Keben, Perisai Pangan di Tanah Gayo

Keben di Nosar Lut Tawar. (Lintas Gayo | Kha A Zaghlul)
Keben di Nosar Lut Tawar. (Lintas Gayo | Kha A Zaghlul)

Peger keben mewajibkan setiap rumah menanami pekarangannya dengan beragam tanaman. Tradisi yang menjadi simbol kebersamaan masyarakat.

Aneka tumbuhan, sayuran dan buah, tumbuh subur di pekarangan rumah Muhammad Syukri, di Kampung Bujang, Aceh Tengah, Aceh. Saban pagi, dia asyik menikmati pemandangan asri itu. Adalah pria paruh baya itu sendiri yang menanam-
nya di peger keben miliknya.

“Diversifikasi pangan sudah dilakukan nenek moyang kita sebelum negara ini berdiri,” ujarnya kepada Prioritas dua pekan lalu.

Peger keben, secara harfiah, dimaknai sebagai pagar lumbung. Itu merupakan konsep kearifan lokal sebagai upaya untuk ketahanan pangan bagi warga setempat. Tradisi ini mewajibkan setiap kepala keluarga untuk menanami halamannya dengan ketela, bentul, labu kuning, jagung, sayuran dan tanaman buah-buahan.

“Tradisi ini berangkat dari falsafah orang Gayo, Inget-inget sebelem kona, hemat jimet tengah ara (jaga-jaga sebelum terjadi, berhematlah selagi masih ada),” kata Syukri.

Tak diketahui pasti, sejak kapan peger keben mulai dikenal di Kabupaten Aceh Tengah. Direktur Institute for Ethnics Civilization Research Yusra Habib Abdul Ghani, mengaku kesulitan menelusuri akar jejak tradisi ini.

Namun, menurut dia, tradisi ketahanan pangan ini sudah ratusan tahun dikenal di kawasan Aceh Tengah. Di sekitar bibir Sungai Pesangan dan Danau Laut Tawar misalnya, peger keben sudah sejak lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat setempat.

“Mesti dilakukan penelitian ulang untuk mengungkap kepastiannya,” ujarnya.

Tradisi ini sedikit terekam dalam buku Het Gajoland ez Zijne Bewoners, karya Christian Snouck Hurgronje asal Belanda. Dalam buku yang terbit pada 1903 itu, Hurgronje menulis, “Sesudah lepas panen, sawah dibiarkan kosong sampai tiba waktu bertanam berikutnya.” Masih dalam buku itu disebutkan, “Sayuran, buah-buahan, dan sebagainya yang dibutuhkan untuk lauk, ditanam di kebun-kebun kecil di muka pekarangan rumah atau di ladang-ladang yang letaknya tidak jauh dari rumah.”

Tersedianya bahan makanan yang memenuhi pekarangan, kata Hurgronje, membuat penggunaan beras untuk konsumsi sehari-hari dapat diselingi dengan umbi-umbian, seperti singkong, ketela, labu kuning, bentul ataupun jagung. Hal itu juga membuat stok padi dalam lumbung dapat dihemat, bahkan sampai tiba masa panen berikutnya.

Tradisi yang masih banyak ditemukan di pedesaan Aceh Tengah tersebut berlaku turun-temurun. Kesadaran akan manfaat dan nilai budayanya yang tinggi, menjadikan tradisi ini bisa bertahan hingga sekarang. Keben pada umumnya dibuat sederhana dari papan, dan sebagian lagi terbuat dari kulit kayu. “Semua keluarga dalam suatu kampung punya keben untuk penyimpan padi,” kata Yusra.

Dalam penelitian yang dilakukan lembaganya, sekitar lima tahun lalu, Yusra mencatat tradisi ini mengandung konsep tentang kebersamaan, kekerabatan, persaudaraan dan perlindungan. Pada masyarakat Gayo, konsep tersebut tersirat dalam falsafah Beluh sara loloten, mèwèn sara tamunen (pergi satu arah tujuan, tinggal satu kelompok).

Karena itu, sebagai suatu kelompok, diperlukan perisai sebagai pertahanan. Selain berfungsi sebagai penyimpan padi, yang bisa bertahan bertahun-tahun, keben juga sebagai perisai kampung, memperindah dan melindungi penduduk kampung.

Keben tak jarang menjadi tempat penyimpanan barang pecah belah peralatan bertani warga. Lantaran itu, keberadaannya juga dihormati sebagai salah satu infrastruktur sosial budaya yang penting. Hal itu tampak saat warga kampung bergotong-royong untuk membangun keben. Dalam kegiatan itu tersirat kearifan bahwa manusia tak bisa hidup tanpa manusia yang lain, atau tanpa bantuan dari manusia lainnya.

Khusus di kawasan Gayo, tradisi keben lebih banyak dibangun di tepi kampung, menyerupai pagar yang mengelilingi kampung. Di kawasan pedesaan pesisir Aceh, kata Syukri, masih terdapat tradisi menanam pelbagai tumbuhan di area pekarangan rumah. “Mulai dari cabe sampai jeruk purut,” ujarnya.

Bagi Yusra, peger keben telah menjadi simbol adanya kebersamaan dalam suatu entitas masyarakat. Di dalamnya tertanam jalinan rasa kebersamaan, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa melindungi dan tanggungjawab bersama. Kepedulian terhadap sesama warga kampung, di antaranya terlihat jika salah satu keluarga tak tampak menjemur gabah dari keben. Tanda bahwa keluarga tengah kehabisan stok di keben, akan direspon cepat dengan membantu mereka mengatasi kelangkaan pangan. “Mereka saling bantu mencukupi kebutuhan pangan warga kampung,” katanya.

Kebersamaan juga menonjol saat di antara mereka hendak menjemur gabah. Mereka saling membantu secara sukarela. Di kawasan Aceh Tengah, para petani masih setia dengan peralatan tradisional yang ramah lingkungan. Usai dijemur, gabah diolah dengan Roda atau Jingki, sebutan untuk penumbuk padi tradisional.

Syukri yakin, munculnya tradisi peger keben bermula dari rasa kebersamaan untuk menjaga ketersediaan pangan warga kampung. Sebab, menyimpan padi dan bahan makanan lainnya dalam keben lebih aman dan dapat bertahan lebih lama.

Senada dengan Syukri, menurut Yusra, kendati tak lahir dari ajaran agama tertentu, namun spirit moral dan solidaritas sosial membuat tradisi ini lahir.

Mereka menyayangkan jika tradisi luhur ini secara perlahan dilupakan. Salah satu yang diduga menjadi penyebabnya adalah kecenderungan masyarakat yang lebih suka menjual hasil tani kepada tengkulak. Hal itu tak lepas dari menguatnya budaya serba instan. Juga lantaran budaya bertani dan berkebun secara tradisional kian kurang diminati.

Kini, lahan pertanian berkurang. Banyak area pesawahan dan perkebunan disulap menjadi kawasan perumahan, pertokoan dan perkantoran. Itu tak hanya mengakibatkan fungsi keben berkurang, tapi juga banyak petani tak lagi punya ketersediaan pangan dalam keben.

Sebelum peger keben sekadar menjadi kenangan, Syukri mengingatkan agar kecintaan pada tradisi leluhur ini untuk terus ditumbuhkan.

“Keben merupakan konsep ketahanan pangan yang sudah teruji,” kata Syukri.

Kelestarian peger keben, menurut Yusra, sangat bergantung pada kesadaran penguasa dan masyarakat yang bersangkutan. “Aparat pemerintah perlu memberikan penerangan tentang perlunya upaya ketahanan pangan berbasis tradisi,” katanya. “Sebab ini merupakan benteng pertahanan terakhir jika terjadi bencana,” dia menambahkan. Kendati agak terlambat, kata Syukri, gerakan menanam dengan memanfaatkan pekarangan rumah perlu digalakkan kembali.

Kebun Kuning 

Masyarakat Gayo, Aceh Tengah, tak hanya mengenal Peger Keben untuk menopang kebutuhan keluarga. Mereka juga menerapkan konsep Empus Kuning (kebun kuning). Kebun kuning itu terletak di belakang atau di samping rumah. Sejumlah tanaman yang bisa digunakan untuk mendukung keperluan lauk pauk sehari-hari, seperti tanaman serai, jeruk limau, sayur-sayuran, kunyit, lengkuas, cabe, ditanam di kebun itu.

Dengan memanfaatkan hasil dari kebun kuning itu, dapat dilakukan penghematan terhadap beras dan kopi. Selain itu, dua produksi utama tersebut juga dapat dijual di pasaran lokal, nasional, bahkan mancanegara. Sebab, bagi masyarakat setempat, hasil padi dan kopi merupakan modal utama untuk membangun masa depan keluarga.

Menurut Direktur Institute for Ethnics Civilization Research Yusra Habib Abdul Ghani, lembaganya mencatat sejak 30 tahun terakhir, hanya 40 persen penduduk di empat Kabupaten yaitu Aceh Tengah, Bener Merie, Gayo Lues, dan Aceh Tenggara, yang menikmati produksi beras lokal. Selebihnya, menikmati beras Bulog atau impor. Hal itu merupakan dampak dari penyempitan area tanah produktif pesawahan. (Anom B Prasetyo | prioritasnews)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. Oya…betoldi Ama…
    Turah i lestarikan, kati anak kumpu te gere melape…
    Cocok pedi urum pepatah ni urang gayo ‘ inget inget sebelom kona, hemat jimet tengah ara’….