SEBUAH buku fenomenal kembali terbit dari Yogyakarta, sebuah buku Antologi Puisi yang kerjakan selama 12 tahun. Selain itu buku setebal 1.232 halaman dengan ukuran 21 cm ini tergolong unik karena keseluruhan karya yang termuat didalamnya merupakan karya 108 penyair nasional yang ditulis dibawah tahun 2000, yang tiga diantaranya adalah penyair asal Aceh.
Buku yang berjudul ‘Equator’ ini disiapkan selama 12 tahun oleh Renville Siagian bersama Sri Hartati serta M. Haryadi Hadipranoto yang diterbitkan Yayasan Cempaka Kencana telah diluncurkan di Taman Budaya Yogyakarta (TBY), ditandai dengan pemberian buku ‘Equator’ pada para pengamat dan kritikus sastra dari Universitas Gajah Mada (UGM) serta perwakilan dari tiga daerah di Indonesia.
Lamanya proses penyusunan hingga penerbitan Equator ini disebabkan oleh transliterasi dan penerjemahan kedalam sejumlah bahasa asing, yaitu Indonesia, Inggris dan Jerman. Untuk bahasa Indonesia selesai tahun 2000, sedang bahasa Inggris dan Jerman selesai tahun 2006. “Menterjemahkan puisi ke bahasa Inggris dan Jerman memerlukan waktu lama, karena sangat sulit,” kata Renville Pimpinan Yayasan Cempaka Kencana.
Renville yang juga Ketua Yayasan Cempaka Kencana mengakui untuk menerbitkan ’Equator’ dibiayai sendiri. Untuk cetak 400 exlembar menghabiskan biaya Rp 35 juta, dan belum biaya-biaya lain. “Dengan Equator yang akan saya kirim ke universitas ternama di 40 negara, dimaksudkan supaya puisi Indonesia dikenal di negara lain. Selama ini, puisi Indonesia tidak dikenal. Maka dengan usaha yang saya lakukan ini, puisi Indonesia bisa dikenal secara luas di berbagai negara,” papar Renville yang konsultan perkebunan kelapa sawit di daerah Sumatera dan Kalimantan.
Ketika ditanya mengapa ia sangat mencintai puisi, Renville menuturkan puisi itu sangat indah, bisa memberi semangat hidup dan luapan emosi serta memperkaya batin. Ia berharap, daerah-daerah lain bisa menirunya dengan menterjemahkan puisi-puisi ke bahasa asing sehingga dapat dipromosikan ke dunia internasional.
Disamping peluncuran ‘Equator’ diteruskan dengan sarasehan sastra dengan menampilkan nara sumber Mu’jizah dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Aprinus Salam staf pengajar di FIB-UGM dan Iman Budhi Santosa penyair handal dari Yogyakarta. Menurut Mu’jizah, pada dasarnya terjemahan bukan hanya sekadar pengalihan bahasa, tetapi juga pengalihan kode budaya. Dan ini dibutuhkan kemampuan tertentu khususnya bahasa bagi sang penerjemah yakni bahasa asal karya sastra dan bahasa asing sesuai dengan keperluan. “Tampaknya banyak sastra yang diterjemahkan tetapi roh budaya belum terisi. Hingga saat ini kualitas sastra terjemahan masih terus menjadi perbincangan hangat, terutama penerjemahan puisi,” papar Mu’jizah.Lain halnya dengan Iman Budhi Santosa. Penyair kelahiran Magetan tahun 1946 ini menilai sastra Indonesia yang merupakan bagian dari sastra dunia sudah saatnya mencoba meraih posisi dan prestasi internasional. Caranya, mengkomunikasikan dan mempromosikan ke dalam bahasa asing secara berkesinambungan. “Harus diakui keberhasilan karya sastra menembus komunitas internasional adalah berkat jasa bahasa Inggris,” tandas Iman. ‘Equator’ yang berarti khatulistiwa, diharapkan akan memberi pencerahan puisi Indonesia di negara-negara lain. Karena itu, penerjemahan dirasa mulai perlu dan mendesak diwujudkan supaya karya-karya sastra Indonesia dapat diapresiasi oleh bangsa lain. |
Berikut nama-nama penyair nasional yang diterima Lintas Gayo, yang puisinya dimuat di dalam “Equator”: Abdul Hadi Esha, Abdul Wachid BS, Abidah El Khalieqy, Acep Syahril), Acep Zamzam Noor, Achmad Saichu Imran, Adri Sandra, Agus R Sarjono, Agustan T Syam, Akhmad Sekhu, Amien Wangsitalaya, Aming Aminoedhin, Anil Hukma, Apito Lahire, Ari Setya Ardhi, Arief Fauzi M, Arif B. Prasetya, Ary MHS Ce’gu, Arwinto Syamsunu Aji, Asa Jatmiko, Aslan A Abidin, Badaruddin Amir, Bambang Set, Bambang Widiatmoko, Binhat Nurohmat, Bustan Basir Maras, Dedet Setiadi, Dharmadi, Diah Hadaning, Dianing Widya Yudhistira, Dimas Arika Mihardja, Dinullah Rayes, Dorothea Rosa Herliany, Endang Supriadi, Endang Susanti Rustamaji, Es Wibowo, Faaizi L Kaelan, Fauzi Absal.
Ada juga nama Fikar W Eda, Franciscus Paulus Kalumata, Gunoto Saparie, Harta Pinem, Haryono Sukiran, Hazwan Iskandar Jaya, Herry Lamongan, H U Mardiluhung, Ibnu Hajar, Iman Budhi Santosa, Isbedy Stiawan ZS, Iswadi Pratama, I Wayan Arthawa, Iyut Fitra, Jamal T Suryanata, Jumari HS, K.Landras Syaelendra, Landung Rusyanto Simatupang, Made Adnyana Ole, Mathori A Elwa, Medy Loekito, M Haryadi Hadipranoto, M.Nurgani Asyik, Mohammad Isa Gautama, Muhary Wahyu Nurba, Mustofa W Hasyim, Nanang R Supriyatin, Nanang Suryadi, Naswin Djamal, Noor Aini Cahya Khairani, Nurochman Sudibyo YS, Oka Rusmini, Omi Intan Naomi, Otto Sukatno CR, Panji Utama, Putu Fajar Arcana, Rahmad Sanjaya, Raudal Tanjung Banua, Renville Siagian, Riyanto Rabbah, Rohadi Noor, Rudi Karno, Saeful Badar.
Penyair asal Gayo lainnya yang masuk, Salman Yoga S serta sejumlah nama penyair tanah air lainnya, yakni, Satmoko Budi Santoso, Saut Situmorang, Sirikit Syah, Soekoso DM, Soni Farid Maulana, Sosiawan Leak, Sri Hartati, Sumanang Tirtasujana, Sus Setyawati Hardjono, Sutardi Harjosudarmo, Sutrimo Eddy Noor, Syaf Anton WR, Tan Lioe Ie, Teguh Winarsho AS, Teaslonika Lies Indrayantie, Tjahyono Widarmanto, Tjahyono Widijanto, Toto ST Radik, Tri Astoto Kodari, Wahyu Prasetya, Warih Wisatsana, Wowok Hesti Prabowo, Yos Lema.(dari Berbagai sumber/ LG-007)