Banda Aceh | Lintas Gayo – Sejumlah elemen sipil di Aceh menilai kinerja para wakil rakyat yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) selama tahun 2012 masih jauh dari harapan publik.
Berikut pernyataan sikap elemen sipil yang diterima Lintas Gayo, Selasa (8/01) :
A. Pengantar
Sebagai lembaga yang mewakili rakyat, sudah seharusnya DPRA selalu mendapat kontrol dari masyarakat. Hal ini penting agar kinerja DPRA selalu berorientasi pada kepentingan publik. Terlebih lagi setelah eksekutif dijabat oleh Partai Aceh, maka mayoritas anggota legislatif yang berasal dari partai yang sama terlihat hampir tidak melakukan pengawasan dengan baik.
Pernyataan sikap ini kami buat didasari oleh keprihatinan atas kinerja DPRA yang tidak mampu menunjukkan kinerja yang berkesan. Malah sebaliknya, DPRA sangat lemah dalam menjalankan ketiga fungsinya, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Hal ini diperparah lagi oleh sikap partai nasional yang cenderung diam terhadap hal-hal yang disuarakan oleh Partai Aceh.
B. Fungsi Legislasi
Kinerja anggota DPRA di sepanjang tahun 2012 belum menunjukan hasil yang memuaskan, hal ini dibuktikan dengan minimnya pelibatan publik dalam proses pembuatan qanun. Meski DPRA telah mensahkan qanun dalam jumlah yang banyak yaitu 18 qanun dari 21 qanun yang menjadi prioritas tahun 2012. Namun kualitas isi dari qanun yang disahkan menjadi pertanyaan kritis dari kami, dikarenakan apakah secara subtansi telah memenuhi syarat partisipasi, apakah memiliki subtansi yang sesuai dengan keinginan masyarakat Aceh atau sejauhmana qanun yang disahkan memiliki hubungan langsung dengan masyarakat atau sebaliknya hanya berhubungan dengan elit politik semata.
Pengesahan qanun yang begitu banyak mengesankan DPRA ingin membangun citra bahwa secara kinerja bagus, terlepas dari kualitas yang masih perlu dilakukan evaluasi kembali. Terlihat oleh publik Januari-April hanya disahkan 3 qanun dan pada Juni-Desember 2012 disahkan 15 qanun.
Hasil evaluasi kami, menemukan bahwa DPRA kurang memperhatikan tata cara pembuatan qanun, mulai dari penjaringan aspirasi terhadap qanun yang disusun, penyusunan draf akademis dengan melibatkan organisasi masyarakat sipil, sosialiasi ke publik, dll. Dengan demikian hasil qanun yang disahkan dipertanyakan kembali kualitas isinya.
Apalagi pelibatan partisipasi publik hanya terlihat ketika pembahasan Qanun Wali Nanggroe, tetapi pelibatan tersebut terkesan hanya sebatas prosedural semata karena masukan dari publik hampir tidak membuat isi qanun berubah. Setelah disahkanpun Qanun (QWN) ini masih menjadi pro kontra di kalangan masyarakat karena dianggap bertentangan dengan banyak peraturan hukum yang lebih tinggi, ahistoris dan diragukan kemanfaatannya. Partisipasi perempuan juga minim dilibatkan. Dalam pembahasan QWN, kelompok perempuan baru diundang untuk memberi masukan ketika rancangan QWN sudah hampir final.
Contoh lainnya dalam qanun bendera, partisipasi yang dibangun DPRA tidak masif, misalnya untuk RDPU hanya dilakukan di AAC Dayan Dawood dan DPRA. Juga terlalu berlebihan apabila kedua qanun (QWN dan bendera) harus mencari masukan di luar Aceh mengingat di Aceh saja minim sekali masyarakat yang dilibatkan. Sedang dalam qanun tata cara pembuatan qanun disebutkan apapun produk legislasi harus dibangun partisipasi aktif publik dan itu harus dilakukan secara transparan dan kuat. Seperti tidak adanya informasi sidang dan fasilitas website yang tidak aktif.
Qanun yang disahkan DPRA juga tidak didasarkan pada kebutuhan publik. Sepanjang 2012 bisa dilihat kuatnya desakan publik terhadap qanun KKR dan revisi qanun jinayah, tetapi kedua qanun tersebut tidak mendapat perhatian sedikitpun dari DPRA. Hal ini diperparah lagi oleh sikap partai nasional yang cenderung diam terhadap hal-hal yang disuarakan oleh Partai Aceh.
C. Fungsi Anggaran
Dari sisi pelaksanaan fungsi anggaran (budgeting fuction), kami menilai bahwa kinerja parlemen masih di bawah harapan publik. Beberapa hal yang menjadi sorotan krusial di tahun 2012 sebagai berikut:
1. Parlemen Aceh terjebak dengan “Dana Aspirasi” atau “Program Aspirasi” yang secara regulasi masih masuk dalam kategori ”grey area”. Sampai saat ini, tidak ada landasan hukum yang memperbolehkan atau tidak diperbolehkannya adanyanya ”Dana Aspirasi” atau ”Program Aspirasi” tersebut. Keberadaan dana tersebut telah mengundang transaksi politik antara eksekutif dan legislatif. “Dana Aspirasi” atau “Program Aspirasi” dipandang menjadi alat bater antara legislatif dan eksekuti dalam pembahasan APBA. Dengan demikian, sangat wajar kemudian eksekutif yang memandang pentingnya ”Dana Kerja” sedangkan legislatif berkepentingan dengan “Dana Aspirasi” atau “Program Aspirasi” tersebut.
2. Pengesahan APBA Tahun Anggaran 2013 hingga saat ini belum disahkan. Prestasi buruk ini telah memperpanjang daftar hitam tidak tepat waktunya Provinsi Aceh dalam pengesahan anggaran. Dan ini terbukti kembali jika Aceh kembali terlambat mengesahkan APBA, yang sebelumnya digadang-gadangkan akan disahkan diakhir tahun 2012 lalu.
3. DPRA Aceh belum terlihat secara nyata dalam memberikan solusi cerdas terhadap pengelolaan Dana Otonomi Khusus dan Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak Dan Gas Bumi secara komprehensif. Dalam tahun 2012, hal ini terlihat nyata dalam proses revisi Qanun No. 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak Dan Gas Bumi Dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus. DPRA hanya lebih fokus pada pembagian dana tersebut antara porsi untuk tingkat provinsi dan porsi untuk kabupaten/kota. DPRA juga hanya melihat pada aspek pola pengelolaan yang kini sudah transfer langsung ke daerah. Padahal yang lebih penting dilakukan oleh DPRA adalah memastikan bagaimana pola pengunaan dana tersebut, kriteria proyek seperti apa yang harus didanai, sehingga tidak lagi terjebak pada proyek-proyek kecil yang tidak memberikan daya ungkit besar dalam mengatasi persoalan pembangunan berbagai sektor di Aceh.
4. DPRA belum membuka ruang yang cukup bagi elemen sipil untuk berpartisipasi dalam penyusunan perencanaan dan penganggaran terkait dengan APBA. Seharusnya, elemen masyarakat sipil dapat diajak untuk ikut serta memberikan masukan dalam proses tersebut, seperti pada saat pembahasan dokuken KUA dan PPAS.
D. Fungsi Pengawasan
Dalam pemenuhi kewajiban dalam fungsi pengawasan, pada tahun 2012 dapat diberikan beberapa catatan sebagai berikut:
1. Pola pengawasan yang dilakukan oleh DPRA secara keseluruhan belum terlihat secara jelas dan nyata. Publik belum melihat kontrol terhadap eksekutif secara komprehensif, dan tentu pola ini sangat berbeda ketika eksekutif masih dipimpin oleh bukan Partai Aceh. Publik tidak mendapatkan cukup informasi bagaimana feedback yang diperoleh setelah melakukan pansus, reses dan studi banding. Padahal ketiga bentuk tersebut menjadi alat bagi DPRA untuk memperkuat pelaksanaan fungsi pengawasannya.
2. Paradigma pelaksanaan fungsi “pengawasan” oleh DPRA terjebak kembali pada pola “supervisi”, “monitoring”, atau “audit”. Sehingga tidak heran bila yang terjadi adalah “membawa palu ketok bangunan, jalan dan jembatan. Pengawasan lebih banyak terfokus dan ”terjebak” pada aktivitas pemeriksaan yang berupa kunjungan kerja yang berorientasi pada proyek fisik. Padahal dalam konteks legislatif, kata pengawasan lebih tepat disebut “oversight” dengan arti bahwa perlemen harus masuk dalam pola “pengamatan dan pengarahan terhadap sebuah tindakan dari eksekutif berdasarkan kerangka aturan yang ditentukan’.
3. Implementasi fungsi pengawasan sejatinya berada pada keseluruhan fungsi yang melekat di tubuh parlemen. Memastikan jika fungsi legislasi berlangsung secara partisipatif, fungsi anggaran berjalan secara efektif dan efisien, dan fungsi pengawasan sendiri untuk memastikan aspek transparansi dan akuntabilitas. Akan tetapi pada tahun 2012, pengawasan DPRA masih berlaku pada saat pansus semata, sedangkan pengawasan pada aspek pelaksanaan regulasi (qanun) serta aturan pendukung (seperti peraturan gubernur) belum terlihat oleh publik.
4. Pelaksanaan fungsi pengawasan oleh DPRA cenderung menjadi alat tawar-menawar politik (transaksional). Pengawasan belum memberikan kontribusi optimal bagi pengelolaan Pemerintahan Aceh. Pengelolaan pengawasan belum efektif. Bahkan belum membangun partisipasi publik dalam proses pengawasan yang dilakukan.
5. DPRA belum menunjukkan political will mendorong tata kelola pemerintahan yang baik, transparan, akuntabel dan anti korupsi. Misalnya, pada saat terjadinya kasus indikasi korupsi yang dilakukan oleh Zul Namploh sebagai Sekretaris Dinas Pendidikan Aceh hampir tidak ada tanggapan apapun dari Gubernur, dan DPRA pun belum menjalankan fungsinya untuk mendorong pemerintahan yang bersih di Aceh. Keterbukaan informasi publik masih menjadi masalah krusial, meskipun Komisi Informasi Aceh (KIA) sudah dibentuk oleh DPRA bersama Pemerintah Aceh.
6. Komunikasi politik dengan daerah konstituen untuk meng–input masukan dari masyarakat belum maksimal dilakukan oleh anggota DPRA pada saat masa reses. Masa reses seharusnya dapat membangun fungsi komunikasi politik untuk menyerap berbagai aspirasi, pandangan-pandangan dan gagasan-gagasan yang berkembang dalam masyarakat dan sebagai bahan dalam penentuan kebijaksanaan di parlemen, maupun sebagai masukan kepada eksekutif. Selain itu juga dapat dimanfaatkan untuk penyebarluasan rencana-rencana atau kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah kepada rakyat. Dengan demikian fungsi ini membawakan arus informasi timbal balik dari rakyat kepada pemerintah dan dari pemerintah kepada rakyat. Namun kondisi ideal ini masih sulit ditemui, sehingga saat ini yang terjadi malah sebaliknya yaitu kelompok-kelompok masyarakat tertentu yang mendatangi “gedung dewan” untuk menyampaikan pendapat, saran, aspirasi, serta permasalahan yang dihadapi masyarakat di daerah konstituen.
E. Rekomendasi
Berdasarkan uraian di atas, kami menyatakan beberapa rekomendasi untuk arah kerja DPRA 2013 ini sebagai berikut:
1. Meminta seluruh anggota DPRA untuk mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan fungsinya selaku wakil masyarakat Aceh dengan menanggalkan kepentingan pribadi dan kelompok politik;
2. Meminta DPRA dalam pelaksanaan fungsi legislasifnya menfokuskan pada penyelesaian qanun-qanun yang berhubungan langsung dengan kepentingan publik, bukan hanya mengejar penyelesaian qanun yang berhubungan dengan kepentingan politik elit dan sektor keuangan daerah yang berkaitan dengan kepentingan legislatif dan eksekutif semata;
3. Meminta DPRA untuk melibatkan publik dalam pembahasan perencanaan dan penganggaran APBA, termasuk dalam proses pembuatan qanun. Hal ini menjadi penting sebagai bagian dari transparansi dan akuntabilitas kepada publik atas kinerja DPRA;
4. Meminta DPRA untuk mengoptimalkan fungsi pengawasan dalam perspektif “oversight”, yang bukan hanya mengandalkan turun lapangan semata, tetapi memastikan sejauhmana aturan hukum dan kebijakan daerah telah diimplementasikan secara komprehensif oleh eksekutif.
5. Meminta DPRA bersama eksekutif untuk memastikan bahwa tahun 2013 seluruh qanun yang diamanahkan oleh UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, termasuk melakukan advokasi mempercepat penyelesaian Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) dengan Pemerintah Pusat di Jakarta dapat dituntaskan dengan baik.
Banda Aceh, 8 Januari 2012
ACSTF, Forum LSM Aceh, MaTA, LBH APIK, Beujroh, FPA,
GeRAK, Aceh Institute, Koalisi NGO HAM Aceh.