Takengen | Lintasgayo.com – Penyumbang devisa negara terbesar dari kopi, rakyat Gayo adalah pelakunya. Dari 300 ribu hektar tanaman kapein yang ada di Indonesia, 33 persen berada di kawasan pengunungan sentral Aceh (106 ribu hektar). Selebihnya tersebar di penjuru pertiwi.
Kopi Gayo yang tumbuh dalam pelukan bukit barisan Aceh ini, menjadi incaran dunia. Aromanya khas, cita rasanya menggoda lidah. Kopi dari belahan dunia lainya sering dicampur dengan kopi Gayo, demi mendapatkan aroma.
Beragam jenis kopi arabika, tumbuh dan berkembang dengan sangat baik di bumi Gayo. Bahkan beberapa diantaranya sudah mendapatkan sertifikat (Gayo 1 dan Gayo 2).Di sana perkebunan kopi tidak dikuasai perusahaaan besar, namun milik petani.
Dari 106 ribu hektar kopi rakyat, tersebar di tiga kabupaten, Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayolues, rata-rata setiap hektarnya menghasilkan 700 sampai 800 kilogram pertahun. 60 persen diekspor ke manca negara. Rakyat Gayo menyumbang pajak 10 persen untuk negara.
“Gayo harus menjadi pusat riset kopi Indonesia. Standar kopi Indonesia muncul dari Gayo. Pemerintah pusat harus mempertimbangkan agar Gayo menjadi riset kopi Indonesia. Sudah sewajarnya Gayo dijadikan pusat riset kopi di Indonesia,” sebut Tgk. Syarkawi, Bupati Bener Meriah.
Hal itu diungkapkan Syarkawi ketika memberikan sambutan saat dilangsungkan sosialisasi kopi organik di GOS Takengon, Sabtu (25/10/2019). Abuya panggilan akrab bupati ini, melepaskan beban di dadanya dalam sambutan tanpa teks.
Didahapan Kadis Pertanian Aceh dan Dirjen Perlindungan Perkebunan Kementerian Pertanian RI, Ebi Rulianti, SP, M.Sc, serta seluruh pemerhati kopi, Abuya menyebutkan, doa rakyat Gayo berbeda dengan saudara saudara yang ada di ibukota Jakarta.
“Kalau kami di Gayo ini berdoa agar nilai tukar dolar tidak turun. Karena harga kopi dunia ditentukan oleh dolar. Otamatis harga kopi akan membantu petani. Namun sayangnya walau dolar tetap bertahan, harga kopi tak kunjung naik, karena kopi kena pajak,” sebut Abuya setengah berkelakar sambil memperhatikan utusan dari Jakarta diikuti tepuk tangan hadirin.
“Kiranya menjadi pertimbangan soal pajak kopi, bila pajak kopi tidak ada, tentunya sangat membantu petani. Kalau dikenakan pajak harga kopi tetap tidak naik, walau dolar naik. 80 persen rakyat Gayo mengantungkan hidupnya dari kopi,” jelas Syarkawi.
Menurut Abuya, kopi Gayo berpotensi menghasilkan 2 ton perhektar dalam setahun. Hasil itu akan didapat bila dikelola secara frofesional dan serius. Untuk itu salah satunya, Gayo membutuhkan lembaga riset kopi, jelasnya.
“Pihak Mentan yang datang ke Gayo sudah melihat langsung. Bagaimana aktifitas rakyat yang mengandalkan kopi sebagai sumber hidupnya. Usulan kami agar Gayo menjadi pusat riset kopi Indonesia kiranya menjadi pertimbangan,” sebut Syarkawi menjawab Dialeksis.com.
Dalam pengembangan kopi, Abuya mengakui persoalan anggaran masih terbatas. Keberpihakan anggaran untuk kopi masih sangat dibutuhkan. Untuk itu kiranya pihak provinsi dan pusat, menaruh perhatian besar kepada kopi, demi membantu petani, pintanya.
Menyinggung tentang lembaga riset kopi, Shabela Bupati Aceh Tengah, sependapat dengan Syarkawi. Ketika ditanya Dialeksis, Shabela menjelaskan, kopi Gayo yang sudah menjadi incaran dunia dan milik rakyat, bukan perusahaan, sudah selayaknya di negeri ini dibangun riset kopi Indonesia.
“Bila Gayo dijadikan pusat riset kopi, tentunya peningakatan kualitas kopi terbaik dunia ini akan semakin baik. Perencanaan dan pengambilan kebijakan juga semakin terarah. Beragam persoalan tentang kopi dapat diatasi dan yang terpenting membantu petani meningkatkan kesejahtraanya,” sebut Shabela.
“Potensi hasil kopi Gayo mencapai 2 ton pertahun untuk satu hektar akan mampu diwujudkan. Bila riset kopi ada di Gayo, bukan hanya mengatasi beragam persoalan kopi. Namun, keputusan tentang kopi juga dapat ditentukan. Melalui riset dapat ditemukan sesuatu yang baru, penyempurnaan pengetahuan tentang kopi semakin baik,” sebut Syarkawi.
Selain itu, Abuya juga menyentil soal lahan untuk pengembangan kopi. Dari luas Bener Meriah, hanya 38 persen merupakan HPL yang bisa digarap untuk perkebunan kopi. Kiranya area pengembangan kopi Gayo dapat diperluas, beberapa kawasan bisa dibebaskan.
Soal pengembangan lahan perkebunan kopi, Bupati Aceh Tengah Shabela Abubakar memiliki program membagikan lahan kebun kopi 2 hektar per KK. Semuanya dilakukan bertahap.
Di tahun 2019 sudah ada anggaran untuk 400 hektar. 100 hektar dari APBK dan 300 hektar dari provinsi. (baca berita menagih janji bupati lahan 2 hektar per KK).
Tahun 2020, juga sudah direncanakan akan dibuka lahan seluas 500 hektar. Menurut Shabela, 200 hektar dari jumlah itu, dananya bersumber dari APBK dan 300 hektar dari anggaran APBA. Lokasi untuk pengembangan area kopi itu sudah ada.
Bebas Herbisida Glyphosat
Kopi terbaik dunia ini, sudah diekspor ke seluruh penjuru bumi. 60 persen kopi asal Gayo telah dipasarkan ke pelbagai negara Eropa, Amerika Serikat, dan Asia.
Namun baru baru ini, persoalan kopi disana digegerkan dengan pemberitaan di berbagai media, ketika salah seorang pengusaha menyebutkan, kopi jenis komvensional (sumbernya tak jelas), mengandung herbisida glyphosate.
Buyer yang membeli kopi Gayo menolaknya, walau itu baru berupa sampel kopi yang dikirimkan pengusaha ini. Spontan berita kopi mengandung herbisida itu menjadi pembahasan.
Namun isu itu ditepis Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, Bupati Aceh Tengah, Shabela Abubakar, Bupati Bener Meriah, Tgk. Syarkawi. Mereka menyebutkan jangan digeneralisir, bahwa seluruh kopi Gayo mengandung herbisida.
Kopi yang dijadikan sampel oleh pengusaha itu bukanlah kopi yang bersertifikat organik. Penjelasan yang sama juga disampaikan sejumlah koperasi yang selama ini mulus mengirimkan kopi kepada sejumlah bayer di berbagai belahan dunia.
Sehubungan dengan maraknya isu kopi mengandung herbisida , tim Kementan RI yang didampingi pihak Dinas Pertanian Aceh dan Pertanian Aceh Tengah, mengambil sampel kopi yang disebutkan mengandung herbisida itu. Mereka langsung ke Takengon, ke tempat koperasi yang menyebutkan kopi mengandung herbisida.
Hasil laboratorium yang dilakukan pihak Kementan RI, dipaparkan tim dari Deputi MentN. Ketika dilangsungkan sosialisasi kopi organik di Takengon, tim dari Direktorat Perlindungan Perkebunan Kementerian Pertanian RI. Ebi Rulianti, SP, M.Sc menjadi pemateri.
Ebi yang diutus mewakili Dirjen Perlindungan Perkebunan Kementerian Pertanian RI, kepada peserta sosialisasi menjelaskan tentang kopi yang disebut mengandung herbisida itu.
Ebi Rubilianti memastikan tidak ada penolakan kopi organik arabika Gayo oleh buyer (pembeli) di Uni Eropa. “Tidak ada masalah dengan para buyer. Mereka tetap membeli kopi Gayo dan tidak ada yang menolaknya,” sebut Ebi.
Pihaknya telah berkomunikasi langsung dengan atase Pertanian Indonesia untuk Jerman. Hasil komunikasi itu diperoleh kepastiani tidak pernah ada penolakan terhadap kopi organik Gayo.
Para buyer disana belum pernah menerima ekspor kopi organik Gayo. Justru yang terjadi, buyer di Uni Eropa selama ini membeli kopi non organik dari Gayo dan kini mereka tertarik dengan kopi organik.
Buyer disana selama ini membeli kopi non organik namun tidak pernah komplain. Mereka berencana akan membeli kopi organik.
Ebi menjelaskan, dari data mereka, ada salah satu koperasi di Gayo yang mengekspor kopi mencapai 970 ton pertahun. Rinciannya 65 persen diekspor ke UE sebagai produk kopi non organik dan 35 persen ke Amerika Serikat sebagai produk kopi organik.
“Yang diekspor ke Uni Eropa itu merupakan kopi non organik (komvensional), bukan kopi organik. Kini pihak UE mulai tertarik dengan kopi organik Gayo,” sebut Ebi.
Ebi dalam pertemuan itu menjelaskan, pasar UE menekankan pentingnya precision farming, post harvest handling, dan juga soal food safety sebagai persyaratan mutlak. Kopi yang diterima harus memenuhi standar dan diuji secara ketat.
“Jadi kalau kopinya non organik jangan diklaim sebagai kopi organik. Jangan dicampur aduk. Kepercayaan buyer (pembeli) dan pasar terhadap kopi arabika Gayo harus kita jaga, “ sebut Ebi.
“Jangan mengklaim kopi arabika non organik sebagai kopi organik, walau itu hanya sekedar sampel yang dikirim ke UE,” kata Ebi. Artinya engskportir jujur dengan apa yang mereka kirim demi mempertahankan nama dan kualitas kopi Gayo.
Ebi menegaskan buyer Uni Eropa tidak ada yang menolak kopi dari Gayo. Mereka selama ini memesan kopi non organik dan kini mereka akan memesan kopi organik.
Berbicara soal kejujuran dalam mengekspor kopi dari Gayo, Misriadi, salah seorang pengekspor kopi yang sudah merasakan asam pahit persoalan kopi, meminta persoalan kejujuran diutamakan.
Adijan panggilan akrbanya, ketika berbincang dengan Dialeksis.com, meminta agar para ekportir demi menjaga nama Gayo mengedepankan hati nurani.
“Bila para pengekspor kopi jujur, menggunakan hati nurani dalam menyelamatkan petani, tidak ada masalah dengan buyer. Kalau yang dikirim kopi konvensional sebutkan saja kopi konvensional, jangan disebutkan kopi organik,” jelas Adijan.
Namun kalau dikirim kopi konvensional akan tetapi disebutkan organik, selain kita tidak jujur, kita juga sudah menghancurkan kopi Gayo. Demi menjaga marwah Gayo, kita harus jujur, sebut Adijan.
Selain persoalan kejujuran, petani di sana juga perlu perhatian serius. Ketika pihak buyer memberikan fee kepada koperasi agar diberikan kepada petani, pihak koperasi harus transparan. Artinya kalau jatah untuk petani ya sampaikanlah, jangan tidak disampaikan, pinta Adijan.
Untuk membantu petani Gayo, Kadis Pertanian Aceh, A. Hanan dalam sosialisasi itu menjelaskan, pihaknya bersama kementerian terkait pada tahun 2019 ini melakukan rehabilitasi tanaman kopi yang luasnya sekitar 1.350 hektar.
Dari luas area itu, untuk Benar Meriah 500 hektar. Aceh Tengah 500 hektar dan Gayo Lues 350 hektar. Kegiatan itu dilaksanakan melalui sekolah lapangan, teknologi terintegrasi kopi dengan ternak, dan bimbingan teknis petani kopi milenial untuk peremajaan kopi arabika.
Kopi Gayo tetap Jadi Idola
Salah seorang pakar kopi Gayo, Nasaruddin, dimana dia 13 tahun menjadi orang nomor satu di Aceh Tengah, ketika berbincang bincang dengan Dialeksis.com, menyakini kopi Gayo itu akan tetap menjadi idola.
“Para buyer di dunia masih tetap menjadikan kopi Gayo sebagai idola. Kopi Gayo itu akan tetap mahal dijual, walau kopi dunia turun harganya. Hal itu karena kopi Gayo memiliki citarasa yang khas, melekat di lidah dan memiliki aroma yang menyengat,” sebut mantan Bupati Aceh Tengah ini.
“ Ada kopi dari negara lain yang dicampur dengan kopi Gayo. Upaya itu dilakukan para buyer untuk mendapatkan aroma khas kopi. Para buyer di Eropa misalnya membeli kopi Brazil 10 ton, mereka akan mencampur dengan 1 ton kopi Gayo demi mendapatkan aroma,” sebut Nas.
Karena kekhasan kopi Gayo dan tidak dimiliki daerah lain, Pemda Aceh Tengah sudah memperjuangkan sertifikat indikasi geografis kopi arabika Gayo. Sertifikat geografis kopi arabika Gayo diterbitkan oleh Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 28 April 2010.
Selain itu, sebut Nas, kopi Gayo 1 sudah terdaftar di Menteri Pertanian RI sebagai varietas unggul, dengan nomor keputusan 3998/kpts/SR.120/12/2010 tertanggal 29 November 2010 dan disusul jenis kopi Gayo 2 dengan nomor keputusan 3999 dengan tanggal yang sama.
Demikian dengan jeruk keprok Gayo, alpukat, kuda rumpun Gayo, bawang merah Gayo, semuanya sudah mendapat sertifikat dari pihak berwenang di bumi pertiwi semasa Nas menjabat sebagai bupati.
“Ini identitas Gayo dan Alhamdulillah sudah bersertifikat. Baru baru ini saya juga mendapat kabar bahwa tari Sining dan Gutel Gayo juga sudah mendapatkan sertifikat. Semakin banyak budaya benda dan tak benda Gayo yang mendapat sertifikat, semakin dikenal pihak lain bahwa Gayo itu kaya dengan beragam identitas yang khas,” jelas Nas.
Menyinggung tentang kopi Gayo, mantan bupati ini berkeyakinan seiring dengan dinamika, kopi di negeri berhawa sejuk itu akan semakin berkualitas dari masa ke masa.
“Sebagai petani Gayo kita harus bersyukur, Tuhan memberikan negeri yang subur ini sangat cocok untuk kopi, dimana citarasa dan aromanya sangat berbeda dengan negeri lain,” sebutnya.
“Untuk meningkatkan kualitas kopi Gayo, tentunya kita harus terus belajar dan berinovasi. Kalau pihak luar memiliki ilmu tentang kopi, kita harus lebih pinter dari mereka, karena kita langsung berhadapan dengan kopi kualitas terbaik dunia,” sebut Nas.
Berbicara kopi organik, Bupati Bener Meriah, Tgk. Syarkawi, ketika dilangsungkan sosialisasi kopi organik justru menyebutkan, mereka petani yang hadir untuk sosialisasi ini tidak perlu lagi dibekali dengan kopi organik. Karena mereka sudah berpengalaman dalam hal itu, bahkan orang tua mereka, kakek mereka juga sudah faham kopi organik.
“Budaya leluhur kita dalam mengolah kopi dikenal arif dan bijaksana. Mereka melelang kebunnya (menggaruk gulma). Membuat lobang angin untuk pupuk alami. Sampai humus itu membusuk menjadi pupuk. Budaya itu harus kita lestarikan,” sebut Shabela Bupati Aceh Tengah.
“Biasakanlah mengolah lahan pertanian tidak menggunakan pestisida. Bila kita mengikuti petunjuk leluhur, walau sedikit lelah, tanah akan awet. Beragam mahluk hidup akan berkembang biak di dalam tanah untuk proses penyuburan. Lingkungan sehat. Keseimbangan terjaga,” kata Shabela.
Kopi Gayo akan tetap menjadi kopi terbaik dunia. Bila petani di negeri Gayo menyakini bahwa kopi adalah sumber hidupnya, tentunya mereka akan serius mengolah kebunya. Menjaga marwah sebagai kopi terbaik dunia.
Demikian dengan pedagang. Para pengekspor kopi juga jangan “nakal”. Pedagang harus jujur. Bila kopi bukan organik, mereka tidak akan menyebutkan organik. Jangan demi keuntungan disebutkan organik. Tentunya petani yang akan menjadi korban.
Wacana Gayo harus menjadi pusat riset kopi di Indonesia, kiranya bukan hanya sekedar wacana. Bupati “kopi” di negeri Gayo harus serius memperjuangkanya. Mereka harus meyakinkan pihak pusat, bahwa Gayo layak menjadi pusat riset kopi Indonesia.
Bukan hanya karena Gayo memiliki area kopi arabika terluas di Indonesia. Namun Gayo memang pantas mendapatkanya, karena dari bumi dengan panorama alam yang indah berhawa sejuk ini, dunia mencintainya. Di sana ada kopi terbaik dunia. (Bahtiar Gayo/Dialeksis.com)
Mo