Oleh Johansyah*
Beberapa hari yang lalu, Menteri Agama Republik Indonesia, Surya Darma Ali, bertempat di Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh mencanangkan Gerakan Masyarakat Maghrib Mengaji (Gemmar Mengaji), sebagaimana diberitakan pada Lintas Gayo, minggu (24/07/11). Sebelumnya hal yang sama juga beliau ungkapkan ketika di membuka sebuah acara di Banten, Serambi (10/05/11).
Himbauan ini sejatinya menjadi perhatian semua pihak, mengingat salah satu persoalan mendasar yang melanda bangsa saat ini adalah dekadensi moral yang ditandai maraknya berbagai aksi kejahatan, merebaknya pornografi serta menjalarnya aliran-aliran sesat yang menjebak mereka yang benteng akidahnya rapuh dan mudah tergoda oleh tawaran-tawaran materi. Sementara mengaji merupakan bagian terpenting dari pembentukan kepribadian muslim.
Harus diakui bahwa lambat laun, sadar atau tidak sadar masyarakat muslim semakin jauh dari kitab sucinya alqur’an. Para orang tua tidak begitu risau lagi ketika anak mereka belum bisa menghafal do’a shalat dan belum bisa mengaji. Budaya mengaji usai magrib terkubur oleh budaya menonton televisi yang menawarkan berbagai program dan alqur’an hanya dipajang sebagai hiasan di lemari. Bahkan yang lebih parah lagi kitab suci ini dibiarkan berdebu di atas meja, sungguh memilukan.
Makanya Gemmar mengaji, penulis anggap sebagai langkah bijak dalam membangkitkan kembali budaya mengaji yang sudah terkubur oleh budaya-budaya lain dan tentunya minim muatan nilai-nilai moral. Apalagi ketika program ini digalakkan di Aceh dapat dikatakan sebuah keniscayaan karena Aceh merupakan wilayah syari’at.
Program Gemmar mengaji selain berupaya membangkitkan budaya lama juga mengajak masyarakat muslim untuk belajar menghargai kitab sucinya. Alqur’an merupakan petunjuk yang tidak diragukan lagi. Anehnya, kadang-kadang orang lebih meyakini undang-undang produk manusia dari pada dalil-dalil dalam alqur’an. Hal ini juga barangkali disebabkan oleh kealpaan umat ini untuk bersentuhan dengan kitab suci alqur’an.
Mengaji dalam asumsi kebanyakan masyarakat muslim saat ini merupakan kegiatan yang nihil dan secara tak sadar menggantinya dengan kegiatan berbasis teknologi yang beragam dan akhirnya membuat jarak dengan alqur’an. Dulu barangkali anak-anak tidak terusik dengan media televisi maupun handphone (hp) yang menawarkan berbagai siaran dan program. Adapun sekarang, televisi, hp dan internet dengan berbagai programnya secara tidak langsung melalaikan anak-anak bahkan tidak sedikit orang tua yang ikut larut dalam program tersebut, lebih-lebih sinetron dengan berbagai alur cerita yang cinta menggugah.
Kenyataan ini lantas tidak membuat kita harus menyalahkan teknologi dan menjadikannya kambing hitam dari persoalan yang dihadapi umat saat ini. Sebab teknologi sendiri sebenarnya diciptakan untuk kebutuhan manusia. Yang pasti, para pengguna teknologi tidak menggunakannya sesuai kebutuhan. Minsalnya televisi yang pada hakikatnya dapat dijadikan sumber informasi terkait isu-isu dalam maupun luar negeri atau dijadikan media belajar. Pada kenyataannya televisi saat ini lebih banyak dimanfaatkan untuk mengonsumsi sinetron dan kabar selebriti.
Pembinaan Karakter Qur’ani
Hemat penulis, Gemmar mengaji merupakan media dalam membentuk karakter anak, sebab dalam mengaji terjadi interaksi belajar mengajar antara orang tua dan anak. Mengaji mungkin dianggap kegiatan sederhana, lebih dari itu dalam kegiatan ini berbagai nilai kebaikan dapat ditransformasikan kepada anak. Minsalnya, sebelum mengaji anak dianjurkan berwudhu’ terlebih dahulu karena berbarengan dengan shalat maghrib sehingga anak terlatih untuk bersih secara lahir dan batin. Selain itu dalam mengaji anak-anak dianjurkan untuk tertib.
Demikian juga, biasanya sebelum atau sesudah mengaji, banyak sedikitnya terjadi dialog agama, misalnya anak menanyakan mengapa kita harus shalat dan mengaji, mengapa mengaji harus berwudhu, atau meluas kepada masalah lain seperti tauhid, ibadah dan masalah-masalah agama lainnya. Pada saat seperti inilah kesempatan orang tua mentransformasikan nilai-nilai qur’ani kepada anak sehingga dapat melekat dan menyatu dalam jiwanya.
Hal yang lebih penting diingat adalah ketika anak mampu membaca alqur’an, maka dia tidak akan merasa asing dengan kitab sucinya tersebut karena sudah diperkenalkan dan menjadi rutinitasnya, apalagi kemudian didukung oleh penguasaan bahasa Arab. Barangkali sama ketika seseorang menguasai bahasa Inggris maka dia tidak akan alergi dengan teks bahasa Inggris atau berbicara dengan bule yang menghampirinya. Dalam pribahasa juga sering kita sebut “tak kenal maka tak sayang”. Kiranya begitulah gambarannya ketika alqur’an kita perkenalkan kepada anak maka dia tidak akan merasa asing dengannya.
Nah, bukankah semua proses tersebut merupakan upaya pembentukan karakter?. Jadi, sebenarnya sebagai umat muslim kita tidak perlu bingung mencari formulasi dan materi pendidikan karakter yang lagi digalakkan saat ini sebab semuanya telah diarahkan oleh alqur’an dan sunnah. Tinggal keseriusan kita mempedomani sumber petunjuk ini.
Peran Keluarga
Untuk menggalakkan program Gemmar mengaji, keseriusan dan perhatian orang tua merupakan hal yang mutlak. Mereka bertanggung jawab dalam memberikan dasar-dasar pendidikan kepada anak-anaknya termasuk mengajarkan alqur’an. Ini artinya orang tua harus memiliki kemampuan membaca alqur’an yang memadai.
Hal ini kadang-kadang menjadi masalah di mana sebagian orang tua tidak mampu membaca alqur’an atau hanya sekedar mengenal huruf-huruf hijaiyah. Orang tua seperti ini kadang-kadang tidak memiliki perhatian besar kepada anak mereka dalam mengajarkan alqur’an. Di sisi lain ada juga sebagiannya memilih untuk menyerahkan anak mereka ke tempat-tempat pengajian yang ada di sekitar tempat tinggalnya.
Apapun ceritanya, yang jelas peran orang tua untuk mengajarkan anak mengaji secara langsung jauh lebih baik dan efektif dari pada diserahkan kepada orang lain. Sebab secara psikologis keterikatan emosional akan terbentuk sedemikian rupa antara mereka. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap perilaku, kebiasaan anak sekaligus membentuk karakter mereka.
Perlu diingat bahwa habituasi (pembiasaan) dengan kegiatan-kegiatan baik serta ketauladanan orang tua memiliki peran besar dalam membentuk karakter anak. Dia ibarat fondasi kokoh yang sulit diruntuhkan. Sadarkah kita bahwa pekerjaan para tokoh pembaruan yang sulit bukanlah menemukan ide-ide pembaruan akan tetapi mendekonstruksi budaya baruk yang sudah terbangun secara kolektif. Artinya ketika budaya dan kebiasaan tersebut dibangun berdasarkan nilai-nilai kebaikan, maka dia akan tumbuh menjadi budaya baik yang kokoh dan mampu bertahan walaupun diterpa berbagai godaan dan hasutan.
Untuk itu, Gemmar mengaji merupakan salah satu media pembentukan karakter atau membentuk kepribadian qur’ani di tengah dekadensi moral yang melanda seluruh komponen bangsa ini, baik pada tatanan struktural maupun kultural. Bolehlah mengaji dianggap kegiatan yang ketinggalan zaman, namun penulis yakin lambat laun suatu saat kita akan membutuhkan dan merindukannya.
*Alumni MIN 1 Kebayakan Tahun 1991