by

Penonton Didong Jakarta Sangat Kecewa

Oleh: Andrian Kausyar*

Andrian Kausyar

Pada acara malam tanggal 30 Agustus 2014 didong di Musium Keprajuritan TMII diadangkan oleh IKATAN  MUSAGA GAYO SEJABODETABEK (Baca, Seniman Didong “Duel” Malam Ini di Senayan) Kerja sama dengan 3 (tiga) Kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Gayo Lues dalam rangka acara Halal Bihalal urang Gayo. Tidak tanggung-tanggung acara malam itu awali Saman Gayo (Tari seribu Tangan).

Sajian Tari Seribu Tangan  yang di lakoni oleh Masiswa Gayo Jakarta membuat suana meriah para penonton maupun undangan terpesona dengan gerakan penari-penari harapan dunia, khusus harapan bangsa Gayo, Tari Saman Ditetapkan UNESCO Jadi Warisan Budaya Tak benda Dunia. November 25 th, 2011. Lanjutan dalam syairnya Mahasiswa Gayo mengharapkan perhatian 3 (tiga) pimpinan Gayo Negeri Antara artinya  orang Gayo khususnya Petinggi Gayo enti pedate pelin ken Mahasiswa Gayo berbuatlah sebagimana mestinya. Jika Anda menyaksikan pertunjukan seni dan budaya di pagelaran internasional maka mungkin Anda akan menyaksikan tari tradisional Gayo yang unik ini, yaitu tari Saman. Tari Saman merupakan salah satu seni pertunjukan menarik milik Indonesia, bahkan sering dipentaskan sebagai duta tarian Indonesia di berbagai ajang internasional.

Tarian penuh nilai ini diciptakan oleh seorang Ulama Gayo bernama Syekh Saman abad ke-16 M. Pada mulanya tarian ini hanya merupakan permainan rakyat biasa yang disebut Pok Ane. Melihat minat yang besar masyarakat Gayo pada kesenian ini maka oleh Syekh disisipilah dengan syair-syair yang berisi puji-pujian kepada Allah SWT, sehingga saman menjadi media dakwah saat itu.

Sebelum acara Saman Gayo dimulai ditampilkan penyanyi Gayo Papan atas memang Penyanyi Gayo suaranya sangat merdu bisa membakar penonton, semua penonton malam itu ikut bernyanyi hanyut dalam lautan lagu itu seolah tenggelam kedasar Danau Lut Tawar. Yang sangat menyedihkan miris rasanya barangkali karena merdunya lantunan lagu tiba-tiba salah seorang petinggi Gayo naik panggung memberikan saweran maka diikuti petinggi lainnya juga penonton tidak ketinggalan pamer saweran dengan bangganya. Menurut Alim Ulama perihal Saweran tidak ada dalam Islam, menurut adat istidat Gayo  saweran itu bukan budaya dan tradisi Gayo. Hal ini perlu masyarakat Gayo Respon, sebaiknya budaya saweran ini kita tinggalkan karena saweran bukan budaya dan tradisi Gayo tidak ada  dalam pendidikan Islam  memberi sesuatu dilihat banyak orang alias Ria takut orang lain tidak tau memberi uang, padahal kita tau pesan orang tua dulu memberi sesuatu dengan tangan kanan dan bila perlu tangan kiri tidak tau.

Didong

Didong adalah Sebuah kesenian rakyat Gayo yang dikenal dengan nama Didong, yaitu suatu kesenian yang memadukan unsur tari, vokal, dan sastra. Didong dimulai sejak zaman Reje Linge XIII. Kesenian ini diperkenalkan pertama kali oleh Abdul Kadir To`et. Kesenian didong lebih digemari oleh masyarakat Takengon dan Bener Meriah.

Makna

Ada yang berpendapat bahwa kata “didong” mendekati pengertian kata “denang” atau “donang” yang artinya “nyanyian sambil bekerja atau untuk menghibur hati atau bersama-sama dengan bunyi-bunyian”. Dan, ada pula yang berpendapat bahwa Didong berasal dari kata “din” dan “dong”. “Din” berarti Agama dan “dong” berarti Dakwah.

Pungsi

Pada awalnya didong digunakan sebagai sarana bagi penyebaran agama Islam melalui media syair. Para Ceh didong (seniman didong) tidak semata-mata menyampaikan tutur kepada penonton yang dibalut dengan nilai-nilai estetika, melainkan di dalamnya bertujuan agar masyarakat pendengarnya dapat memaknai hidup sesuai dengan realitas akan kehidupan para Nabi dan tokoh yang sesuai dengan Islam. Dalam didong ada nilai-nilai religius, nilai-nilai keindahan, nilai-nilai kebersamaan dan lain sebagainya. Jadi, dalam ber-didong para Ceh tidak hanya dituntut untuk mampu mengenal cerita-cerita religius tetapi juga bersyair, memiliki suara yang merdu serta berperilaku baik. Pendek kata, seorang Ceh adalah seorang seniman sejati yang memiliki kelebihan di segala aspek yang berkaitan dengan fungsinya untuk menyebarkan ajaran Islam. Didong waktu itu selalu dipentaskan pada hari-hari besar Agama Islam.

Didong Masa kini

Didong jalu yang diadakan di Musium Keprajuritan TMII semalam suntuk di awali dari Ceh Bener Meriah  didenanglah lagu Aceh Bungong Selanga, geliran Ceh dari Aceh Tengah mendendangkan didong “Ceh Bener Meriah merusak Budaya Gayo” ceh uji coba sambungnya. Lagu Bungong Selanga dijadikan didong, penonton mulai gelisah mendengarnya kok didong sudah berbahasa Aceh celetok penonton lainnya, masih Ceh dari Aceh Tengah dalam syairnya Rahim Bismilah, Bismilahirahmanirahim  dibalik menjadi Rahim Bismilah syair ini lebih konyol lagi bila tidak cepat tobat mala petaka cepat lambat akan menimpa Ceh itu.  Mulailah Ceh pada gilirannya tidak lagi medendangkan lagu secara halus (Tep onem) tetapi didong di lagukan secara kasar tidak enak didengar telinga inilah budaya sudah bergeser ke budaya luar Gayo dapat disebut Didong Masa Kini. (Baca, Didong Malang Nasibmu!)

Didong pun dilanjutkan malam minggu tanggal 6 September 2014 di Gedung Nusantara V MPR/DPR RI wow…..!!!  megah sekali gedungnya. Didatangkanlah Ceh Arita Mude dan Biak Cacak Mude, dalam acara itu ada pameran Kopi Gayo dan batu Giok dari Gayo.

Kopi Gayo dicanangkan sudah Go pablik batu Giok pun pelan-pelan mengarah ke pasar dunia, walau kopi Gayo mahal harganya kualitas tinggi sejagat raya ini petani kopi Gayo secara umum orang tuanya belum mampu menyekolahkan anak sampai ke Perguruan Tinggi  Gegur re we ara (hanya iklan) petani Gayo tetap sengsara.

Kembali ke didong, begitu atusias urang Gayo di Jakarta bahkan dari Surabaya dan dari kota lainya  juga ikut nonton ingin melihat, ingin mendengar lantunan didong terbayang masa dulu di tanoh tembuni.

Ceh kedua klup saling sahutan dalam bahasa Indonesia penonton mulai bosan dan heran, pengamat didong suduh menegur ke dua klup supaya didong jangan bahasa Indonesia dijawab Ceh didong kami perintah penyelengara didong agar didong bahasa Indonesia maka kami siapkan didong berbahasa Indonesia, penonton pun mulai pulang satu persatu karena kedua klup Ceh didong sangat membuat kecewa penonton artinya kedua klup Ceh merusak budaya dan tradisi Gayo. Salah satu penonton mengatakan kalau Ceh melantunkan didong sebagai pengantar dalam bahasa Indonesia hal itu masih disenangi, ini sana sawah meh dak soboh bahasa Indonsia betul Gayo udah rusak porami geh bele lanjut penonton itu.

Negara maju seperti Jepang tetap mempertahankan budayanya setiap ketemu dengan saudara atau pimpinan tetap badan membungkuk itulah budaya Jepang yang sudah maju dan kaya raya, konon urang Gayo teku mata muke, seger ilen ku Jakarata  gere ne pane bahasa Gayo. Selain Gayo belum ada budaya daerah lain dalam suatu pegelaran berbahasa Indonesia, orang Aceh, Batak, Padang, Jambi, Jawa Sunda dan lainnya tetap memakai bahasa sendiri.

Yang memalukan orang Gayo Jakarta, penonton sangat kecewa tingkah seorang ibu rumah tangga masuk ke tengah lingkaran didong berjoget ria mempertontonkan gerak tubuhnya (ini banan gere mupau) perempuan tidak punya malu merusak seni budaya Gayo, kami himbau kepada penyelenggara kami mohon dengan kerendahan hati peristiwa ini tidak terulang lagi cukup sekali kami urang Gayo Jakarata Tetap mempetahankan Budaya danTradisi Gayo sampai hayat dikandung badan.

*Warga Gayo di Jakarta

Comments

comments