Malam itu Z datang, selepas waktu Isya. Dia datang sendiri. Dia mengenakan jaket tebal melawan dinginnya udara malam di Takengon.Jaketnya dua lapis.Di kantin sudah ada Bas, lelaki dengan pengalaman di radio sejak dari Banda Aceh dan kini bekerja untuk sebuah stasiun televise berita ternama di Jakarta.
Z, begitu namanya kusingkat karena tak elok rasanya melengkapkan namanya tertulis penuh. Z memintaku satu gelas kopi yang biasa diminum. Black coffee. Menurut ingatanku, Z sudah dua atau tiga kali datang ke Kantin.
Awalnya, suasana pembicaraan diantara kami bertiga biasa saja. Ngalor ngidul tentang banyak hal dan isu di Takengon. Tentang balon bupati yang berjubel dan menghendaki menjadi orang nomor satu. Termasuk inkamben yang stikernya berpasangan dengan sang Sekda yang baru ditarik dari Bener Meriah setelah keduanya berseteru sebelumnya.
Plus minus balon bupati kami kuliti dalam pembicaraan itu. Tentu saja berdasarkan analisis yang kami miliki sebagai orang-orang bebas yang tidak terikat aturan jabatan dan protokoler.
Tak ada manusia yang sempurna. Pemimpin berjanji tapi lupa janji karena terlalu banyak membuat janji sehingga lupa. Sibuk dengan para pembisiknya yang juga mantan tim sukses yang kini meraup untung dari proyek dan pemberian-pemberian lain. Tim sukses (TS) menjadi pembisik dan penentu kepindahan atau mutasi.Pemimpin kehilangan kemerdekaan berpikir dan kemerdekaan merasakan apa yang terjadi dan diinginkan rakyatnya. Terkooptasi dalam sistim.
legislatif bercokol di istana yang dibuat dengan fasilitas dan uang sehingga mereka tak lagi terkesan wakil rakyat. Tapi lebih pegawai dari pegawai negeri. Banyak bicara dan tak jelas target kerjanya. Termasuk tidak mengawal visi dan misi bupati yang idealnya diikuti ketat dengan para meter yang jelas dan terukur.
Menurut seorang anggota legislative di Takengon, Winja, di DPRK setempat hanya ada dua prinsip. Ada kepentingan dan ada keuntungan. Tidak lebih. Pembicaraan terus berlanjut. Tegukan demi tegukan kopi ludes tak tersisa.
Z yang membiarkan kumis dan jenggotnya tidak dicukur, memulai sebuah pembicaraan yang tidak biasa.”Saya sudah bosan dengan para balon bupati Takengon. Orangnya itu-itu saja”, begitu kata Z memecah pembicaraan.
Tak hanya itu, Z kemudian menawarkan jika balon bupati Aceh Tengah nantinya berasal dari kalangan aktipis yang selama ini kerap berkumpul dan mengadakan berbagai kegiatan. Balon bupati dari kalangan LSM atau wartawan, mahasiswa atau kalangan sipil yang telah diuji waktu bekerja pada masyarakat?
Hal ini diungkapkan Z setelah melihat ada kejenuhan dan pembiaran –pembiaran yang terjadi didaerah. Penguasa dengan jamaahnya membentuk kroni-kroni yang melindungi kekuasaannya. Membagi kue APBK dilingkungan yang “sepaham” dengan kelompok penguasa dan para tsnya.
Sementara di kalangan DPRK ada, ada faksi-faksi yang nyata keberpihakannya. Ada yang disebut faksi pendopo. Dan sejumlah persoalan lain yang mengemuka sehingga masyarakat terkesan tanpa pemimpin dan tanpa wakil di DPRK. Karena wakil mereka menjadi eksklusif baru dengan dua hp dan rokok putih.
Disisi lain, penegakan keadilan diwarnai interes terhadap pihak-pihak tertentu yang bisa membeli hokum dengan uang demi memudahkan perkara mereka yang terjerat korupsi, narkoba atau persoalan lain. Masyarakat bersendirian dan apatis kronis. Ulama sibuk dengan khutbah berkonsep dan nikmatnya fasilitas Negara, seperti kenderaan dan gaji serta uang honor dari khutbah Jum’at.. Masyarakat dibagi dalam klan-klan. Urang-urang. Belah-belah. Masyarakat ekslusif terdiri dari jajaran pns, atau yang dibiayai dengan uang negera di berbagai instansi dan pengaman serta penegak hukum.
Kelompok masyarakat “kelas atas” lainnya adalah para pengusaha yang kerap berjamaah , bercumbu kata dan bersepakat dengan penguasa dan legislative (Shady Deals) . Sementara kelompok masyarakat biasa harus bekerja keras di kebun kopi mereka demi hidup. Kekurangan dan kemiskinan mereka berbiaya mahal kala berhadapan dengan birokrasi yang berbiaya. Menyerpis kekuasaan dengan uang demi kemudahan birokrasi.Ekonomi biaya tinggi.
Z menginginkan balon bupati dan wakil dari kalangan sipil. Generasi muda yang selama ini malang melintang di berbagai LSM, jurnalis, ornop dan sebagainya. Idenya brilian. Meski cenderung disebut “Ide Gila” akibat ketidakpercyaan yang komplek pada sistim dan pemimpin yang ada.
Aku memperhatikan wajah Z yang sedang semangat bicara dengan idenya. Bupati dan wakil dari kalangan muda yang selama ini diam dan sibuk dengan partai, LSM dan wartawan.
Aku coba mereka-reka apakah Z sedang mabuk ganja atau shabu. Karena kedua barang haram itu kini marak di dataran tinggi ini. Buktinya Lapas Takengo didominasi para pengguna dan pengedar narkoba itu. Z terus bersemangat mengemukakan keinginannya menghadirkan pemimpin daerah dari kalangan muda. Bukan orang tua atau pensiunan yang rakus.
Aku tak yakin apa yang dikatakan Z. Karena kalau sudah mengarah ke balon bupati dan wakil, asumsiku akan diperlukan banyak uang. Seperti saat pemilihan bupati dan legislative sebelumnya. Dimana para calon memberikan barang dan uang , menjual dirinya agar dipilih sebagai pemimpin. Mencapai puluhan dan ratusan juta.
Saat pembicaraan berlangsung, salam terdengar dari pintu masuk. Waktu sudah menunjukkan jelang pukul 22.00 Wib, Selasa malam tanggal 2 Mai 2011. Sambil menjawab salam, mataku mengarah pada pintu masuk Kantin. Muncul seorang pns, berinisial ZA. Pns yang lebih banyak membagi ilmunya bersama mahasiswa UGP.
ZA tiba bersama sepasang anaknya. Laki dan perempuan. Sementara istrinya sedang ke negeri tirai bamboo sana . Z mengurai keinginannya pada Z yang dikenal dekat dengan banyak orang di Takengon.
Tak dinyana, ZA juga nyambung. Bahkan menawarkan keuangan yang bernilai Antara Rp. 15,30 dan 60 milyar. Sontak, aku, Z, Bas kaget mendengarnya. “Uang itu ada di Jakarta . Bahkan kepada saya sudah ditawari apakah dari Takengon tidak ada yang memakai dana tersebut. Saat itu saya katakana tidak”, sebut ZA.
Z semakin semangat dan mereka-reka rencana yang akan dilakukan. Seperti mengumpulkan elemen sipil Aceh Tengah kemudian menyepakati siapa yang akan menjadi figure bupati dan wabup.
“Uang akan dicairkan begitu pasangan balon terdaftar di KIP”, papar ZA. “Tadinya saya hanya membayangkan pencalonan bupati memerlukan uang antara Rp.1-2 milyar. In lebih banyak dari yang kita maksud”, kata Z .
“Syarat lainnya, yan akan mencairkan dananya adalah balon pasangan bupati . Mereka akan membuat deal dengan pemodal di Jakarta ”, tambah ZA. Z semakin semangat mengusung balon bupati dari kalangan muda.
Hari semakin malam, menjelang tengah malam. ZA pamit pulang setelah meminum dua late dan satu Black Coffee. Tinggallah kami berempat. Setelah beberapa waktu sebelumnya, datang W, agen Koran yang gagal menyelesaikan kuliahnya di IAIN Arraniry karena diterjang tsunami.
Kami kembali membahas balon bupati Aceh Tengah yang akan ikut bertarung dari kalangan generasi muda. Kemungkinan ini semakin besar setelah adanya dana yang bisa dipakai bernilai diatas Rp.15 milyar.
“Kita akan memakai pendopo sebagai tempat rapat dan diskusi memajukan daerah dengan melibatkan banyak stake holder. Harus sering berdiskusi dan rapat. Layaknya dilakukan LSM selama ini”, kata Z membayangkan penggunaan pendopo atau istana bupati di Takengon jika menang.
Z membayangkan Pemda dikelola seperti perusahaan swasta yang menuntut kinerja dalam praktek. Bukan teori. Tentu saja dengan mengkitu prosedur administrasi Negara dan aturan penggunaan uang agar tidak terjerat korupsi sehingga berakhir di kantor polisi.
Aku masih belum yakin. Apakah hal ini bisa dilakukan. Z melihat keraguanku. Karena aku berpendapat, “Tidak ada makan siang gratis” terhadap penggunaan uang dari donator. Pasti ada syarat dan ketentuan. Syarat itu harus diketahui dulu sebelum memakainya.
Z agak mengendur. Kemudian berkata, “coba kita ancang-ancang dulu. Nanti kita ketemu lagi. Kamu dan pak Bas coba melobi kalangan wartawan. Kita bagi tugas”, kata Z padaku.
Apa yang diinginkan Z, menghadirkan bupati Aceh Tengah dari kalangan muda tentu saja tidak bertentangan dengan hukum dan agama setelah demikian jenuh dan bosan dengan kepemimpinan yang ada. Pemimpin yang ekslusif yang membangun batas dengan rakyatnya. Kecuali dengan orang atau kroninya yang tanpa batas.
Aku berpikir dua. Pertama, bagaiman dengan para Tim Sukses (TS) yang akan memperjuangkan bupati dari kalangan muda ini nantinya. Akankah mereka juga menggerogoti kekuasaan daerah dengan uang dan proyek atau menjadi mafia proyek. Dan kedua, bagaimana mengembalikan uang dari donator. Katakanlah mereka akan diberi proyek atau kemudahan lainnya dari uang yang mereka pinjamkan.
Tidakkah mereka juga akan merugikan daerah dan meraup keuntungan berlipat dari uang yang mereka pinjamkan…..? aku masih belum tahu karena semuanya masih dibenak kepala. Belum tertulis kata dan dilaksanakan. Karena Z masih akan mendiskusikannya.(Aman Shafa)