Bila persoalan dibiarkan berlarut larut, dampak negatifnya akan memunculkan persoalan baru. Haruskah sengketa tanah Paya Ilang antara Pemda dengan masyarakat dibiarkan, tanpa ada kepastian hukum siapa pemiliknya?
Pemda akan dirugikan bila persoalan ini tidak diselesaikan. Masyarakat juga akan kehabisan energi. Tanah rawa di pusat kota Takengen, harus ada kepastian hukum siapa tuanya. Bila tidak diselesaikan benturan dilapangan akan terjadi.
“ Harus itu. Status tanah rawa Paya Ilang yang merupakan eks irigasi, harus ada kepastian hukum,” sebut Bupati Aceh Tengah, Nasaruddin ketika diminta Waspada tanggapanya tentang upaya penyelesaian sengketa yang berlarut ini, Selasa (12/9).
“Silakan masyarakat menempuh jalur hukum,” pinta bupati,” bila hukum memastikan bahwa tanah itu milik masyarakat, Pemda juga sudah ada dasar hukumnya bila ingin mempergunakan tanah tersebut untuk fasilitas umum. Pemda dapat mengajukan ganti rugi.”
“Kalau tidak ada dasar hukumnya yang menyatakan tanah itu milik siapa, bagaimana Pemda mau mengganti rugi. Tanpa ada dasar hukum dalam mengganti rugi, akan terjerat tindak pidana korupsi,” sebut Nasaruddin.
“ Seharusnya Pemda yang membawa persoalan ini ke ranah hukum. Kami akan mengikutinya. Tanah ini dari orang tua kami sudah kami kuasai, karena milik kami,” sebut Syaiful, masyarakat yang mengklaim tanah Paya Ilang itu sebagai milik keterunan mereka.
“Tidak etis Pemda menuntut rakyatnya. Sebaiknya masyarakatlah yang mengajukan kasus ini ke Pengadilan,” sebut Bupati Aceh Tengah Nasaruddin. Kedua belah pihak masih enggan mengajukan status tanah ini ke Pengadilan.
Sebelumnya masyarakat sudah mengajukan gugatan ke PN Takengen, namun bukan substansi tanah, akan tetapi perbuatan melawan hukum. Gugatan itu karena Pemda yang menurunkan tim kelapangan, melakukan penertiban lokasi tanah.
Masyarakat tidak terima dengan upaya penertiban itu, karena berkeyakinan tanah tersebut milik mereka yang dikuatkan dengan dokumen. (Dari data yang didapat Waspada, surat keterangan tanah milik masyarakat umurnya lebih tua bila dibandingkan Pemda).
Pengadilan Takengen menolak gugatan masyarakat soal penyalahgunaan wewenang. Dalam amar putusanya PN Takengen tidak menyebutkan tanah tersebut milik siapa. Masyarakat tetap melakukan aktifitas menimbun rawa tersebut.
Giliran Pemda Aceh Tengah yang melaporkan ke polisi tentang pemalsuan dokumen. Kini pihak kepolisian sedang mendalami laporan itu, apakah benar ada pemalsuan dokumen atau tidak.
“Kita berkewajiban membuktikan laporan yang disampaikan, karena itu tugas kita. Namun soal kepemilikan tanah, itu bukan wewenang kami yang memutuskanya. Pihak pengadilan yang berwenang memutuskan tanah itu milik siapa,” sebut Kaplres Aceh Tengah AKBP. Hairajadi, menjawab Waspada.
“Kenapa laporan pemalsuan dokumen ke polisi yang diajukan Pemda, mengapa tidak diajukan gugatan ke PN Takengen tentang status kepemilikan tanah. Kami akan ikuti bila pemda mengajukan gugatan,” sebut Samsul, pemilik tanah lainya.
Tanah Paya Ilang, Kemili, Kecamatan Bebesen ini, seluas 52.176 meter persegi, menurut masyarakat banyak pemiliknya. Mereka dilengkapi dengan dokumen. Karena keyakinan dengan dokumen itu, tanah tersebut kini sudah banyak diperjual belikan, ada puluhan akte notaries jual beli.
Namun walau sudah diperjual belikan, namun ketika diusulkan untuk pembuatan sertifikat oleh masyarakat tanah ini menjadi persoalan. Pemda juga mengajukan usulan sertifikat ke BPN Aceh Tengah. Namun dilain sisi ada beberapa persil tanah ini yang sudah mendapatkan sertifikat.
Di atas tanah yang disengketakan ini, kini sudah berdiri puluhan bangunan, baik sarana pemerintah dan perumahan penduduk. Lahan kosong masih banyak, itulah yang kini digarap masyarakat.
Kapan akan selesai persoalan tanah ini? Bila kedua belah pihak tidak mau mengajukan gugatan ke pengadilan. Kedua belah pihak saling berharap bukan mereka yang mengajukan gugatan ke pengadilan. Haruskah berlarut-larut? (Bahtiar Gayo/ Waspada edisi Rabu 13/9/2017)
Berita Terkait : Paya Ilang Pemda Vs Masyarakat