Netralisasi KPUD/KIP dalam Penyelenggaraan Pemilukada

Oleh : Ramli Prayoga*

Indonesia adalah negara yang menganut sistem  demokrasi. Sehingga pemilihan pemimpin diberikan mutlak kepada rakyat. Artinya pemilihan pemimpin atau kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat tanpa melalui pemilihan oleh  DPRD. Pemilihan seperti ini akan lebih efektif dibandingkan dengan pimpinan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Karena yang menjadi tolak ukur dalam pemilihan kepala daerah secara lansung oleh  rakyat adalah karena masyarakat yang ada di daerah lebih dekat dan lebih mengerti terhadap kepala daerah yang akan mereka jadikan pimpinan di daerah. Kemudian, pilkada yang telah dilaksanakan oleh negara indonesia mulai dari 1 juni 2005 yang lalu telah ditetapkan oleh undang-undang otonomi daerah yang direvisi dari uu no 22 tahun 1999 menjadi uu no 32 tahun 2004. Dalam hal ini di jelaskan bahwa pemilihan kepala daerah atau pimpinan daerah pada tingkat provinsi, kabupaten/kota dipilih langsung oleh rakyat setempat.

Pemilihan kepala daerah Gubernur, Bupati/wali kota memang memilki basic yang besar untuk diberikan kepada daerah. Oleh karena itu, pemilihan kepala daerah di seluruh indonesia memiliki ketikjelasan dalam pengimplementasiannya. Ketidakjelasan disini adalah banyaknya daerah yang melakukan pemilihan dengan berujung ke Mahkamah Konstitusi. Hal ini yang menjadi titik perhatian dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah diseluruh indonesia. Selain itu, banyak daerah-daerah melakukan aksi protes terhadap lembaga penyelenggara pemilu yang berujung keaksi anarkis yang dilakukan oleh pendukung salah satu pasang peserta pemilukada yang banyak mengorbankan kantor pemerintahan, seperti lima kantor camat dan satu kantor komisi idependen pemilih (KIP) Aceh yang dibakar lantaran kecewa dengan hasil pemilihan salah satu pasang calaon pada tanggal 12 april 2012 lihat (tribunnews.com) dan masih banyak lagi didaerah-daerah kantor pemerintahan yang dirusak masa akibat pemilukada. Pemicu utama dalam rusuhnya pelaksanaan pemilukada adalah karena dalam pelaksanaanya tidak sesuai dengan peraturan pemilihan yang telah ditetapkan oleh masing-masing penyelenggara pemilihan kepala  daerah, sehingga ada salah satu pihak yang merasa dirugikan dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah.

Pelanggaran yang dilakukan oleh daerah dalam melaksanakan pemilihan kepala daerah sangat bervariasi. Mulai dari kecurangan pemilih samapai kepada money politik. Kecurangan yang terjadi inilah pemicu utama kerusuhan dalam pemilihan kepala daerah. Karena sampai kepada pihak penyelenggara pemilu pun melakukan kecurangan seperti yang terjadi di daerah SULA (Maluku Utara) Empat komisioner KPU Kabupaten Sula terancam hukuman pidana atas dugaan kecurangan penyelenggaraan Pemilukada Maluku Utara putaran kedua. Lihat (REPUBLIKA.CO.ID).

Kecurangan penyelenggara pemilu sangat rawan terjadi didaerah, oleh sebab itu keberpihakan KPUD pada salah satu pasangan calon tidak akan lebih baik. Karena KPUD harus netral dalam melihat dan menilai pasangan calon. Dalam fenomena pemilukada seperti ini tidak akan merubah keadaan pemilihan kepala daerah diseluruh indonesia. Karena yang dilihat hanyalah sengketa dan sengketa yang ada dalam peilihan kepala daerah. Sehingga Dewan Perwakilan Rakyat menilai pilkada lansung sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan di indonesia. Karena selain menghabiskan dana yang besar juga mengundang kerusuhan pada daerah yang sedang melakukan pemilihan kepala daerah. Sehingga dengan penilaian dewan perwakilan rakyat ini dibuatlah suatau rancangan undang-undang yang mengembalikan pemilihan kepada daerah dikembalikan lagi ke anggota dewan yang menetapkan siapa yang pantas menjadi pimpinan pada suatu daerah.

Namun, hal ini masih sebatas wacana dan rancangan untuk penereapan pemilukada tidaklagi diilih oleh rakyat. Tapi dipilih langsung oleh anggota dewan yang ada disetiap daerah. Dan hal ini banyak yang menolak terjadinya penetapan pemimpin oleh parlemen. Oleh karena itu, mindset seperti ini muncul karena jarangnya pelaksanaan pemilukada yang tidak berujung ke Mahkamah Konstitusi. Sehingga lebih baik dipilih parlemen ketimbang rakyat dalam asumsinya. Bagi penulis hal ini masih bisa diperbaiki dengan beberapa cara dalam pemilihan kepala daerah yang baik dan tidak berujung kepada sengketa. Cara yang pertama, dalam pelaksanaan pemilukada yang bebas dari kerusuhan adalah lembaga penyelenggara pemilukada (KPUD) menunjukkan dengan seadil-adilnya dalam melaksanakan proses penetapan calon sampai kepada proses pemilihan dan penghitungan/penetapan pemenang pemilukada. Yang kedua, pasangan calon kepala daerah harus memberikan bimbingan kepada seluruh tim pemenangannya dalam melaksanakan proses pemilihan dan pengenalan calonnya kepada masyarakat. Sehingga dengan mendapatkan bimbingan dan arahan yang baik dari calon akan berdampak positif untuk kelancaran penyelenggaraan pemilukada. Karena mereka sudah siap kalah dalam sebuah kompetisi memperebutkan kekuasaan pasangan calon mereka.

Dengan demikian, semua kalangan akan mengerti dan tertib dalam melaksanakan proses pemilihan dan penetapan pemenang pemilukada. Karena mereka sama-sama melalui proses yang sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh masing-masing KPUD di seluruh Indonesia. Sehingga calon akan dengan mudah menerima kekalahannya apabila tidak dipilih oleh rakyat dan tidak merasa terindikasikan oleh penyelenggara pemilukada (KPUD) dan merasa puas dengan tingkat keterpilihannya oleh rakyat. Sehingga mereka tahu benar dimana kekurangannya dalam mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan mereka akan mengintrofeksi diri untuk melangkah selanjutnya.

Ketua Pers (Pecinta Riset dan Menulis) Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang*

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.