ALA: Siap Tidak Siap Harus Siap: Kegelisahan Anak Rantau

Dr. Junaidi

Oleh: Dr.Junaidi

Sontak berita yang mengumandangkan perlunya wilayah ujung Sumatra dibelah menjadi dua provensi baru. Aceh Lauser Antara, diantaranya. Lepas dari Induk provensi Nagroe Aceh Darusalam (NAD). Yang belakangan ini semakin terlihat gaungnya tidak memperdulikan wilayah tengah, sepertinya.

Berawal dari perbincangan ringan di meja restoran Muslim di Tokyo minggu lalu, bersama beberpaa teman seprovensi dari berbagai negara. Saya mencoba memberikan sedikit catatan mengenai pembentukan provensi baru ini. Walau pada dasarnya saya tidak memiliki kapasitas dalam membahas politik, karena latar belakang saya bukan Ilmu Politik atau sejenisnya. Namun sebagai anak bangsa, sebagai anak bersuku Gayo berdarah tanoh Tembuni sudah sewajarnya ikut berperan menyumbangsih sedikit pemikiran.

ALA: Siap Tidak Siap Harus Siap. Siap untuk memulai hidup lepas dari induk, siap memulai kehidupan dari nol dan siap bersaing dengan provensi lain yang sudah bukan nol lagi. Berat? Pasti, namun tidak ada kewajaran dalam hidup tanpa melewati kepayahan. Itu mutlak diperlukan.

Pertanyaanya sekarang adalah, sudah siapkah kita memulai hidup baru tersebut?. Memulai roda pemerintahan tidak sama seperti seorang anak yang baru menikah dan hidup terpisah dari orang tuanya. Sama sekali bukan. Memulai roda pemerintahan harus mempersiapkan segala lini dan segala sendi. Bukan hanya sekedar berbicara retorika. Berandai-andai dan bermimpi begitu lepas langsung bahagia.

Kasarnya, sudah siapkah kita lapar sebelum buncit?.
Sisi yang paling vital adalah generasi penerus. Sudah berapa banyak anak-anak Gayo melanjutkan pendidikan bukan hanya sampai gelar sarjana? Atau mereka yang benar-benar sekolah dengan niatan “SEKOLAH?”. Bukan sekolah-sekolahan?. Jangan-jangan mereka, kami dan saya tamat pendidikan karena waktu, bukan tamat karena mampu. Empat tahun sarjana, berapapun nilainya yang penting wisuda!. Itu artinya tamat karena waktu!.

Bila kenyataanya sama (walau tidak persis) seperti itu, lalu apa yang bisa diharapkan dari mereka nantinya sebagai pengganti perintis provensi baru tersebut?. Memahami makna pengabdian setelah memegang kekuasaan?. Terlambat. Terlalu lama untuk memulai start.

Memang tidak bisa disalahkan, Imbas komplik membuat cacat sistem pendidikan kita. Akibatnya nilai tertinggi hanya sebagai catatan belaka. 100 % lulus Ujian Nasional namun 1 % lulus Universitas Negeri. Itu hanya sebagai gambaran nyata yang terus berulang setiap tahunnya. Apa yang salah? Tidak ada yang salah selain kita masih membiarkan keadaan itu berulang sebagai eksalahan fatal.

Selebihnya, apakah upaya menyekolahkan mereka yang sarjana tamatan terbaik untuk jenjang lebih tinggi sudah dilakukan?, berapa persen jumlahnya?. Jika jawabannya itu diatur oleh negara, lalu apakah pemerintahan ALA nantinya akan diatur oleh kemauan negara juga?. Undang-undang mungkin menuntunya, namun mana kemandirian provensi sendiri?

Coba hitung berapa banyak professor kita, berapa banyak Doktor atau mereka sedang menempuh sekolah Doktoral. Berapa banyak pendidik kita yang berkwalitas atau berapa banyak kesempatan yang diberikan kepada mereka penerus pemerintahan untuk mendapat kesempatan maju.

Pingin rasanya saya mencoba mengabsen anak-anak Gayo yang bersekolah di Jenjang Master, Doktoral atau mereka yang bersekolah di luar negeri. Memang pemikiran ini serasa naif, namun bukankah mereka yang berpendididikan akan menjadi agen perubah?. Andai kita belajar dari dulu, tentu kopi kita tidak di cukongi di Medan, andai kita faham mengolah tanah tentu Jeruk Keprok terbaik kita tidak mati tersiram obat semprot.

Siap tidak siap harus siap. ALA bukan Harga Mati, namun Harus Pasti. Tidak perlu pertumpahan darah lagi. Namun perlu disikapi dengan kepastian. Tidak elok juga mempertahankan ego untuk tidak memberi izin pendirian ALA, toh Ujung Sumatra masih terlalu luas. Tidak dapat di urus oleh satu provensi. Seperti kenyataan belakangan ini. Banda Aceh yang musibah wilayah Tengah yang kelaparan. Sedang mata hanya tertuju pada Banda Aceh. Itu artinya ada ketidak seimbangan tata kelola sistem kebutuhan.

Mau tidak mau, siap tidak siap ALA akan berdiri. Bedanya berkwalitas atau hanya menjadi provensi pengemis dikemudian hari adalah pilihan. Hasil bumi wilayah tengah sebenarnya kaya, mulai dari yang terlihat diatas tanah sampai yang tersembunyi di dasar bebatuan. Namun, kita hanya akan mengetahui angkanya sedang mengolahnya jatuh pada orang lain. Mau sampai tahun kapan kita “betetebang”?, datang tamu kita bergeser ke hutan.

Bagi kami sebagai mahasiswa yang merantau beribu-ribu mil jaraknya dari tanah kelahiran. Melihat dari luar ada kalanya lebih baik. Seperti melihat ikan “Bontok” berenang dalam toples. Nyata terlihat segala bentuk dan sampah yang mengapung didalamnya. Dibanding Bontok itu sendiri bercerita tentang keanggunan ekornya, kegesitannya berenang atau panasnya suhu air dalam botol.

Hanya saran yang teramat besar kami sampaikan. Mulailah memberi kesempatan kepada generasi muda penerusnya untuk melanjutkan pendidikan. Kalua tidak ada dana (maaf itu mustahil). Silahkan digembleng mereka yang akan disekolahkan. Karena dunia luar membutuhkan bahasa Inggros, tidak sulit rasanya mencari guru bahas Inggris yang mau mengajar mereka untuk dipersiapkan mengejar beasiswa ke Luar negeri. Momok yang harus di patahkan, kalau mau pemerintahan ALA siap dengan SDM lima, 10, 20 tahun ke depan.

Belajar dari kesalahan provensi-provensi baru belakangan ini. tidak mampu mandiri dan terpaksa dipantau kemandirianya oleh pemerintah. Salam perubahan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. kita nggak usah muluk2 penulis, itu provinsi riau, irian jaya yang sekarang bernama papua jadi apa??? nggak juga maju2, kalau memang soal kemajuan kesejahteraan itu adanya di pemerintahan pusat bukan daerah karena uang hasil pendapatan derah di kumpulkan di sana, kita itu jgn suka mendengar apa yang ingin kita dengar bukan mendengar fakta yang ada