Demi Mendapatkan BLT, Pohon Kopi Produktif Ditebang Warga

Saat wabah corona, masyarakat Ponok Ulung secara bersama-sama menebangi tanaman kopi yang masih produktif. Mereka akan menjadikan area perkebunan ini dengan tamanan ketahanan pangan, seperti umbi-umbian.

Setelah menanami umbi-umbian (ketela dan ubi jalar) baru mereka akan mendapatkan BLT dari dana desa. Setiap Kepala Keluarga (KK) harus menanami 1 rante ( 25 kali 25 meter) tanaman ketahanan pangan.

Namun pada prinsipnya masyarakat tidak setuju dengan kebijakan Bupati Bener Meriah, Tgk. Syarkawi yang menjadikan BLT dalam bentuk pengadaan bibit pertanian. Masyarakat menginginkan berupa uang chash, sama seperti daerah lain.

Kepala  kampung di sana ahirnya mengundurkan diri. Dimana sebelumnya, Muspika Kecamatan Banda sudah turun ke kampung ini, untuk menjernihkan situasi. Namun tidak ada titik temu, ahirnya kepala kampung Ponok Ulung, Hasan Abri mengundurkan diri.

Reje kampung tetap dengan aturan yang sudah dikeluarkan Bupati Bener Meriah, tidak  mencairkan bantuan dalam bentuk tunai, namun mereka akan mencairkan dana BLT setelah masyarakat melakukan penanaman jenis ketahanan pangan.

Di lapangan masyarakat beraksi. Panpa melalui musyawarah,  masyarakat melakukan penebangan pohon kopi di area tanah desa (tanah umum) yang mana selama ini perkebunan kopi itu dikelola oleh aparatur kampung.

“Sebenarnya kami malu juga dengan keadaan ini. Namun masyarakat harus melakukanya, karena saat ini semuanya serba susah. Negeri dilanda wabah, semua masyarakat merasakan dampaknya,” sebut Idawati Inen Cici, salah seorang warga di sana, kepada media ini yang turun ke lokasi.

Namun mengapa terjadi insiden, kaum ibu meminta pencairan dalam bentuk tunai, menurut Ida, dikarenakan aparat desa tidak terbuka. Kaum ibu disana merasa malu juga dengan adanya insiden penebangan kopi dan aksi kaum ibu menuntut BLT.

“Kami mendapatkan informasi BLT akan diberikan Rp 500 ribu per KK. Artinya semua masyarakat yang terkena dampak Covid-19 akan mendapatkan dana BLT,” sebut Ida, Minggu (17/5/2020) di tengah hiruk pikuknya masyarakat menebang kopi untuk dijadikan lahan ketahanan pangan.

“Bagaimana kelanjutan dari BLT ini kami tidak tahu lagi, kami butuh penjelasan dalam hal ini. Namun kepala kampungnya sudah mengundurkan diri,” sebut Ida.

Pada Jumat  15/02/2020, Camat Bandar, Drs.  Muktar, melaksankan shalat jumat di Pondok Ulung. Kesempatan itu dipergunakan untuk berdialog oleh masyarakat, apalagi pada saat itu hadir penyuluh pertanian (Sofyan).

Hasil dialog itu, kaum ibu mengambil inisiatif, dana ketahanan pangan itu diganti dalam bentuk yang chash, bukan dalam bentuk bibit, seperti yang diprogramkan Bupati Bener Meriah. Mengapa di daerah lain dalam bentuk uang tunai.

Tidak ada keputusan, ahirnya warga menebang tanaman kopi seluas 4 rante dari dari 14 rante  tanah milik desa setempat. Diarea ini akan ditanami umbi-umbian.

Lahan desa ini menurut warga yang melakukan penebangan kopi, mereka tidak tahu bagaimana hasil dari kebun kopi ini. Pihak aparatur desa tidak terbuka, daripada menjadi persoalan yang panjang, maka lahan kopi itu ditebangi dan ditamani ubi kayu dan rambat.

“Bagaimana kelanjutan BLT, kalau mau jelasnya silakan tanya kepada sekretaris desa. Saya sudah mundur dari reje Pondok Ulung. Hasil pertemuan dengan pihak kecamatan tidak ada titik temu,” sebut Hasan Abri menjawab media ini.

“Bantuan berupa uang sebenarnya akan diberikan bila masyarakat sudah menanami lahan sekitar 1 rante untuk 1 KK dengan tanaman ketahahan pangan. Biaya itu sebagai ganti bibit dan pupuk. Namun masyarakat maunya uang tunia, tidak bisa saya lakukan karena peraturan bupati menyebutkan dalam bentuk bibit,” sebut kepala kampung ini.

Demikian dengan penebangan pohon kopi di tanah milik desa, seharusnya dimusyawarahkan dulu. Namun ini tidak ada musyawarah, namun langsung ditebang. Karena tidak ada titik temu, ahirnya Reje mengundurkan diri.

Masyarakat mempersoalkan lahan penanaman. Kalau harus 1 KK satu rante ditanami ketahanan pangan, areanya dimana? Belum lagi biaya yang dibutuhkan untuk perawatanya dari serangan hama babi. Akan sia sia tanaman itu.

Mayoritas masyarakat Pondok Ulung mengandalkan kebun kopinya sebagai sumber hidup. Namun bila disela tanaman kopi ini ditanami umbi-umbian, tidak akan menghasilkan, selain gangguan hama, juga lokasi perkebunan ada yang  jauh dari pemukiman dan rumah warga.

Hingga berita ini diturunkan belum ada kepastian apakah dana BLT itu akan dicairkan dalam bentuk pengadaan bibit atau berupa uang tunai seperti yang diminta masyarakat.

Warga ini tidak mempersoalkan mereka yang sudah dapat bantuan PKH, BPNT, Bantuan Mensos, namun yang menjadi persoalan mereka yang tidak masuk dalam daftar itu dan akan dimasukan dalam daftar BLT desa.

Mereka meminta bantuanya berbentuk tunai. Bukan dalam bentuk pengadaan bibit. Karena bila bentuk bibit, banyak sekali kendalanya, selain hama, juga sangat susah mendapatkan lahan. Tentunya menjadi beban buat masayarakat.

Persoalan BLT di Pondok Ulung telah memunculkan masalah. Tanaman kopi produktif milik desa sudah ditebangi masyarakat. Bagaimana penyelesaian persoalan ini? Sampai kini media ini belum mendapatkan jawaban. ( Red LG/ Mandala Putra)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.