Oleh: Husaini Muzakir Algayoni*
Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menegaskan komitmen mereka untuk penyelesaian konflik aceh secara damai, karena dengan damai inilah mereka yakin bahwa dengan penyelesaian damai diatas konflik tersebut yang akan memungkinkan pembangunan kembali aceh pasca Tsunami tanggal 26 Desember 2004 dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan di bumi serambi mekkah ini. Konflik yang melanda aceh saat Wali Nanggroe Muhammad Hasan Ditiro mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 4 Desember 1976, gencatan konflik antara RI dan GAM semakin memanas ribuan nyawa yang tak berdosa mati dan ditambah dengan peristiwa yang membuat seluruh penjuru dunia menangis “Tsunami 26 Desember 2004” ribuan nyawa kembali melayang dengan tsunami yang dahsyat yang menyapu daratan aceh.
Dari kedua peristiwa tersebut, muncullah wacana perdamain demi membangun kembali aceh yang telah banyak nyawa masyarakat Aceh melayang, maka tanggal 15 Agustus 2005 di Helsenki, Finlandia. Kedua belah pihak yang bertikai sepakat untuk berdamai dengan dinamakan Memorandum of Understanding ataupun yang lebih dikenal dengan MoU Helsinki, maka ini merupakan dasar pijakan hukum bagi terciptanya kebebasan dan perdamaian yang menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi bagi semua pihak. Perang pun usai, senjata GAM dimusnahkan dan dipotong, aparat keamanan yang pernah dikirim ke Aceh ditarik kembali ke Jawa, Hiasan senyum yang Indah kembali mewarnai wajah-wajah masyarakat Aceh yang telah lama merindukan kedamaian.
Untuk menjaga perdamian ini, maka seluruh masyarakat aceh baik itu suku aceh, gayo, singkil dan aneuk jame bersama-sama untuk menjaga perdamaian ini tanpa ada perbedaan suku. Karena perdamaian ini adalah anugerah dari sang Maha Kuasa yang dapat dirasakan seluruh lapisan masyarakat dan dengan perdamain ini kesejahteraan dan kedamaian bisa terwujud secara menyeluruh.
Pasca perdamaian GAM-RI maka sang proklamator GAM pun pulang kampung dari Stockholm, ibu kota Swedia yaitu pada tanggal 17 Oktober 2009 hingga menghembus nafas terakhhir pada tanggal 3 Juni 2010 di Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin dalam usia 84 tahu. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Muhammad Hasan Ditiro berwasiat kepada masyarakat Aceh, “untuk tetap berjuang dan melanjutkan perdamaian aceh”, dan berharap agar damai yang sudah bersemi dibumi Iskandar Muda ini terus dirawat”.Kata Malik Mahmud yang berada disampingnya saat beliau menghadap Sang Khalik.
Apa yang telah disepakati dalam perjanjian Helsinky tahun 2005 silam telah dicoreg dengan tinta hitam dan menimbulkan resah bagi masyarakat. Yang menimbulkan konflik selama ini ialah mereka yang dulu sama-sama berjuang dan mengangkat senjata melawan pemerintah pusat, mereka yang dulu satu ide dan sama-sama tidur dibelantara hutan Aceh. Namun saat ini mereka yang sama-sama kombatan GAM saling serang menyerang dan saling menyalahkan, kubu PA dan kubu PNA membuat rakyat Aceh kembali resah dengan konflik yang selama ini mereka buat. Mulai dari pembunuhan, penindasan antar kader partai, mobil dan rumah kader partai dibakar dan masih banyak kasus yang meresahkan masyarakat atas ulah dua oknum partai ini, mereka hanya memikirkan kelompok mereka sendiri tanpa memikirkan kepentingan rakyat. Bahwa mereka telah lupa terhadap perjanjian dan hanya ingat kepada jabatan yang telah menanti mereka melalui kendaraan partai yang mereka bawa masing-masing.
Kita berdo’a dan mengharapkan apa yang telah diwasiatkan kepada masyarakat aceh supaya kita menjaga perdamaian bersama-sama. Menjaga dan merawat perdamaian ini perlu konsep yang jitu sehingga perdamaian tetap utuh. Memerlukan tekad yang bulat dari semua pemimpin untuk mempersatukan masyarakat aceh tanpa ada perbedaaan, satu pikiran dan satu tujuan itulah yang harus diemban seluruh masyarakat aceh terutama bagi mereka yang bertikai untuk damai dan membawa aceh ini pada perdamaian dan kesejahteraan, jika masih ada perbedaan hanya untuk kepentingan kelompok masing-masing, untuk meraih jabatan dan mengorbankan rakyat maka damai di aceh hanyalah mimpi dan topeng belaka.
Akhir dari tulisan ini, penulis mendeskripsikan wajah aceh pada saat ini
Aceh
Aceh dulu
Pahlawan Aceh berjuang dalam keadaan gagah
Membawa nama Aceh yang megah
Negara Aceh melahirkan pahlawan yang gagah
Mempertahankan Negara Aceh dari penjajah
Aceh kini
Membawa nama Aceh kepada konflik
Sekarang Aceh melahirkan pahlawan politik
Membawa nama kelompok yang negatif
Aceh oh Aceh
Marwahmu
Harummu dan
Kemasyhuranmu dalam keadaan kacau balau
Aceh dulu
Namamu harum sebanding dengan harumnya kota suci makkah
Namamu besar sebanding dengan nyali besar para pahlawan
Aceh kini namamu harum sebanding dengan harumnya bau politik
Namamu besar sebanding dengan besarnya konflik
*Penulis: Kompasianer dan Kolumnis LintasGayo.com Remaja Masjid Kota Banda Aceh, Gerakan #AcehTanpaJIL