Jakarta | Lintasgayo.com – Koleksi karangan ceh didong di Perpustakaan Gayo bertambah, setelah diterimanya buku “Lagu Didong Ciptaan Sali Gobal.” “Alhamdulillah, sudah diterima kemarin. Tiga hari yang lalu dikirim dari Binjai, oleh putra alm. Sali Gobal, Pak Binta Maela,” kata Yusradi Usman al-Gayoni, Ketua Perpustakaan Gayo, Senin (3/10/2022).
Dijelaskan Yusradi, didong merupakan salah satu dari sebelas sastra lisan yang ada di Dataran Tinggi Gayo, Provinsi Aceh. Sali Gobal sendiri, sambungnya, merupakan ceh legendaris dari Kelop Kemara Bujang, asal Kung Pegasing. Kelop Kemara Bujang berdiri tahun 1940-an.
“Buku “Lagu Didong Ciptaan Sali Gobal” disusun Abduli, Sukri S, Pependy S, Riansa Ariefa, S.Pd., dan Binta Maela, S.Pd. berisi 120 karangan Sali Gobal, ada 211 halaman, ukuran A4. Perkiraan saya, masih banyak yang belum terkumpul. Sebab, terutama saat didong jalu, banyak karya yang lahir spontan di atas panggung, tidak tertulis, dan tidak direkam karena belum adanya sarana perekaman ketika itu,” sebut Yusradi.
Karenanya, sambung Ketua Pusat Kajian Kebudayaan itu, pengumpulan dan pembukuan tersebut patut diapresiasi. “Alhamdulillah, sudah dikumpulkan anak-anak almarhum dan sudah disusun secara alfabetis. Tahun 2014, pernah saya sarankan ke dua anak almarhum, di Tan Saril dan Kute Panang. Tinggal, bagaimana naskah ini bisa diterbitkan nantinya,” tutur Yusradi.
Karya-karya Sali Gobal, ungkap Direktur Mahara Publishing tersebut, sangat puitis, mengandung nilai sastra yang tinggi, penuh perumpamaan (metafora, simbolik, semiotika), mengandung nilai-nilai filsafat, dan filsafat bahasa. Di antara karya Sali Gobal yang populer, bahkan sampai sekarang, seperti Kemara (1954), Jejari (1959), Roda (1959), Ate Sana (1960), Didong (1960), Sange (1960), Uten (1860), Lungun (1964), dan masih banyak lagi. “Isinya mengisahkan perjalanan hidup Sali Gobal sendiri, flora, fauna, menggambarkan keindahan dan kekayaan alam Gayo, panjangnya sejarah Gayo, kayanya seni, bahasa, dan budaya Gayo, bahkan sampai menyinggung isu-isu kebangsaan seperti Pancasila (1967), Orde Baru (1971), serta persoalan keumatan seperti yang terdapat dalam didong “Umet Islam” (1971).
Menurut Yusradi, pengumpulan dan pendokumentasian didong dan sastra lisan Gayo lainnya perlu dimaksimalkan. “Supaya terdokumentasi dengan baik. Kemudian, bisa mendorong penelitian, penulisan, dan publikasi terkait pada masa-masa mendatang. Akibatnya, pewarisan pengetahuan kegayoan kepada generasi milenial, generasi Z, dan generasi post Z bisa berjalan dengan baik,” tegas Yusradi.
Perpustakaan Gayo didirikan Yusradi sejak tahun 2002 saat masih S-1 di Universitas Sumatera Utara (USU). Saat ini, Perpustakaan Gayo mengoleksi buku-buku Gayo terlengkap se-Indonesia dan membantu pemustaka, peneliti, akademisi, widyaiswara, penulis, dan jurnalis dari dalam dan luar negeri yang meneliti dan menulis tentang Gayo.
Comments are closed.