Pengantar Redaksi: Cerpen karya Riduwan Philly, mahasiswa, ini syarat dengan makna yang mengambarkan kehiudpan dirinya dan masyarakat di negeri leluhurnya. Cerpen ini pernah diikutsertakan dan meraih juara III pada Seleksimi 2016 Tingkat Universitas Syiah Kuala.
Redaksi Lintas Gayo menurunkan cerpen ini dalam bentuk bersambung, agar nikmat dibaca karena lumanyan panjang. selamat mengikuti.
Biarkan Aku Disebut Ceh 1
Dua puluh satu tahun, sah lah kiranya aku disebut sebagai orang dewasa, menikmati masa-masa kecil di pinggiran air sungai Alas yang jernih, pegunungan kaki gunung leuser yang gagah perkasa, yang mana dunia luar terkagum-kagum melihat kehebatannya mengeluarkan Oksigen Setiap harinya menampung harapan miliyaran umat manusia, banggalah kirannya aku dilahirkan disini, Dua puluh satu tahun, dari titik inilah hidupku akan bermula.
Kalaulah kiranya kalian hendak melihat keindahan negeriku, kalian harus bersusah payah terlebih dahulu melewati celah-celah terjal dari dataran tinggi tanoh karo, atau dari utara melewati berbukitnya tanah Gayo.
Dari arah berlawanan dari jalan yang aku lewati, aku memanggilnya dari kejauhan, berlari-lari-lari kecil, dan agak sesekali melakukan upaya mundur seperti halnya pemain bola basket yang menghindari kejaran musuhnya.
”Bang, bang ariga?” aku memanggil sedikit berteriak ”Bang, male kohe kam[2], kesinilah?”
Aku berupaya menggempalkan tanganku membentuk corong agar bisa memberinya pendengaran yang lebih baik.
“ada apa ran? Kau perlu apa sama abang?” Tepatlah kiranya yang aku lakukan tadi sebentar saja dia menoleh dan membalas panggilanku dan berupaya mendekat.
”Aku hendak tampil ke Medan bang?”
“ngapain kamu ke Medan?” Bang Ariga seakan binggung padahal aku tau kalau dia sedang meledekku “Ada kegiatan apa?”
“aku mau ikut seleksi Ceh didong bang?”
Di mulailah percakapan kami di pagi yang agak mendung ini, tak ku sangka, pelatih yang sendari kecil mengajarkanku pituah-pituah dan syair-syair didong yang penuh dengan sirat makna yang luhur, tega menjengkali[3] dan tak percaya dengan kemampuanku.
Bagaimana pun juga aku tetap akan berangkat ada atau tidak dukungan darinya, biarpun aku tau sangat tabu bagi adat kami tak meminta restu orang yang memberi ilmu dan pikirannya kepada anak didiknya secara iklas.
***
[1] Ceh (Bahasa Gayo) sebutan untuk penyair didong
[2] Male Kohe Kam : Mau kemana kamu.
[3] Menjengkali (sebuah kiasan) yang maknanya menyepelekan orang/sepele (bersambung)