Oleh : Win Wan Nur*
KEMARIN murid-murid sekolah di Aceh Tengah sudah menerima raport yang berisi nilai yang mencerminkan hasil kerja mereka selama periode lalu. Rata-rata anak-anak yang menerima raport ini kegirangan dengan bagusnya nilai-nilai di buku raport mereka.
Tapi ada yang ironis, beberapa kalangan di Takengen menilai bahwa nilai-nilai tersebut bukanlah cermin dari hasil kerja mereka yang sesungguhnya, melainkan ‘nilai kasih sayang’ pemeberian guru.
Terlepas dari benar tidaknya apa yang disinyalir sebagian kalangan itu, tapi memang menyedihkan menyaksikan sistem pendidikan di negeri ini, di mana waktu, energi dan biaya dihabiskan seolah untuk menipu diri sendiri. Anak-anak didik dari TK sampai perguran tinggi untuk menjadi manusia-manusia yang seolah pintar.
Seorang teman yang bekerja sebagai seorang konsultan investasi yang kebetulan beruntung mendapat pendidikan di luar negeri mengeluh kepada penulis. Katanya, dia melihat potensi yang sangat besar sekali di Indonesia ini. Dengan penduduk 240 juta dan pertumbuhan ekonomi 6,3 % per tahun dan terus meningkat. Negeri ini seharusnya menjadi surga buat investasi. Ada banyak investor dari luar yang ingin memutar uang mereka di sini, dan kalau itu sampai terjadi dalam waktu singkat Indonesia akan melebihi negara tetangga manapun di kawasan ini.
Dalam usahanya menggalang masuknya investasi ke negeri ini, teman ini mengeluh. Begitu banyak halangan (barrier) untuk berinvestasi di sini. Mulai dari birokrasi dan pemerintahan yang tidak mengerti apa yang harus diperbuat untuk menggalang investasi, tapi merasa terlalu pintar untuk mau diajari. Sampai kepada sulitnya menemukan staf (pekerja) yang bisa berpikir analitis, yang bisa menganalisa dan menemukan solusi atas sebuah persoalan, bukan hanya menghafal.
Pertengahan 2012 silam, penulis berkenalan dengan satu keluarga Swiss di atas kapal penyeberangan dari Ketapang di Banyuwangi ke Gilimanuk Bali. Keluarga ini memiliki dua anak usia SMA yang keduanya merupakan atlet loncat indah di sekolahnya. Di air banyak anak kecil yang berenang minta dilempari koin. Lalu ada seorang anak naik ke atas kapal, menawarkan diri untuk melakukan atraksi loncat ke air dengan minta upah Rp.5000-, ketika uang diberikan anak ini kemudian meloncat.
Yang menarik penulis perhatikan adalah kejadian sesudah itu, kedua anak Swiss ini kemudian berdebat soal tinggi kapal ke air. Yang satu mengatakan paling kurang 15 meter, sementara saudaranya mengatakan paling tinggi 11 meter. Perdebatan itu tidak mencapai titik temu karena masing-masing ngotot dengan pendapatnya. Tiba-tiba salah satu dari mereka melihat ada kerikil. Lalu dia katakan, ni kerikil berat jenisnya sekian, kita lempar ya katanya. Kemudian satu orang bersiap menjatuhkan kerikil, yang satu merekam dengan I Phone-nya. Menariknya waktu jatuh kerikil itu kemudian mereka hitung, memasukkan angka grafitasi dan rumus-rumus dan didapat angka 10 koma sekian. Benar kan kubilang, paling tinggi ini 11 meter kata yang satu dan perdebatan pun selesai.
Apa yang menarik dari kejadian ini ketika penulis amati adalah; Bagaimana berbedanya konsep pendidikan di negeri ini dengan di negeri mereka, sehingga hasilnya juga berbeda. Di negeri ini berdasarkan pengalaman penulis sendiri selama sekolah dan sekarang menyaksikan apa yang didapatkan anak penulis sendiri dari sekolahnya adalah; pendidikan di sini menekankan kemampuan anak didik pada kemampuan menghafal. Semakin banyak yang dihafal semakin dianggap pintar. Lihatlah ukuran tas sekolah anak-anak zaman sekarang. Seking beratnya buku, beberapa anak SD malah tidak mampu lagi memanggul tas ransel, mereka terpaksa menggunakan tas beroda seperti orang di Bandara yang akan berpergian ke luar negeri. Itulah ukuran pintar bagi siswa di negeri ini, tapi apakah si anak pintar ini bisa memahami keterkaitan antara apa yang dia hafal dengan dunia nyata, apakah itu bisa menyelesaikan masalah kesehariannya. Sama sekali bukan menjadi urusan pendidik. Akibatnya, tidak mengherankan fisika yang sebenarnya adalah ilmu tentang segala aktifitas keseharian, bagi siswa di negeri ini dipandang hanyalah rumus-rumus yang dihafal dan membuat sakit kepala, bukan ilmu praktis yang berfungsi menyelesaikan masalah keseharian.
Bandingkan dengan fisika yang digunakan oleh kedua remaja asal Swiss dalam cerita di atas. Bagi mereka fisika sama sekali bukan mata pelajaran hafalan, tapi fisika adalah sesuatu yang nyata yang ada di keseharian mereka.
Kalau kita amati lebih jauh lagi. Masalah ini sebenarnya berasal dari salah kaprahnya kita memandang apa yang disebut sebagai pendidikan itu sendiri.
Di luar negeri, pendidikan (sekolah) dimaknai sebagai pedagogi (teori tentang membimbing anak menuju kedewasaan) sementara aktivitasnya sendiri disebut pedagogik (praksis membimbing anak menuju kedewasaan) lahir dan berkembang karena adanya pemikiran kritis mengenai gagasan-gagasan dan praksis pendidikan yang berlaku selama suatu kurun waktu.
Pedagogik ini bertujuan untuk membuat anak mampu memahami dan menjalani kehidupannya di kemudian hari dan dengan begitu nantinya mereka dapat menghidupi diri mereka sendiri, sehingga kehidupan mereka pun jadi bermakna dan bisa memberi manfaat untuk manusia yang lain. Dalam proses untuk mencapai itu, mereka harus dididik untuk menguasai sejumlah pengetahuan penting dalam menjalani hidup, mereka dididik untuk menguasai keterampilan tertentu serta memahami nilai-nilai kehidupan. Yang pertama diajarkan melalui pembelajaran pengetahuan, yang kedua diajarkan melalui latihan menguasai keterampilan nyata, dan yang ketiga diajarkan melalui pemahaman tentang nilai-nilai kehidupan.
Dalam bahasa Ingris, tugas pertama dinamakan teaching, yaitu pengalihan pengetahuan (transfer of knowledge), yang kedua melalui training, dan yang ketiga melalui education. Pedagogik sebagai ilmu mencakup ketiga hal ini. Adapun bagian yang membahas pembelajaran saja lazim disebut didaktik dan metodik.
Nah masalah di negeri ini, pendidikan dimaknai hanya sebatas pembelajaran saja hanya sebatas apa yang disebut didaktik dan metodik.
Akibatnya, sekolah menjadi lebih tepat disebut sebagai tempat pencucian otak. Yang dicirikan dengan hanya ada SATU kebenaran! yang disebut dengan standardisasi yang dipaksakan dengan otoritas. Kalau kita dalami lebih jauh sebenarnya ini tak lain dari sebuah penindasan.
Ini adalah masalah akut, sebab dengan model pendidikan seperti ini muncullah berbagai masalah yang beranak dan bercucu, mulai dari masalah UNAS, Nilai Kasih Sayang sampai ke masalah yang sesungguhnya. Sulitnya dunia kerja menemukan manusia kreatif yang mampu berpikir analitis dan tidak membebek.
Inilah sebenarnya yang menjadi pokok persoalan, kenapa kita jauh tertinggal dari negara-negara eropa dan sekarang mulai semakin jauh ditinggalkan oleh negara-negara tetangga. Masalah mendasar kita adalah di konsep pendidikan kita yang tidak memanusiakan manusia.
Jadi, untuk mengejar ketertinggalan kita dari negara lain. Mau tidak mau kita harus merevolusi sistem pendidikan di negeri ini. Tapi, tentu saja ini akan sulit sekali, karena kebijakan ada di menteri.
Akhirnya apa boleh buat, untuk solusi yang lebih nyata, kita harus mulai dari keluarga sendiri. Bukan sekolah, tapi kita di rumah lah yang harus membiasakan anak berpikir analitis dan menyelesaikan persoalan dengan pengetahuan yang dia punya. Berat memang, karena kita harus tarik menarik adu kuat dengan doktrin yang ditanamkan di sekolah dan kultur mengejar nilai yang sudah menjadi berhala. Dengan pola prestise yang terbentuk, Anak pintar adalah anak yang paling jago menghafal.
Kalau kita gagal mengubah kultur ini, bersiap-siaplah kita jadi semakin jauh tertinggal dan semakin gampang emosi ketika tetangga memanggil kita INDON.
*Penulis adalah orang tua dari seorang siswa SD