Mari Saling Berbagi Peran, Jangan Saling Berebut Peran
Oleh: Sabela Gayo*
PASCAPENGUKUHAN Tgk Iklil Ilyas Leube sebagai Reje Linge ke XX pada 28 Januari 2013 yang lalu di Buntul Linge, banyak terjadi pro-kontra di tengah-tengah masyarakat baik masyarakat Gayo maupun masyarakat diluar Gayo. Hal ini merupakan hal yang wajar di dalam dinamika demokrasi dan dalam kerangka kebebasan berpendapat. Sejumlah kalangan yang kontra terhadap pengukuhan tersebut antara lain: Sibayak Lingga yang mengaku sebagai ahli waris dan keturunan langsung Reje Linge ke XVIII Abdul Muthalib mengatakan bahwa “pengukuhan Reje Linge XX tidak berdasar karena Iklil tidak dasar darah yang kuat sebagai Raja. Ayahnya Malamsyah merupakan putra Abdul Muthalib dari istri yang ke IV”.
Kemudian nada kontra juga datang dari organisasi yang menamakan dirinya sebagai Mahasiswa Pecinta Sejarah Gayo (MAPESGA), mereka mengungkapkan bahwa “syarat menjadi Raja harus memiliki wilayah kekuasaan dan persetujuan masyarakat”. Selanjutnya nada kontra juga datang dari Kassah Hakim, Anggota DPRA Pengganti Antar Waktu (PAW) dari Fraksi Partai Aceh. Beliau menyatakan bahwa “ia merupakan keturunan langsung Leube Cut, Reje Linge XVI. Ia menyatakan bahwa “penobatan tersebut menciderai keturunan raja yang sebenarnya dan merupakan suatu kebohongan”.
Nada mendukung terhadap pengukuhan Reje Linge XX datang dari Muhammad Hamka, ia menyebutkan bahwa “pengukuhan Reje Linge ke XX tidak hanya sekedar seremonial belaka melainkan harus dijadikan sebagai “pintu masuk” dalam mempersatukan Urang Gayo, sehingga identitas dan martabat Gayo bisa terangkat baik di kancah nasional, regional maupun internasional. Kemudian nada dukungan juga datang dari World Gayonese Association (WGA) melalui press release yang dikeluarkan pada tanggal 30 Januari 2013. Pada intinya WGA mengapresiasi pengukuhan tersebut dan berharap Reje Linge ke XX bisa hadir langsung untuk membuka acara Konferensi Internasional Kerajaan Linge Gayo yang Kedua, yang Insya Allah akan diselenggarakan di Johor Baharu, Malaysia pada bulan Oktober 2013 yang akan datang.
Pro-kontra yang timbul pasca pengukuhan Reje Linge XX harus dikelola dengan baik sehingga mampu melahirkan “energi positif” bagi persatuan dan pembangunan di Gayo. Mungkin kita tidak pernah menyadari bahwa sesungguh Allah SWT berencana untuk merekatkan kembali tali silaturrahim, rasa persaudaraan, cinta kasih, saling tolong-menolong dan persatuan di kalangan masyarakat Gayo melalui prosesi sakral pengukuhan Reje Linge XX yang lalu.
Kisruh terkait pengukuhan Reje Linge XX diharapkan bisa diselesaikan secara kekeluargaan melalui musyawarah dan mufakat dengan melibatkan tetue dan semua pihak yang mengaku sebagai keturunan Reje Linge sehingga permasalahan pro-kontra tersebut tidak berlarut-larut. Tentunya, diantara semua orang yang mengaku sebagai anak/cucu/keturunan langsung Reje Linge, ada yang “dituakan” diantara mereka sehingga orang yang “dituakan” tersebut dapat memediasi dan memfasilitasi kisruh ini agar dapat segera dicarikan solusinya secara adil dan bermartabat.
Yang pasti, berdasarkan satu fakta sejarah disebutkan bahwa sudah pernah dilakukan prosesi penyerahan “tongkat estafet” kerajaan Linge secara resmi oleh Abdul Muthalib kepada Tgk Ilyas Leube melalui suatu prosesi sakral upacara adat Gayo di Buntul Linge. Sejarah itu diharapkan bisa dibuka kembali sehingga semua persoalan klaim-mengklaim sebagai Reje Linge yang sah bisa segera diakhiri. Dan energi yang tersisa, bisa digunakan untuk memikirkan nasib rakyat Gayo dan arah pembangunan Gayo ke depan.
Sangat penting untuk disadari bersama bahwa, pembangunan yang berkelanjutan di Tanah Gayo mengharapkan partisipasi dari semua kelompok dan kepentingan yang ada, demi terwujudnya satu tatanan masyarakat Gayo baru yang kosmopolitan. Masing-masing individu dan kelompok mempunyai tanggung jawab yang sama sesuai dengan keahlian yang dimilikinya.
Sehingga diharapkan masing-masing indvidu dan kelompok di Gayo bisa memainkan perannya masing-masing sesuai dengan keahlian yang dimiliknya. Jangan sampai terjebak ke dalam semangat saling berebut peran yang berujung pada perpecahan dan konflik tetapi lebih baik saling berbagi peran sehingga masing-masing pihak bisa memaksimalkan usaha dan do’anya bagi kemajuan tanah Gayo dan kemaslahatan semua rakyat Gayo.(winngayo[at]gmail.com)
*Mahasiswa program PhD (Law) di College of Law, Government & International Studies Universiti Utara Malaysia