POSKO wartawan di lapangan Setdakab Aceh Tengah bukan hanya tempat berkumpul para wartawan untuk menghimpun informasi terkait bencana gempa bumi. Posko tersebut juga menjadi tempat mengadu masyarakat, utamanya mereka yang tidak mendapatkan bantuan logistik dari posko bantuan gempa milik pemerintah.
Tidak seperti dua tenda besar yang disediakan bagi penyalur bantuan dan sekretariat posko bantuan pemerintah yang sering kosong, tenda berukuran 3x6m yang didepannya terpampang tulisan “Posko Media” selalu ramai hingga jelang pagi.
Di tengah kesibukan belasan bahkan puluhan wartawan yang memanfaatkan WiFi gratis di tenda tersebut, setidaknya ada lima orang warga yang setiap hari meningkahi kerja mereka. Datang dari berbagai desa, mereka sengaja ke posko wartawan guna mengadukan nasib dan meminta bantuan. Bila tidak mampu memberikan bantuan, para jurnalis pun mengarahkan mereka ke posko logistik.
Hingga 26 hari pascagempa, masih ada saja masyarakat yang mengeluhkan kurangnya bantuan. Rerata meminta bantuan tenda keluarga, pasalnya rumah mereka rusak parah dan tidak memungkinkan untuk ditinggali lagi.
Dengan adanya tenda keluarga, masyarakat berharap bisa mendirikannya di dekat rumah masing-masing. Sementara bantuan logistik berupa sembako telah didistribusikan pemerintah melalui aparatur kecamatan dan desa, selain ada bantuan dari pihak lain seperti beras, mie instan, selimut dan sebagainya.
Sakdiah (40), warga Kampung Dedingin, Kecamatan Kute Panang, yang datang ke posko wartawan dengan linangan air mata, Minggu (28/7), menuturkan, sudah ada bantuan dari mahasiswa dan pihak lain, tapi aparatur desa sepertinya kurang adil.
“Ku tiro bantuen pe nume sen kendiri tapi sen pemerintah. Jema dele depet bantuen ,aku pe balu, gere agu jema dele we demu bantuen (Saya meminta bantuan bukan dari uang pribadi tapi dari anggaran pemerintah. Orang lain banyak mendapat bantuan, saya janda tapi tidak dapat banyak bantuan),” katanya.
Dia sadar, dengan adanya bencana dia tidak ingin menjadi pengemis bantuan. Ia ingin bisa bangkit, karena 25 tahun menjadi janda ia mampu menghidupi dua orang anak dengan tangan sendiri.
Atas bencana gempa, Sakdiah hanya ingin menerima bantuan mukena (pakaian sholat) dan tenda keluarga. “Telkung deh ne bantu ko anak ku, rum tenda. Umah mamak enge murungkem (Anakku, bantu saya untuk mendapatkan mukena. Rumah sudah rubuh,” katanya, berharap dibantu awak media untuk mendapatkan bantuan yang diinginkan.
“Ini bulan Ramadhan, selama ini menjalankan shalat tarawih menggunakan mukena pinjaman dari keluarga lain,” ungkap Sakdiah lagi.
Iba dengan curhatan sang ibu, beberapa wartawan terus menghubungi sejumlah pihak yang dikenal. Termasuk Jurnalisa, langsung menghubungi pengelola gudang logistik. Tidak berselang lama, usai mengirim satu berita, wartawan berambut panjang tersebut menuju gudang logistik.
Tak berselang lama, dia datang dengan tiga mukena. Seperti pengakuan Sakdiah, ada tiga perempuan yang tinggal bersamanya di tenda pengungsian.
Korban gempa masih membutuhkan ribuan tenda keluarga, namun bantuan tak kunjung datang. “Kami sudah mengusulkan ke provinsi 5.000 tenda keluarga sesuai pendataan, tapi belum juga disalurkan, ” ungkap Kadis Sosial Aceh Tengah, T Alaidinsyah.
Tapi, sementara dengan mukena tersebut, Sakdiah dapat beribadah tenang dan khusyuk. Bencana bukan untuk ditangisi, bukan juga tempat meminta-minta bahkan mengemis bantuan, namun bencana adalah peringatan dan kehendah Allah SWT supaya manusia bisa introspeksi diri. Lulus menjalani ujian, maka derajat manusia pun akan ditinggikan Allah SWT. (MedanBisnis/wen rahman)