LAHIR sebagai anak petani di Takengon, Aceh Tengah, 47 tahun lalu. Mursyid berhasil meraih amanah rakyat Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebagai pembawa dan pejuang aspirasi daerah di DPD RI. Keberhasilan Mursyid tak semudah membalik telapak tangan, sebelumnya dia pernah bergelut di lakarta selama tujuh bulan sebagai sales obat-obatan dan hasil kerajinan.
Merasa kurang cocok dengan apa yang digelutinya, Mursyid memilih pulang kampung. Di kampung halamannya, suami dari seorang perempuan Padang bernama Desna Yu-wilda ini berdagang sayur-mayur dan ba-han lauk-pauk. Lebih kurang satu tahun, ayah dari dua putra dan dua putri ini, berkeliling setiap hari ke pelosok kampung menggunakan sepeda motor pabrikan Italia.
Selepas berdagang kebutuhan pangan sehari-hari, pria yang menghabiskan masa SD hingga SMA di Lhokseumawe, Aceh Utara ini, mencoba peruntungan menjadi seorang petani, menanam kelapa sawit di Aceh Utara. Namun, akibat konflik antara Pemerintah RI dan CAM yang semakin memburuk, tanaman kelapa sawit miliknya terbengkalai, dan akhirnya gagal.
Ini dikarenakan lahan kelapa sawit miliknya berada di pusat konflik. Saat konflik semakin memburuk, sekadar melihat kondisi lahannya pun dia tak bisa. Lahannya pun terbengkalai dan tidak menghasilkan apapun. Lulusan Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh rni, kemudian kembali ke kampung halamannya di Aceh Tengah, daerah yang dikenal lebih netral dari konflik. Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Aceh Tengah ini, memuluskan masuk ke dunia politik, menjadi kader Partai Keadilan (cikal bakal PKS).
Denganmodal materi yang seadanya, mengandalkan jaringan dan hubungan baik yang dia miliki, mantan Ketua Badko HMI Aceh ini pada tahun 1999 terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Aceh Tengah. Dan di tahun 2009, dia terpilih menjadi anggota DPD RI.
Mursyid membocorkan rahasia suksesnya. Dia mengakui menjalin silaturrahim dan menjaga hubungan baik dengan setiap orang merupakan kunci suksenya. Dikatakan Ketua T3PD BKPRMI Aceh Tengah ini, semenjak kecil dirinya menyukai organisasi. SD hingga SMA ia bergejut di Pramuka. Saat kuliah, dia bergiat di HMI, IMM, Forum Silaturrahmi Mahasiswa (Fosma), dan sempat menjadi Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) Fakultas Pertanian Unsyiah.
Selepas lulus, aktivitas berorganisasi tak pernah ditinggalkannya. Mursyid selalu menjalin, membina, dan mempererat jaringan organisasi yang pernah digelutinya. Bagi dia, tidak ada bedanya saat menjadi pejabat atau tidak, menjalin silaturrahim dengan masyarakat merupakan hal penting.
Dia menceritakan pengalaman uniknya saat kampanye pada pemilu 2009 lalu. Mursyid berkampanye tidak seperti “lazim”-nya, seperti orasi politik dan penyampaian janji-janji kampanye dengan mengumpulkan masyarakat secara terbuka, atau menyebar “amplop” dan “sembako”.
Mursyid memilih menggunakan metode pendekatan langsung ke masyarakat Aceh dengan mendatangi setiap masjid di seluruh Aceh. Di setiap masjid yang baru didatanginya, tanpa sungkan ia mengumandangkan adzan, menjadi khatib, dan imam shalat.
Dengan seperti itu, masyarakat yang tak kenal dirinya akan merasa heran, mereka mendatangi dan menanyakan sosoknya. Pada kesempatan itulah, dia gunakan kesempatan untuk berdialog, dengan memperkenalkan diri, dan menyampaikan gagasan-gagasannya.
“Saya tidak kampanye secara terbuka menggunakan masjid, tidak mengundang masyarakat juga, apalagi harus bagi-bagi amplop,” tutur dia.
Mursyid mengaku dalam sehari dia harus mendatangi lima masjid. Berkeliling menggunakan sepeda motor. Sering kali pula ia tidur di rumah tokoh masyarakat setempat.
Selain itu, dia pun sering berbincang dan berdialog dengan semua jaringan organisasinya. Ia tak segan berada di warung kopi, hanya untuk berkumpul, dan berdialog. Dengan metode ini, tak heran, aku dia, suaranya di dua kabupaten ada yang mencapai 80. persen.
Apa yang dilakukannya itu, ternyata tak hanya saat masa kampanye, hingga sekarang hal itu masih dilakukannya saat ia berada
di Aceh.*
MURSYID berharap kedamaian di Aceh selalu terjaga. Karena itu, tujuannya bergelut di politik adalah bagaimana menjaga perdamaian di Tanah Rencong itu. Menurut dia, konflik di Aceh bisa diselesaikan melalui jalur pol itik,-bukan dengan angkat senjata.
Terbukti kan konflik berakhir di atas meja. Penyelesaian terbaik konflik ya lewat politik. Kedua belah pihak bisa mendapatkan winwin solution,” kata dia.
Menurut Mursyid, proses perdamaian di Aceh semakin memuaskan. Kondisi ini, ujar dia, bisa memajukan Aceh. Semakin Aceh damai, ada rasiman, dan kondusif, maka investor juga akan berdatangan, denyut ekonomi akan bergeli.it hingga bisa meningkalkan kesejahteraan rakyat Aceh.
“Sekarang ini luar biasa damai dan amannya Aceh. Saya berkewajiban menjaga itu melalui DPD,” ucap dia.
Selain itu, di DPD dia pun merasa berkewajiban mengawal pelaksanaan peraturan perundangan-undangan, penyerapan aspirasi, dan memperjuangkan aspirasi itu. “Yang utama, perdamaian di Aceh tetap lestari,” pungkasnya, (Harian Pelita/cr-14)