Oleh : Sabela Gayo *)
Membangun sebuah tatanan masyarakat Gayo baru bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah karena banyak aspek yang harus dibenahi. Bangsa Jepang menerapkan sebuah gerakan modernisasi baru yang bernama Restorasi ketika Jepang kalah perang dari sekutu pada tahun 1940-an. Restorasi Jepang berjalan hampir 20 (dua puluh) tahun dan membuahkan hasil berupa penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi oleh bangsa Jepang sehingga jepang mampu memproduksi barang-barang elektonik secara massal dengan biaya murah.
Keberhasilan jepang berawal dari adanya sebuah keinginan dan kemauan yang kuat dan didorong oleh kampanye yang terlanjur di dengungkan di kawasan asia raya bahwa jepang adalah cahaya asia, jepang adalah pelindung asia dan jepang adalah pemimpin asia. Jepang terlanjur mengklaim dirinya sebagai bangsa super di asia dan kekalahannya dengan sekutu membuat Jepang merasa malu sehingga memerlukan solusi alternatif agar jepang mampu membuktikan dirinya sebagai ras super di Asia sesuai dengan klaim yang pernah dilontarkannya.
Gayo merupakan sebuah bangsa dimana dalam masyarakat Gayo sendiri terdapat beberapa keturunan-keturunan yang berbeda sehingga menyebabkan terjadinya ”sedikit” perbedaan dalam hal bahasa disebabkan karena tempat tinggal dan lingkungannya masing-masing. Gayo juga bukanlah keturunan ”Bangsa Budak” melainkan keturunan ”Bangsa Penguasa” yang dapat dibuktikan berdasarkan fakta sejarah.Setiap individu atau kelompok masyarakat selalu berkeinginan menjadi yang terbaik dan nomor satu dalam bidang kehidupan apa saja, baik di bidang seni, budaya, olahraga, akademis, ekonomi, politik, dan lain-lain sifat dasar dan alami manusia adalah selalu berkeinginan menjadi yang terbaik atau nomor satu.
Dalam konteks dunia perpolitikan di Aceh, bangsa Gayo justru hanya ”berani” bermimpi menjadi nomor dua. Hal ini disebabkan karena adanya momok minoritas kontra mayoritas. Ada sebagian orang Gayo mengatakan ”kita tidak mungkin menjadi nomor satu karena kita kalah secara kuantitas dari orang-orang yang ada di pesisir”. Kondisi ini sangat kontra produktif dan ironi sekali, karena dalam literatur-literatur sejarah lisan yang berkembang di Gayo, Bangsa Gayo terlanjur mengklaim diri sebagai bangsa ”asli” Tanoh Aceh, tetapi pertanyaannya kemudian adalah mengapa bangsa ”asli” tidak bisa bermimpi menjadi orang nomor satu di Aceh?, mengapa bangsa ”asli” justru merasa minder dengan adanya momok minoritas kontra mayoritas?, jangankan menjadi kenyataan, bermimpi saja pun bangsa ”asli” tidak bisa untuk jadi orang nomor satu di Aceh, mengapa? Apa ada yang salah? Kalau ada, dimana salahnya?. Mengapa bangsa yang mengklaim dirinya sebagai bangsa ”asli” justru merasa dirinya sebagai ”orang asing” diatas tanoh datunya sendiri?.
Semua pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya dapat dijawab oleh masing-masing individu rakyat Gayo dengan hati yang jernih dan pikiran yang bersih tanpa diselingi kepentingan-kepentingan politik pragmatis. Jika bangsa Gayo mau belajar dari ketegaran bangsa Jepang dalam menghadapi kekalahan perang dari sekutu dan menanggung malu yang tiada taranya karena terlanjur mengklaim diri sebagai ras super di asia, maka bangsa Gayo akan menemukan sebuah kekuatan yang maha besar yang dapat mendorong Gayo menuju kemajuan dan kejayaan.
Pelajaran berharga yang dapat diambil dari sikap bangsa Jepang dalam meghadapi kekalahan dari sekutu adalah bahwa mereka sebagai sebuah bangsa yang terlanjur mengklaim sebagai bangsa super di Asia tidak mungkin lagi dapat bersaing dan menang dari sekutu dari segi militer maka kemudian mereka mencari jalan alternatif agar supaya mereka dapat kembali berjaya dan membuktikan kepada dunia bahwa klaim mereka yang menyatakan bahwa mereka adalah bangsa super di asia adalah klaim yang benar dan tidak mengada-ada. Jalan alternatif yang diambil adalah dengan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Ternyata jalan alternatif yang diambil pada saat itu adalah jalan yang benar dan kemudian membawa hasil berupa kemakmuran dan kejayaan produk-produk industri jepang yang membajiri pasar-pasar dunia. Bahkan klaim mereka yang dulunya hanya sebatas menjadi pemimpin Asia sekarang berubah menjadi pemimpin seluruh dunia dalam bidang perdagangan dan industrialisasi.
Bangsa Gayo pun harus mengimitasi semangat dan gerakan yang pernah dilakukan oleh bangsa Jepang dahulu kala. Kalau kondisi politik di Aceh telah memasung hak-hak bangsa Gayo untuk menjadi orang nomor satu di Aceh maka bangsa Gayo harus mencari jalan alternatif sebagaimana yang pernah dilakukan oleh bangsa Jepang dulu. Jalan alternatif tersebut sangat dibutuhkan oleh bangsa Gayo untuk mengembalikan apa yang disebut dengan marwah, harkat, derajat, martabat, jati diri, identitas, harga diri, dan kewibawaan bangsa Gayo yang terlanjur mengklaim diri sebagai bangsa ”asli” di Aceh. Bangsa Gayo harus membuktikan kepada seluruh elemen masyarakat Aceh dan dunia bahwa klaim bangsa Gayo yang menyatakan bahwa bangsa Gayo adalah bangsa ”asli” di Aceh adalah klaim yang benar dan tidak mengada-ada sebagaimana klaim yang juga pernah dilakukan oleh bangsa jepang, yang mengklaim dirinya sebagai bangsa super di Asia.
Bagi bangsa Gayo, untuk membuktikan klaim tersebut memerlukan jalan alternatif yang tepat sebagaimana yang pernah ditempuh oleh bangsa jepang dulu. Satu-satunya jalan alternatif yang dapat ditempuh oleh bangsa Gayo adalah dengan memodernisasikan dirinya baik dari segi pola pikir, pendidikan, bahasa, budaya, dan ekonomi. Dari sekian banyak aspek yang harus dimodernisasi yang paling penting adalah investasi pendidikan. Pemerintah dan individu di Gayo harus berani mengambil langkah-langkah cepat, nyata dan revolusioner dalam memodernisasikan dunia pendidikannya. Langkah-langkah yang perlu diambil adalah sebagai berikut, yaitu;
1. Sekolah-sekolah yang ada di Gayo harus dilengkapi dengan peralatan yang modern dan canggih,
2. Tiap-tiap sekolah dan/atau desa-desa di Gayo harus memiliki perpustakaan digital dan konvesional yang memuat berbagai macam buku-buku ilmu pengetahuan yang modern.
3. Beasiswa diberikan kepada setiap individu yang berprestasi dan ditandai dengan komitmen untuk kembali ke daerahnya.
4. Setiap siswa sekolah mulai dari TK, SD, SMP dan SMA di Gayo diwajibkan menguasai bahasa inggris disertai dengan penyediaan tenaga pengajar asing, buku-buku pelajaran bahasa inggris yang up to date, Pusat tes bahasa inggris. Bila perlu syarat menguasai bahasa inggris dijadikan sebagai salah satu syarat bagi pengurusan KTP, KK, Surat Menikah, Masuk TK, SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi di Gayo atau menjadi pegawai honorer di Gayo. Atau mewajibkan kepada setiap PNS di Gayo untuk berkomunikasi dengan bahasa inggris tiga hari dalam seminggu dan syarat bahasa inggris dijadikan syarat mutlak untuk promosi semua jabatan di Pemerintahan.
5. Modernisasi institusi perguruan tinggi di Gayo, dengan membangun sebuah universitas bertaraf internasional dengan staf pengajar asing melalui program-program kerjasama dengan universitas-universitas luar negeri.
6. Memasang slogan-slogan yang menggugah semangat disetiap persimpangan jalan, tempat-tempat umum, desa-desa, sekolah-sekolah, mesjid-mesjid, balai-balai pengajian, mersah-mersah, yang bunyi slogan tersebut misalnya; ”Tidak ada tempat bagi orang Bodoh dan Malas di Gayo”, Kejayaan Gayo hanya dapat diraih dengan Kerja Keras”, ”Orang yang kerjanya hanya NOME dan NGUPI adalah musuh agama”, dan lain-lain slogan-slogan yang menggugah semangat.
Beberapa langkah diatas hanyalah sebuah gambaran kasar tentang pentingnya dan strategisnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka menemukan jalan alternatif bagi kembalinya marwah bangsa Gayo sebagai bangsa ”asli” di Aceh. Gayo harus buktikan bahwa klaim yang dilakukannya adalah benar, sebagaimana kata pepatah ” tidak satu jalan ke Roma”. Begitu juga dalam meraih kejayaan ketika satu jalan buntu (red; jalan politik) maka kita harus mencari jalan lain dengan cepat, sigap dan tepat. Kalau kita beranggapan mengaca kepada bangsa Jepang terlalu ”tinggi” tentunya kita juga bisa belajar dari Bangsa Cina Taiwan yang juga mampu meraih kejayaan dan kemakmuran dengan kondisi yang lebih memprihatinkan dari Jepang. Banyak orang percaya bahwa Gayo punya kekuatan untuk maju apabila Bangsa Gayo ada kemauan, dan ada satu hal yang perlu kita ingati bersama ” enti galip kite munengon ku kuduk kahe mera museruk, langkah seger mi kenake kite munengon ku arap kati mera kite terarap”.
*) Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Pemuda Gayo (PP IPEGA) dan Direktur Eksekutif Biro Bantuan Hukum – Sentral Keadilan (BBH-SK) Banda Aceh.
Sumber: Gayolinge.com