Banda Aceh | Lintas Gayo : Program KEBERNI GAYO, Jum’at 11 Maret 2011 kali ini mengambil tema “Saman Sara Ingi” dengan presenter saudara Marah Halim dan tiga orang nara sumber yaitu : Dr. Rejeb Bahri, M.Pd (Dosen Aunsyiah pada jurusan bahasa yang berasal dari Gayo Lues dan sejak kecil sudah tinggal di Kuta Cane), Rusdi, S.KH (Pemain Saman dan sarjana Kedokteran Hewan juga berasal dari Gayo Lues) dan Rosmawati, S.Pd (Pemain Bines dan sedang kuliah Program S 2 Manajemen Pendidikan Unsyiah)
Istilah saman sara ingi adalah identik dengan saman jalu, ada kaitannya dengan didong jalu. Pada awalnya saman tidak pernah di lakukan sara ingi, karena kita ketahui saman sangat ditentukan oleh kekuatan pisik seseorang. Kemudian munculnya saman sara ingi biar mencapai tujuan seperti diharapkan maka diselingi dengan bines karena “isi ara saman iyone ara bines, isi ara sebujang iyone ara seberu”
Asal kata saman itu sindiri dipahami berbeda : Ada yang mengatakan bahwa kata saman berasal dari nama seorang penyebar agama Islam yaitu syeikh Saman, ada juga dari kata pertanyaan orang tua kepada anaknya “saman” ? (siapa yang makan), anaknya menjawab dengan mengetuk dada. Di wilayah barat kata saman berasal dari bahasa Arab yaitu tsaman artinya delapan, makanya pemain saman diwilayah barat adalah delapan atau delapan belas. Menurut informasi dari ibu Siti Hajar sebagai orang Gayo yang pada PKA II memperkenalkan saman dari wilayah bara mengatakan bahwa gerakan saman di sana terinsfirasi dari ada anak-anak di sebuah kampong yang sedang sakit kulit dan dikerumuni oleh lalat dan gerakan itu dijadikan gerakan saman.
Menurut pak Rejeb Bahri di Aceh di kenal pada PKA II dengan tiga daera saman yaitu : Gayo Lues, Alas Kuta Cane, Lukup Serbe Jadi da Melabouh (wilayah Barat). Dimanapun saman itu hanya dilakukan oleh laki-laki (tidak Boleh oleh perempuan), kata Mukhlis Gayo (Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Aceh Tengah) yang menelpon melalui 0651 40171 pada malam itu bahwa kalau perempuan yang membawa saman itu sumang sebagaimana dalam masyarakat kita mengenal sumang penengonen, pecerakan, penengenen dan sumang pelangkahan. Karena tidak baik menurut adat dan agama seorang perempuan memukul-mukul dada.
Lalu sekarang kenapa ada saman perempuan, secara tegas pak Rejeb Bahri mengatakan itu saman Jakarta (Artinya orang Aceh yang tinggal di Jakarta yang tidak mengenal sejarah dan falsafah saman membuat midifokasi)
Aman Sulastri bertanya kepada rusdi tentang falsafah saman, dan dijawab bahwa diantara falsafahnya adalah tentang kepemimpinan “seorang pemimpin harus tegas, walaupun begitu kepala tidak boleh terantu”, kemudian adala lagi dalam saman itu disebut dengan pengangkat, pengapit dan penyepit. Semua itu mempunyai falsafah.
Dalam perjalanannya saman sara ingi selalu di selingi dengan bines, sehingga bisa juga disebut dengan Bines Sara Ingi sebenarnya, tapi diantara kekurang populeran bines juga karena pagelaran saman hamper tidak disebut nama bines sebut Rismawati.
Realita dilapangan : Ketika orang memperbincangkan asal saman, maka kita bisa lihat bahwa semua orang Gayo lues bisa main saman dan semua belah di Gayo Lues ada group Saman sedang daerah lain yang tau mungkin tokoh adatnya, ini artinya saman adalah denyut nadi kehidupan Gayo Lues.
Saman kapan saja, bisa saja saat merontokkan padi (Saman mujik), bisa saja lepas panen (luas belang), diundang orang atau hari-hari lain. (Drs. Jamhuri, MA)
Catatan : Untuk lebih jelas dan detail, ikuti Seminar Saman di Sultan Selim Banda Aceh pada hari Rabu, tanggal 16 Maret 2011