Oleh: Iqoni Rahmat Simulo
Bandung | Lintas Gayo – “Mingu ni ku pacu kude entah?” sebuah kata yang sering saya ucapkan kepada kerabat dekat, entah itu via sms atau berbicara langsung. Biasanya kerabat-kerabat dekat langsung merespon cepat kata yang saya lontarkan tersebut.
Tetapi tidak untuk pacuan kuda kali ini, ajakan yang biasanya direspon tawa tersebut kini berubah menjadi sebuah kesedihan tersendiri di hati. Sayapun menanyakan pada teman seperjuangan via Bbm Odi nama panggilannya “Kune pacu kude ni di?” dan dijawab dengan kata “ kite menge keber deh qo”. letak perantauan yang sangat jauh membuat kata-kata tersebut tidak bisa di balas senyum.
Tidak hanya saya, teman seperjuangan yang lainnya juga turut bersedih, karena tidak dapat menonton acara tradisional Gayo tersebut. Bandung, Malang, Jogja dan kota-kota lain telah menjadi pemisah kami antara Gayo dan perantauan.
Kini kami tidak bisa lagi menonton, kuda berlali kencang dan di tunggangi seorang joki, hanyalah sebuah memory di dalam otak kami. Manisnya nenas Pegasing pun menjadi lamunan setiap malam di akhir-akhir ini.
Kami keluar kota bukan untuk bermain-main, justru kami ingin membuat Gayo lebih maju nantinya, entah itu cepat atau lambat. Dengan menuntut ilmu di kota orang, akan kami bawa pulang ilmu sebanyak-banyaknya untuk masyarakat Gayo.
Gayoku sayang, kami rela berkorban kebahagiaan saat ini hanya untuk mu di masa yang akan datang, salam hangat beru-bujang dari kami di ranto dagang.(Iqoni/LG010)