Oleh : Muchlis Gayo, SH.
Lengkaplah sudah kisah sedih dikampus UGP, dimulai dari unjuk rasa keberatan mahasiswa UGP terhadap pergantian Rektor Ir. Syukur Coubat, demo menurunkan Rektor Drs. Mirda Alimi MM, disusul demo kepemilikan kampus induk UGP dan penegerian UGP. Riak demo tersebut merupakan refleksi dari ketidak fahaman orang-orang yang mendirikan yayasan maupun yang menduduki bagan dari organisasi Yayasan dalam mengelola PTS.
Ir. Syukur Coubat dipinggirkan karena tidak memenuhi syarat S2, syarat ini baru dirubah dalam statuta perubahan menjelang masa jabatannya selesai. Mirda Alimi MM diberhentikan karena tidak memiliki NIDN atau Nomor Induk Dosen Nasional yang tidak diatur dalam statuta perubahan, Adenan SE, MSi. Jadi Rektor setelah Statuta perubahan di rubah kembali.
Pel’oh atau tabiat tersebut terjadi pada masyarakat yang sedang mengalami proses stimulasi diffusion dan akulturasi, yang mempengaruhi transisi sosial budaya. Masyarakat seperti ini lebih menyukai sesuatu yang berhubungan dengan status sosial, seperti ingin dihormati, disanjung, disegani oleh masyarakat dimana ia berada. Keinginan ini dapat dicapai apabila menjadi PNS. Sejak era reformasi PNS tercitra bukan sebagai Pelayan Masyarakat atau Abdi Negara, tetapi menjadi golongan elite dalam strata sosial, karena memiliki kekuasaan, kedudukan, kehormatan dan difasiltasi dengan mobil plat merah, rumah dinas dan jaminan masa tua.
PNS menjadi primadona penjamin masa depan, menjadi daya pesona yang melahirkan mimpi, harapan dan cita-cita. Maka menjadi tidak aneh jika seseorang diberi pekerjaan yang dekat dengan kekuasaan tapi bukan PNS, maka dia akan berpenampilan dan bertindak seperti PNS.
Hal-hal seperti itulah yang terjadi dilingkungan UGP yang swasta. Sejak berdirinya yayasan 30 tahun lalu, Ketua Dewan Pembinanya adalah eks officio Bupati Aceh Tengah. Tentunya posisi Bupati sangat mempengaruhi sikap pimpinan dilingkungan UGP dalam mengelola managemen akademik maupun keungan dan personalnya. Karena adanya “perasaan” UGP milik Pemda Aceh Tengah, maka peraturan perundang-undangan Negara yang menyangkut pendidikan tinggi diserap habis. Padahal peraturan membedakan cara pengelolaan PTN dan PTS. Badan Pengelola PTS atau yayasan diberi ruang yang lebar dalam mengurus PTS yang dikelolanya. Ruang itu diberikan karena pemerintah mempertimbangkan keterbatasan SDM dan SDKeuangan disuatu PTS.
Statuta UGP yang berkali-kali dilakukan perubahan hanya mengenai pasal syarat menjadi Rektor. Semestinya perubahan dilakukan untuk mengantisifasi keluarnya kebijakan baru dalam pengelolaan PTS, atau perampingan struktur organisasi untuk efisiensi tenaga kerja dan keuangan lembaga yang sedang bermasalah. Menyerap peraturan pemerintah yang diperuntukan bagi PTN dalam Statuta PTS, akan membelengu diri sendiri untuk bergerak, karena keterbatasan fasilitas, dan SDM yang professional. Contoh, hal yang sangat sederhana tatacara pengambilan sumpah dan pelantikan Dekan 100% meniru sumpah dan pelantikan Pejabat Negara seperti SKPK.
Tragis memang, statuta yang berkali-kali dirubah tidak mengatur hal ini. Isi sumpah dan tata cara pelantikan Rektor dan Dekan semestinya disesuaikan dengan kaedah yang berlaku di masyarakat kampus. Seperti di sidang terbuka Senat Universitas/Fakultas dan isi sumpah minimal menyebut setia dan mentaati Statuta, Tri Darma Perguruan Tinggi dan menjunjung kebebasan mimbar.
Yah memang kita masih perlu banyak membaca, karena kita berkerja didunia akademis yang diatur oleh Statuta. Semoga badan pengelola UGP dan Pimpinan UGP serta Dosen dan mahasiswa memahami statuta dan fungsi Tri Darma Perguruan Tinggi.
Dosen UGP mahasiswa on line pasca sarjana STMP Bogor*