Oleh ; Muzhof San
Di tengah rimbunnya pepohonan dalam sebuah hutan lebat sebelah selatan tebing Pegunungan Burni Telong, seorang pria berdiri tegap mengawasi sekelilingnya. Saat itu musim hujan, dan ia tampak seolah sedang menunggu monster hutan datang menghampirinya, dalam jangkauan pandangannya, agar kemudian dapat ia tebas dengan parang di tangannya.
“Tetap waspada!” Ujar pria itu kepada lima orang di belakangnya. Celoteh monster-monster hutan semakin mendekat.
“Awas Dika!” dengan siap dika menebas monyet yang menyerangnya. Jumlah mereka semakin banyak. Orang-orang disana mulai was-was.
“Ayo semua lari!” Dika memimpin di depan, disusul Ilma dan Ahmad. Yusrol dan kamal di tengah. Satu lagi ichal tertinggal di belakang. Sebelum kaki-kaki monyet itu mendahului. Langkah kaki mereka berlari lebih dulu. Monyet-monyet itu mengejar dengan cepat. Suara-suara mereka memaki telinga orang-orang itu. Jumlahnya puluhan berarak. Jalan menanjak semakin curam, deras hujan menyulitkan pandangan. Sebuah pohon tumbang berlumut menyekat jalan. Satu persatu mereka loncat. Sial, kaki ical merabrak pohon itu. Tubuhnya terjerembab. Lebih sialnya lagi monyet-monyet itu semakin mendekat.
“Tolooong!!!”
= # # =
Dika mengencangkan tas ranselnya. Lalu meletakkan parang di samping kanan dan sebotol air mineral di samping kiri.
“Yakin nih kita berangkat?” Tanya kamal.
“Yakin dong. Masa udah persiapan kaya gini gak jadi berangkat.”
Kamal menatap langit dan berkata pesimis .“Kayanya bakal hujan nih. Mendingan kita batalin aja.” Yang lain pun terlihat ragu.
“Kenapa kalian jadi ragu begini?” Gertak Dika. Lalu dia lihat satu per satu wajah timnya.
“Ya sudah, kalau ada yang mau mundur mending sekarang! Daripada nanti malah ngerepotin di jalan.”
“Nanti kalau terjadi apa-apa di jalan gimana?” Sahut Kamal.
“Inget men kita ini satu tim. Apa pun yang terjadi harus kita hadapi bersama. Kita buktikan, kalo kita sanggup menaklukan puncak Burni Telong!” orang – orang itu pun sepakat, kecuali kamal. Mereka mulai melangkah. Akhirnya, Kamal pun ikut juga. Satu demi satu langkah mereka kayuh seiring langit mengayuh turun awan hitam.
Udara dingin menusuk tulang. Wangi kayu menyerbak. Jalanan mulai menanjak. Suara hutan mulai riuh seperti pasar.
“Tadi kan kata orang itu, kalau musim hujan begini. Mau lah monyet hutan itu turun.”
“Ah, itu kan hanya mitos.”
“Mitos gimana? Orang wortel yang di tanam bapak-bapak tad aja suka dirusak sama tuh monyet.”
“Sssttt… jangan berisik! Kayaknya yang kalian omongin datang! Mata Dika mendelik, jari telunjuknya menempel di bibir. Dia memberi isyarat waspada. Jauh di atas mereka, langit menjerit. Mendetakkan jantung lebih cepat. Satu per satu air menetes di kerah baju. Langit pun menangis. Suara-suara lain mulai mendekat, dika pun menyiapkan parang.
= # # =
“Semua ini gara-gara kamu!”
“Coba kalau tadi kita urungkan naik gunung ini maka tak akan terjadi kayak gini.”
“Dasar pengecut. Baru kayak gini aja udah mengeluh!”
“Eh. Siapa kau maksud pengecut?!” Kamal memanas. Dia tak terima. Dia remas kerah baju Dika. Ahmad dan Yusrol melerai. Hampir saja saling pukul terjadi
“Sudah! Apa-apaan sih dah kaya anak kecil aja.” Ilma memisahkan. Kamal ngotot. Berontak.
“Gara-gara kamu. Ichal jadi sakit!”
“Sudah. Sudah . . Cukup! Selesaikan masalah dengan kepala dingin.” Yusrol coba menenangkan. Malam itu keadaan memanas. Kamal tak berhenti meracau. Dia menyalahkan Dika. Kedengarannya memang wajar jika kamal marah. Namun, tak bisa dibenarkan jika kemarahan ini hanya ditujukan pada Dika.
Sore tadi saat ichal terjatuh, kawanan monyet hampir mengeroyok ichal. Mereka pun melempinya dengan batu atau apa saja yang ada di dekat mereka. Ichal pasrah dia tak dapat menggerakkan tubuhnya. Seekor monyet mendekat. Ichal menutupi wajah dengan tangan. Monyet itu pun mengambil roti yang terjatuh di dekat kakinya.
Sebelum maghrib mereka berhasil mendirikan tenda. Perut lapar, pakaian basah kuyup, dan kayu bakar pun tak bisa dinyalakan. Untung masih ada spirtus untuk bahan bakar. Kompor sederhana pun dinyalakan. Dika membagi tugas, sebagian sholat magrib, sebagian masak, dan ada juga yang merapikan tenda.
Ical mengerang memegangi kakinya yang terkilir. Dia berkata lirih.
“Maafkan aku bang, gara-gara aku abang berantem sama bang dika.”
“aku mohon maafkan dia, semua yang terjadi bukan kesalahan dia, tapi ini salahku yang kurang hati-hati.” Ichal pun merangkul abangnya. Dika mendekat membawakan dua cangkir kopi panas. Dia meminta maaf. Yang lain menatap haru. Suasana hening sejenak. Akhirnya mereka semua berkumpul di perapian mencoba mengusir dingin.
= # # =
Pagi-pagi buta setelah sholat subuh mereka melanjutkan perjalanan. Butuh waktu sekitar dua jam dari tempat mereka kemah menuju puncak. Dika kembali memimpin di depan, disusul yusrol, ahmad, ilma, kamal, dan ichal. Satu cita-cita yang ingin mereka capai, yaitu melihat Sunrise di puncak Burni Telong.
“Ayo tetap semangat sebentar lagi puncak!”
“Hati-hati, Tanjakan semakin curam. Tanah pasir berbatu, jangan sampai salah pijak.”
Kamera mulai mengambil momen.
“Subhanallah indah sekali, itu kan lampahan.”
“Bukan! Itu pante raya.”
“Itu pacuan kuda. Waah luar biasa, semuanya terlihat dari sini.”
“Kalo yang itu apa?” Pandangan mereka dimanjakan dengan keindahan yang tak bisa digambarkan. Rumah-rumah, jalan-jalan terlihat kecil.
“Woy, sebelah sini ada edelwis!” teriak dika.
“Mana?” ilma, Ahmad, dan yusrol menyusul ke atas.
“Ckckck . . indah sekali. Jadi ini yang namanya edelwis.” Yusrol terkagum-kagum.
“Hey mal! Ical! Ayo terus kesini!” ajak ilma. Kamal dan ical masih di bawah.
“Bang, kayaknya aku dah gak kuat lagi bang. Abang aja yang terus ke puncak.” Ichal mengerang kesakitan. Dia memegangi kakinya yang kemarin terkilir. Kamal tak tega melihatnya.
“Masa naik gunung gak nyampe ke puncak?”
“Sudahlah bang. Aku gak bisa maksain. Udah gak kuat. Abang lanjut aja.” Kamal pun beranjak pergi setelah didesak ichal. Dari jauh Dika menatap tak enak. Hati kecilnya pun bertanya : “Mana tanggung jawabmu Dika sebagai ketua tim?”
= # # =
Ilma menginjakkan kakinya di puncak. Dia yang pertama, disusul Yusrol, Ahmad, dan Kamal. Mereka langsung merebahkan tubuh, melepas peluh. Langit terlihat begitu dekat. Hembusan angin terdengar merdu, membelai kulit yang berbintik keringat. Beberapa saat kemudian Dika muncul menggendong Ichal. Lengkap semua tim sampai di puncak.
“Maafkan aku kawan, karena aku kita terlambat melihat sunrise.” Kata Ichal.
“Tak usah kau minta maaf. Yang penting kita sudah berhasil mencapai puncak.”
“Meski sunrise telah pergi lebih dulu, Namun ada yang lebih penting dari itu. Inilah yang sebenarnya sunrise di Pucak Burni telong. Terima kasih kawan.”
Mereka semua berteriak puas di puncak. Rasa lelah pun hilang dalam sekejap. Satu kata yang terucap saat itu, “Tak ada gunung yang lebih tinggi dari lutut, ketika kau berhasil sampai di puncaknya.”
** penulis ; penduduk Desa kalimanggiskulon. Kec. Kalimanggis, Kab. Kuningan, Jawa Barat