Banda Aceh | Lintas Gayo – Terkait tulisan opini Thayeb Sulaiman (akitivis kebudayaan di Pusat Kebudayaan Aceh Turki (PuKAT) berjudul Tari Saman Aceh di Media Serambi edisi Minggu, 21 Oktober 2012, halaman 2 (http://aceh.tribunnews.com/2012/10/21/tari-saman-aceh) menuai banyak protes dari berbagai pihak khususnnya budayawan serta masyarakat umum di Kabupaten Gayo Lues.
Mereka menganggap analisis Thayeb tentang tari Saman tersebut salah besar dan dianggap membunuh sejumlah kekayaan budaya Aceh itu sendiri. Lagi pula tulisan Thayeb dinilai hanya menggunakan penalaran yang dangkal.
Bahrinsyah salah satu tokoh masyarakat Gayo Lues di Banda Aceh mengaku kecewa dengan tulisan Thayeb yang hanya berdasarkan analisi pribadi. Bahrinsyah menganggap itu dapat berakibat buruk terhadap pemahaman masyarakat Aceh terhadap seni dan budaya khususnya para remaja.
Bahrisnyah menambahkan, seharusnya sebelum Thayeb mengeluarkan analisisnya tentang Tari Saman, terlebih dahulu dia harus terlibat dan komunikasi langsung dengan tokoh atau budayawan masyarakat Gayo Lues sebagai daerah asal Tari Saman.
“Saya rasa, hal yang dilakukan Thayeb tidak etis. Bagaiamana anak cucu kita nanti bisa paham tentang budayanya, kalau para pelaku Seniman kita saja masih banyak yang mengeluarkan pendapat berdasarkan analisis pribadinya,” terang Bahrinsyah pada Lintas Gayo, Senin. (22/10/2012) malam.
Di tempat yang sama, hal yang senada juga disampaikan oleh Supri Ariu, Ketua Umum Satu-satunya Sanggar milik Masyarakat Gayo Lues di Banda Aceh yakni Sanggar Budaya Seribu Bukit (SBSB) bahwa UNESCO tidaklah sembarangan dalam menyatakan Tarian Saman Gayo sebagai warisan budaya dunia.
“Saat ini kita sudah mengirim tanggapan kita dan teman-teman yang lain agar tulisan tersebut untuk dapat diklarifikasi lagi,”terang Supri.
Supri mengaku kaget tentang pendapat Thayeb yang menyatakan UNESCO salah dalam menetapkan Tari Saman yang berasal dari Gayo Lues sebagai warisan budaya dunia.
“Sebelumnya pihak UNESCO turun langsung ke Gayo Lues termasuk daerah pedalamannya. Dan terbukti, di Gayo Lues semua laki-laki bisa menarikan Saman, Mulai dari anak-anak yang masih berumur 5 tahun. Itu tandanya Tari Saman sudah mengakar dan mendarah daging pada masyarakat Gayo Lues,” jelas Supri.
Supri menambahakan, ini menjadi satu pukulan kepada masyarakat Gayo Lues, akibat dari kurangnya penulis dan masih kurangnya masyarakat Gayo Lues yang berbicara tentang saman, menjadikan orang lain banyak memberikan penjelasan-penjelasan miring tentang Tari Saman.
Supri berharap, kedepan masyarakat Gayo Lues khususnya para pemudanya harus lebih giat dan serius lagi dalam mengenalkan dan memberikan pemahaman tentang tari saman kepada orang banyak, sehingga anggapan-anggapan yang salah yang selama ini kerap terjadi dapat diperbaiki.(Win Galus/Red.04)