Apa yang Bisa dibannggakan…?
Dia berpenampilan necis dan berilmu strata dua secara akademis. Menjadi Kepala Bidang di sebuah instansi pemerintah di kota ini. Pembicaraan kami bermula ketika dia datang meminta sejumlah foto yang berkaitan dengan kopi, dari pohonnya hingga tersaji di gelas keramik. Arabika Gayo
Pembicaraan awalnya santai dan ringan tentang dunia potret memotret tang dalam bahasa Gayo disebut Godak. Dia menganggap foto foto di halaman media sosial milikku cukup bagus. Aku tentu saja senang sekali meski dalam hati.
Betapa tidak, terjun ke dunia jurnalistik dan kemudian diiiringi menjadi pewarta foto terjadi tidak disengaja. Tidak sengaja karena hobi membaca kemudian mencoba menjadi wartawan tak bergaji hingga bisa memiliki gaji karena tidak punya keterampilan lain.
Setelah meninggalkan dunia jurnalistik atau pensiun karena secara ekonomi tidak menjanjikan dan bisa menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi, hobi memoto tidak bisa kutinggalkan .
Sebabnya, hampir semua sudut di Tanoh Gayo ini menjanjikan foto menarik. Terlepas apapun kamera yang digunakan, termasuk hp pintar. Tanah ini memberikan view yang aduhai. Melukis cahaya. Tinggal naluri dan insting memoto. Bak pelukis. Kita mau menggambar apa?, terserah kita.
Kembali ke pembicaraan tadi. Lelaki yang berasal dari Tatar Sunda tadi mulai bercerita tentang potensi Tanoh Gayo. Dia menilai tanah tinggi bak surga dengan kesuburan alamnya. Namun persoalan pengelolaan menjadi kendala percepatan pembangunan disini.
“Semua orang tahu, dari sini kopi terbaik itu dihasilkan. Tapi coba lihat, ikon kopi apa yang bisa dijadikan latar foto atau kebanggaan bahwa mereka pernah datang kesini…?,” katanya. Aku tercekat dan tak bisa lagi membantahnya.
Lelaki parlente ini kemudian menghujaniku dengan ratusan katatanya , kenapa bak peluru yang keluar dari senapan otomatis. Menurutnya, kenapa kita tidak menanami kopi di taman-taman kota. Di setiap bagian tanah yang menjadi marka jalan pemisah lajur?.
Kenapa harus menanam bunga kalau kopi begitu indah. Apalagi saat berbunga yang bisa mengharumi seisi kota dan siapapun yang pernah datang ke Gayo akan bercerita soal ini. Atau kenapa kita tidak membuat ikon kopi yang mentereng sebagai bukti bahwa kopi ini yang menghidupi kita sebagai sumber utama dan menjadi penyumbang terbesar Pendapatan Daerah?.
Aku seperti tikus yang disirami minyak. Dan dia terus melontarkan kata yang ujungnya bertanda tanya. Akupun diam saja dan sesekali menjawab sebisaku. Meski jawaban tersebut hanya kambing hitam atau beristilah yang maknaya buang badan.
Menurutnya, tanah yang demikian subur ini menerima setiap pohon yang ditanam dalam kandungannya. Apapun yang ditanam ini akan menemukan tanah surganya.Semua yang ditanam akan tumbuh subur.
Untuk itu, ucapnya, masih ada waktu untuk berubah.Duniapun belumlah kiamat. Tinggal mau atau tidak. Persoalan kopi memang demikian pelik dari hulu hingga hilirnya. Tonase kopi gayo yang dibawa keluar daerah dan dikenakan retribusi yang berarti pungutan resmi oleh pemerintah tidak terkontrol dengan baik.
Menurutku, Kebocoran PAD dari retribusi kopi diduga terjadi setiap tahun.Apa indikasinya?, setiap kopi yang dibawa oleh truk atau tronton, tidak melewati alat timbang yang benar. Tonasenya diduga duga sesuai kapasitas angkut truk pengangkut. Bisa jadi lebih atau kurang. Sektor ini dibiarkan tidak serius karena menjadi sumber pendapatan tidak resmi para pihak.
Belum lagi retribusi kopi ini diberikan kepada pihak ketiga. Jika pihak ketiga tak mampu membayar PAD sesuai kesepakatan, tindakan hukum yang diberikan bisa ditoleransi. Seharusnya, Kota kopi ini menunjukkan identitas kekopiannya dengan jelas.
Kebun Daerah yang berada di Burni Bius juga tidak dikelola pemerintah. Sementara hingga kini, Kabupaten Kopi Gayo ini sudah memasuki usia 109 tahun jika dihitung dari introduksi kopi arabika oleh Belanda sejak tahun 1908.
109 tahun usia kopi arabika gayo, tapi hingga kini tidak ada kebun induk. Pusat penelitian dan pengembangan kopi gayo. Apalagi bicara katalog kopi gayo yang sudah mendunia. Apa yang bisa kita banggakan dari Kabupaten Kopi ini?, ……tampaknya belum ada. Masih cet langit. Masih berjalan dalam terang tapi nabrak tembok. Visi mengambang misi bokoten. (Win Ruhdi Bathin/LG010)