjualan sayur atau pun lagi bekerja sebagai tukang parkir, dirinya memanfaatkan waktu kosong untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya, seakan tak pernah lekang dari buku dan pena.
Tahun 1990, semua kesabaran dan perjuangan itu pun membuahkan hasil. Pak Abu berhasil menyelesaikan kuliahnya. Ia pun kemblai ke kampung halaman untuk mengabarkan kabar suka cita ini kepada kedua orangtuanya.
Karena jiwa untuk mencari ilmu memang tinggi, akhirnya, pada tahun 1998, Pak Abu kembali menggali ilmu pada Jurusan D-II PGMI di IAIN Ar-Raniry, dan berhasil menamatkannya di tahun 1998. Pada masa inilah, beliau melepas masa lajangnya. Untuk membiayai kuliah dan menghidupi keluarganya, Pak Abu mulai membuka usaha sendiri dengan berdagang rempah-rempah, sayur dan buah-buahan.
Mesti belum mendapatkan pekerjaan yang tetap, namun penghasilannya telah cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, tak pernah terlintas dibenaknya untuk hidup mewah, seperti membeli mobil, bahkan rumah sekalipun. Baginya, hidup sederhana lebih nyaman dalam menjalani hidup.
Pak Abu menarik napas. Lalu menyeruput kopi panas yang ada dihadapannya.
Beberapa pembeli hilir mudik dihadapan kami. Sambil mengobrol, saya pun mulai menyantap makan malam yang sudah disedikan pelayan warung. Tidak lupa saya menawarkan Pak Abu untuk ikut makan bersama.
Pak Abu hanya mengangguk, lalu tersenyum. “Renyee… (Lanjutkan…)”, katanya singkat.
Pak Abu melanjutkan. Dirinya juga sudah menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Gajah Putih, Takengon. Sekarang, ia menjadi pengajar di sebuah sekolah tingkat atas.
Pengalaman mengajarnya dimulai pada Tahun 2000 sebagai guru di Sekolah Dasar (SD) Bertingkat Pegasing, menjadi guru Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Arul Kumer 2002-2007, dan sempat menjadi Kepala Sekolah di MTSs Arul Kumer tahun 2007-2008, dan sekarang menjabat sebagai kepala sekolah MAS Silih Nara.
Menariknya, Ayah tiga anak ini tak hanya mengajar di sekolah-sekolah, dirinya juga mengabdikan dirinya sebagai staff pengajar di STAI Gajah Putih Takengon.
Selain itu, Pak Abu juga aktif mengikuti sejumlah organisasi-organisasi. Saat ini ia menjabat sebagai Sekretaris MPU Kecamatan Silih Nara, ketua Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ) Kecamatan Silih Nara, Wakil ketua Hiqqah dan ketua Al-Wasliyah Kecamatan Silih Nara. “Saya juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Partai Nadhatul Ummat Kota Madya Banda Aceh di tahun 2009”, jelasnya.
Saya sempat tertegun, saat Pak Abu mengatakan bahwa saat ini dirinya lebih banyak aktif memberikan tausiah-tausiah keagamaan. Katanya, sesuai dengan latarbelakang pendidikannya dibidang agama, dirinya ingin mendedikasikan hidupnya untuk berdakwah. Jadi janganlah heran, nama Pak Abu, sudah begitu terkenal dikalangan masyarakat Aceh Tengah pada umumnya.
Suami dari Hardini ini, kini dapat dikatakan sudah menikmati semua hasil perjuangannya. Dalam dirinya hanya ditanamkan rasa ingin saling berbagi dan membantu, tak ada kata putus asa dalam dirinya. Ia pun memiliki motto dalam menjalani kehidupan ini, yaitu “Jujur dan Amanah”.
Malam semakin larut. Dinginnya malam mulai menusuk tulang. Kedua teman yang duduk terpisah tadi mendekati saya. Waktunya pulang. Waktu terasa begitu singkat. Ingin rasanya lebih lama berbincang-bincang dengan sosok yang luar biasa ini.
Setelah membayar makanan dan minuman, akhirnya kami beserta Pak Abu keluar beriringan meninggalkan warung. Sebelum berpisah, Pak Abu juga sempat memberi sedikit tausiah kepada saya dan kedua teman saya.***
(Darmawan Masri/Red.06)