Takengen | Lintas Gayo : Bertempat di Café Warung Apresiasi (Wapres) samping pendopo Bupati kabupaten Aceh Tengah, Raihan Iskandar, Lc, MM anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dari Komisi X menjamu seniman Gayo dan pelaku Pacu Kuda Tradisional Gayo untuk saling temu ramah, rabu (20/4).
Temu ramah tersebut bertujuan untuk mendengarkan aspirasi masyarakat yang akan disuarakan kembali Raihan di tingkat nasional, terutaman dalam bidang kebudayaan.
Berdasarkan bidang yang dibidanginya, Raihan berharap agar semua cagar budaya segera didaftarkan seperti temuan benda pra sejarah di Loyang Mendale beberapa waktu lalu, sehingga nantinya instansi terkait akan memilah mana yang status international, tingkat nasional, provinsi atau kabupaten.
Dengan demikian akan dapat diketahui siapa pejabat berwenang yang akan bertangung jawab untuk kelestariannya.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, telah memberi peluang luas kepada masyarakat dan pemerintah untuk meregistrasikan cagar budaya termasuk di luar negeri. “Kalau kita punya kebudayaan diluar negeri, dan kalau kita punya uang, maka kita bisa beli”, kata Raihan dihadapan puluhan masyarakat pecinta seni dan pacuan kuda tradisional.
Setelah adanya undang-undang tersebut, diharapkan dalam dua tahun kedepan semua cagar budaya telah didaftarkan oleh pemiliknya. Dan jika tidak didaftarkan maka ada sanksi. “Pejabat dinas akan mendapat sanksi karena kelalaian,” ujar sosok yang sebelum sebagai guru ngaji sebelum menduduki jabatan sekarang.
Minta Kuda Pejantan
Dalam kesempatan tersebut, juga disampaikan sejumlah keluhan dari masyarakat bahwa budaya pacuan kuda tradisional Gayo di Takengen, kini sudah menjadi milik orang-orang tertentu saja yang dikarenakan telah banyaknya kuda peranakan (blasteran kuda asing dengan lokal) yang diikutkan dalam ajang pacuan kuda tradisional Gayo.
Kuda blasteran dengan postur kuda yang tinggi, memiliki harga jual yang tinggi pula. Sedangkan kuda lokal yang berpostur kecil dan dimiliki oleh kalangan masyarakat level bawah sangat minim diperlombakan.
“Kuda peranakan harganya bisa mencapai Rp.40 jutaan, dan biaya perawatan bisa Rp. 2.500.000, lebih perbulannya”, ujar Syafrudin pencinta pacuan kuda. Dengan demikian pemilik kuda lokal tidak bisa bersaing dengan para pemilik kuda blasteran.
Karenanya, Syafrudin berharap Raihan dapat membantu kuda pejantan dari luar negeri minimal dari Sumatra Barat sehingga masyarakat kecil pecinta kuda bisa terbantu dan nantinya bisa bersaing dengan para pemilik modal lainnya.
Dalam kesempatan tersebut, juga dihadiri sejumlah tokoh seniman seperti Mustafa AK dari Kebayakan dan M Yusin Saleh dari Bale Bujang.(wyra, windjanur)
saran kalau boleh jangan terlalu sering diadakan perlumbaan pacuan kuda, karena sakralnya hilah. Cukup setahun sekali tapi punya landasan sejarah.
yang paling berat sangsi sosial sesudah tidak menjabat bekas pejabat tersebut bisanya akan seperti sampah saja dan yg penjilat juga terus menjauh hukum alam 🙂