Sejarah Minuman Kopi dan Beruntungnya Orang Gayo

Oleh : Win Wan Nur

Kopi adalah nama minuman yang sangat familiar dengan keseharian kita pada hari ini. Minuman ini begitu merakyat, dinikmati oleh masyarakat dari kelas sosial terendah sampai kelas sosial tertinggi.

Dalam peta perdagangan komoditas dunia, kopi juga merupakan salah satu mata komoditas penting. Kopi bahkan sempat menjadi komoditas perdagangan nomer dua paling penting setelah minyak. Padahal dulunya kopi adalah minuman yang hanya bisa dinikmati oleh kaum bangsawan.

Awalnya kopi hanya tumbuh di Ethiophia, di sana minuman ini menjadi minuman para bangsawan. Kemudian informasi tentang biji ‘ajaib’ ini sampai ke telinga orang Arab. Segera saja cerita tentang kopi ini menyebar dengan cepat di sepanjang selat Bab-el-Mandeb (bagian selatan Laut Merah) sampai ke Yaman di semenanjung Arabia. Tak berapa lama kemudian orang Arab Yaman mulai menanam kopi untuk konsumsi pribadi dan juga diperdagangkan.  Orang Arab yang dikenal sebagai bangsa pedagang yang gemar berlayar kemana-mana, memperkenalkan Kopi ke seluruh dunia, sehingga orang-orangpun menyangka bahawa Kopi adalah tanaman yang berasal dari Arab. Dari sinilah awal mula munculnya istilah kopi Arabica.

Sekitar tahun 1250 sampai 1600 kopi mulai ditanam secara massif dan pada akhir abad ke 13 kopi sudah hampir bisa dikatakan menjadi bagian dari tradisi Islam, kemanapun Islam menyebar, entah itu ke India, Amerika Utara dan bagian timur Mediterania, kopi juga mengikutinya.

Di Arab, minuman Kopi ini disebut dengan nama ‘Gahwa’ atau ‘gahhwat al-bun’ yang berarti “minuman anggur yang terbuat dari biji-bijian”.

Ketika pusat kekhalifahan pindah ke Turki, kopi pun menjadi minuman bangsawan Turki. Dalam bahasa Turki, ‘Gahwa’, nama kopi dalam bahasa Arab berubah menjadi ‘Kahve’ dalam dialek Turki. Dari Turki kopi sampai ke Italia, di Italia ‘Kahve’ nama Kopi dalam dialek Turki saat menggunakan dialek Italia dibaca menjadi ‘Caffe’. Lalu akhirnya sekitar 400 tahun yang lalu, dari kata ‘Caffe’, Kopi dalam bahasa Italia ini, kopi pun masuk ke dalam kosa kata bahasa Inggris sebagai “Coffee”.

***

Meskipun minuman kopi menyebar ke seluruh dunia Islam, sudah sejak milenium pertama, tapi para pedagang arab sangat menjaga rahasia komoditas perdagangannya yang sangat berharga ini. Mereka selalu memastikan kalau biji kopi yang mereka jual, benar-benar kering dan tidak akan bisa tumbuh untuk ditanam orang di tempat lain.

Kopi baru menyebar ke tempat lain setelah pada abad ke 17 Belanda berhasil mencuri bibit kopi dari pelabuhan Mocha di Yaman untuk kemudian ditanam di Sri Lanka. Dari Sri Lanka Belanda kemudian membawa tanaman kopi ke negara koloninya Indonesia. Di Indonesia tanaman ini ditanam di lereng pegunungan Ijen yang subur di bagian timur pulau Jawa. Dari sinilah kemudian dikenal “JAVA” sebagai nama lain dari kopi. Karena sejarahnya Kopi di Indonesia ini adalah kopi yang berasal dari bibit curian dari pelabuhan Mocha, kemudian dikenal sebuah variasi rasa minuman kopi dengan nama “MOCHA JAVA”. Kita yang hidup di dunia cyber sekarang, belakangan familiar dengan satu program komputer dengan logo secangkir kopi hangat dengan asap mengebul. Program itu bernama “JAVA”.

Oleh Belanda Kopi ditanam secara massif di Jawa dan pulau-pulau lain di Indonesia yang memiliki lingkungan yang cocok untuk ditanami kopi. Ketika Belanda berhasil menjadikan Aceh sebagai bagian dari koloni mereka, mereka pun membawa tanaman Kopi ke Aceh dan wilayah Aceh yang cocok untuk menanam kopi ini adalah dataran tinggi Gayo.

Begitulah, jadi meskipun Aceh sudah lama menjadi bagian dari peradaban Islam dan bangsawannya diperkirakan juga sudah mengenal Kopi. Tapi kopi baru ditanam di Aceh ketika  Belanda berhasil mengalahkan Aceh di awal abad ke 20. Bersama dengan tanaman Kopi itu, belanda juga membawa pekerja dari Jawa Timur untuk dipekerjakan di perkebunan kopi milik mereka. Karena itulah sampai sekarang bahasa Jawa yang ada di Aceh adalah bahasa jawa dengan logat Jawa Timuran, lebih tepatnya khas banyuwangi yang bisa dikenali dengan kata ‘riko’ sebagai sebutan sopan untuk menyebut ‘kamu’.

Dengan modal hasil perkebunan kopi di Indonesia ini, Belanda kemundian mendirikan Perusahaan Perdagangan Kopi Hindia Belanda, yang kemudian membuat Amsterdam menjadi pusat perdagangan kopi dunia. Sejak saat itu Kopi pun menjadi produk berharga di Eropa dan sering dijadikan sebagai hadiah antar kerajaan.

Pada tahun 1714, walikota Amsterdam mengirimkan satu bibit tanaman kopi yang masih kecil sebagai hadiah kepada Raja Louis ke- 14. Bibit kopi ini kemudian dikembangkan oleh para ahli botani kerajaan di Kebun Raya Kerajaan Perancis. Kebun raya yang sekarang dikenal sebagai “Jardin des Plantes”.

Dari kopi yang dikembangkan di “Jardin des Plantes” inilah Kopi kemudian ditanam di Amerika Selatan.

Tapi untuk bisa sampai ke Amerika Selatan, ceritanya tidak sederhana dan mulus.

***

Kisah ini berawal dari kejadian seorang perwira muda angkatan laut Perancis bernama Gabriel Mathieu de Clieu yang akan berangkat ke ke Martinique, sebuah negara koloni Perancis di kepulauan Karibia. Saat akan berangkat ke negara beriklim tropis di belahan bumi yang baru dikenal orang eropa karena ‘kesalahan’ Kolumbus itu, si perwira muda ini membayangkan, dengan komoditas Kopi yang sangat berharga, Martinique bisa menjadi Jawa-nya di Karibia.

Membayangkan hal indah seperti itu,  lalu meminta izin kepada raja untuk membawa bibit kopi ke Martinique, tapi permintaannya itu ditolak. Maka pada suatu malam de Clieu masuk diam-diam ke dalam rumah kaca “Jardin des Plantes” dan mencuri bibit kopi dari tempat itu.

Saat dalam perjalanan membawa kopi itu ke martinique,  rencana de Clieu juga tidak berjalan mulus, tapi melalui satu cerita dramatis seperti di film-film, berawal dari ketika seorang penumpang mengetahui de Clieu membawa bibit kopi berusaha merebut tanaman kopi itu dari dia. Ketika tidak berhasil mengambilnya, penumpang yang kemaruk ini mematahkan dahan bibit kopi milik de Clieu sehingga tanaman kopinya hampir mati. Dan itu masih belum seberapa, beberapa waktu kemudian kapal mereka diserang dan hampir berhasil dikuasai oleh bajak laut. Lolos dari situ, masalah masih belum selesai, sebab kemudian kapal mereka terjebak dalam sebuah badai yang dahsyat. Akibat dari berbagai kendala ini, waktu tempuh perjalanan mereka ke Martinique menjadi lebih lama dari perkiraan, sehingga persediaan air pun menipis. Dalam keadaan seperti ini, setiap orang diberi ransum air yang terbatas. Demi menjaga agar bibit tanaman kopinya yang sangat berharga tetap bisa hidup, de Clieu merelakan sebagian dari ransum airnya yang terbatas digunakan untuk menyiram bibit kopi yang dia bawa.

Akhirnya ketika tiba di Karibia, bibit kopi itu masih tetap hidup, de Clieu kemudian menanam bibit kopi itu di tanah pertanian miliknya dibawah penjagaan ketat pengawal bersenjata. Dari satu bibit kopi yang dia bawa dengan penuh perjuangan dari “Jardin des Plantes”. Pada tahun 1777 de Clieu sudah memiliki

18 juta pohon kopi. Kopi yang berasal dari bibit curian dari “Jardin des Plantes” inilah yang kemudian memenuhi pasar industri kopi eropa.

Belakangan pada abad ke 19, Kopi juga ditanam di vietnam, koloni perancis di Indocina.

Sementara itu di Amerika Selatan, Kopi kemudian ditanam di Guyana yang berbatasan dengan Brazil. Guyana ini setengahnya merupakan Koloni Perancis dan setengahnya lagi belanda (Suriname). Sebagai tetangga, Brazil tentu saja tergiur dengan keuntungan dari perdagangan kopi dan ingin mengembangkan perkebunan kopi di negara mereka. Tapi sebagaimana dulu orang Arab, orang Perancis dan orang Belanda juga sangat khawatir komoditas berharga milik mereka ini jatuh ke tangan orang lain, karena hal itu akan membuat mereka kehilangan monopoli atas komoditas ini.

Kopi berkembang di Brazil berawal dari kunjungan Letnan Kolonel Francisco de Melo Palheta ke Guyana Perancis dalam misi untuk memediasi sengketa perbatasan antara Perancis dan Belanda. Tapi di balik misi itu, sang Letkol juga punya misi lain bagi negaranya, yaitu untuk mendapatkan bibit kopi guna dibawa ke Brazil. Untuk maksud itu Letnan Kolonel Francisco de Melo Palheta membuat affair dengan istri Gubernur Jenderal Perancis untuk Guyana. Pada akhrinya meskipun bibit kopi diawasi dengan ketat agar tidak dibawa keluar dari Guyana, rencana sang letkol untuk membawa Kopi ke Brazil berhasil.

Letnan Kolonel Francisco de Melo Palheta berhasil meyelundupkan bibit kopi ke Brazil melalui sebuah rangkaian bunga yang diberikan sebagai hadiah perpisahan pada acara jamuan makan malam kenegaraan. Dalam rangkaian bunga yang dihadiahkan kepada Letnan Kolonel Francisco de Melo Palheta, istri gubernur menyelipkan beberapa ranting tanaman kopi. Oleh para ahli botani Brazil, ranting kopi ini ternyata berhasil ditumbuhkan menjadi bibit kopi. Dan berkat ranting kopi selundupan inilah kemudian Brazil dikenal sebagai produsen kopi terbesar di dunia. Dari Brazil, kopi kemudian menyebar ke negara-negara tetangganya seperti Kolombia, Mexico, Cuba sampai Jamaika. Dan sejak saat itu, Kopi yang dulunya merupakan minuman para bangsawan ini pun menjadi minuman sehari-hari bagi seluruh lapisan masyarakat di seluruh dunia.

Saat ini kopi ditanam di 70 negara di dunia dan dikonsumsi oleh penduduk dunia lebih dari SATU MILYAR cangkir sehari.

***

Kembali ke Indonesia, Belanda yang menanam kopi secara massif belakangan pada tahun 1930-an begitu terpukul oleh serangan hama karat daun yang menyerang hampir seluruh tanaman kopi di perkebunan milik Belanda dan menghancurkan hampir seluruh tanaman kopi mereka. Belakangan diketahui bahwa ternyata di daerah tropis Kopi Arabika hanya cocok ditanam di lahan yang memiliki ketinggian di atas 800 meter di atas permukaan laut. Makin tinggi tempat kopi ditanam makin baik mutunya, cuma masalahnya kalau tempatnya terlalu tinggi kopi tidak lagi berbuah. Lalu melalui penelitian, ditemukan fakta bahwa tanaman kopi Arabika itu cocok ditanam di lahan yang memiliki ketinggian antara 800- 1500 meter di atas permukaan laut. Kalau ketinggiannya di bawah itu disamping beresiko terkena penyakit karat daun, mutu kopi juga rendah karena kalau ditanam di dataran rendah, hawa panas membuat biji kopi terlalu cepat matang sehingga biji kopi menjadi ringan karena tidak cukup banyak nutrisi yang diserap oleh buah kopi sebelum matang.

Kemudian juga ditemukan spesies kopi yang lain yang memiliki nama latin “Coffea Canephora” yang ternyata cocok untuk ditanam di dataran rendah berhawa panas. Kopi yang tangguh (Robust) ini kemudian dikenal sebagai Kopi ROBUSTA.

Dari sekitar 7 juta karung (ukuran standar 60 kg) kopi produksi Indonesia dalam setahun, hanya 15% nya atau sekitar 1 juta karung yang merupakan kopi Arabika

Masalahnya hampir 75% permintaan kopi dunia itu adalah Kopi Arabika, dan di pasaran kopi Dunia, harga kopi Arabika 2 kali lipat lebih mahal dibanding kopi Robusta.

Ini terjadi karena wilayah Indonesia adalah kepulauan, tidak seperti Brazil yang merupakan benua, Indonesia tidak memiliki banyak dataran tinggi. Sehingga Kopi Arabica ditanam secara terbatas saja, sebaliknya justru Kopi Robusta lah yang cocok ditanam di hampir semua perkebunan kopi di Indonesia. Inilah yang kemudian membuat Indonesia dikenal sebagai produsen Kopi Robusta terbesar di dunia dan merupakan negara penghasil kopi terbesar ketiga di dunia di bawah Brazil dan Kolombia, belakangan posisi ini diambil alih oleh Vietnam yang mengembangkan kopi robusta secara massif. Bahkan hari ini Vietnam yang juga memproduksi kopi robusta sudah berhasil menggeser Kolombia dari tempat kedua sebagai negara penghasil kopi terbesar di dunia.

Kopi Arabica di Indonesia hanya ditanam di sekitar dataran tinggi Ijen dan Andung Sari di Bondowoso, serta sangat terbatas di beberapa perebunan di Jember danBanyuwangi untuk pulau Jawa. Sedikit sekali di Bali di wilayah sekitar Kintamani dan Banyuatis, sedikit di Sulawesi dan juga Sumatera Bagian utara.

Di Indonesia, satu-satunya wilayah dataran tinggi luas yang cocok untuk ditanami kopi Arabica adalah dataran tinggi Gayo, yang saat ini secara administrasi dipecah menjadi dua kabupaten, Aceh Tengah dan Bener Meriah. Saat ini ada lebih dari 68,000 Ha kebun kopi Arabica dengan hasil produksi sekitar 50.000 Ton atau 833.000 karung Per tahun (bandingkan dengan jumlah produksi kopi Arabika Indonesia yang ‘hanya’ 1.05 juta karung per tahun). Jumlah ini menjadikan Dataran Tinggi Gayo sebagai daerah penghasil Kopi Arabika terbesar di Indonesia, sekaligus ASIA.

***

Kalau kita melihat, bagaimana Belanda berhasil mendapatkan bibit kopi, bagaimana perjuangan de Clieu untuk bisa menanam tanaman kopi pertama di karibia dan bagaimana usaha Kolonel Francisco de Melo Palheta membawa kopi ke Brazil.

Dibandingkan dengan perjuangan mereka untuk mendapatkan bibit Kopi, orang Gayo, bisa dikatakan tidak membutuhkan usaha apapun untuk membawa Kopi ke Tanoh Gayo. Untuk orang Gayo, Tuhan seolah-olah menghadiahkan tanaman Kopi begitu saja, seperti turun dari langit. Dan tidak cukup dengan itu, saat Belanda yang membawa tanaman Kopi ke Gayo sudah pergi. Kalau ditempat lain di Indonesia, saat Belanda pergi, perkebunan kopi milik mereka di nasionalisasi dan menjadi milik negara. Sebagian dikelola oleh PTPN, sebagian lagi diserahkan kepada Swasta. Di Gayo kejadiannya berbeda, dulu, saat Belanda pergi, Tgk Ilyas Leubee yang diberikan kuasa mengelola lahan kebun kopi peninggalan Belanda, malah membagi-bagikannya kepada masyarakat setempat. Lalu di tempat lain yang bukan merupakan wilayah perkebunan milik Belanda. Karena tersedianya lahan, siapapun bisa menanam kopi di Gayo, sehingga saat ini bisa dikatakan Kopi lah yang menjadi sumber ekonomi utama di dataran tinggi Gayo.

Tapi entah karena cara mendapatkannya terlalu mudah, atau karena kurang bersyukur atau karena pemerintah daerah yang tidak punya visi. Kopi di Gayo kurang dihargai oleh pemerintah. Sampai hari ini kita tidak melihat adanya upaya serius dari pemerintah setempat dalam meningkatkan mutu Kopi Gayo sekaligus membina petani untuk mendapatkan nilai tambah optimal dari kopi.

Ketidak pedulian ini bisa kita lihat dari tema kampanye di setiap pemilukada di Aceh Tengah dan Bener Meriah yang sama sekali tidak pernah menyentuh isu Kopi. Malah dibanding urusan Kopi pemerintah lebih peduli mengurusi masalah pariwisata atau pertambangan yang masih sangat tidak jelas prospek dan manfaatnya bagi rakyat Gayo.

 

Wassalam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. Semakin banyak tulisan tentang kopi, khasanah dan perbendaharaan kata dan sejarah kopi di Takengon dan dunia akan semakin luas dan terbuka. Ini sangat penting bagi generasi muda kita. Berijin