Oleh Nabila Ulamy Alya’ *
Sebelumnya, saya ingin berterima kasih kepada situs berita lovegayo.com yang telah memuat berita tentang novel pertama saya. Juga terimakasih atas komentar-komentar pembaca. Dan tulisanku ini dibuat atas permintaan Pimred lovegayo.com juga.
Adikku Belajar Berjalan
Sudah dua hari ini adikku Inayah belajar berjalan. Setiap pagi ia minta pakai sepatu dan merengek minta keluar rumah. Ia minta berjalan ditatah Ama. Kalau tidak ada Ama, biasanya dengan ayuk nova atau Ine. Aku juga ikut kalau sedang berjalan, adikku pasti riang dan tertawa. Sekarang ia sudah bisa berjalan sendiri sampai empat meter. Tapi kalau sudah capek ia kembali merangkak. (Bengkulu, Minggu, 5-6-2005).
———
Oke, saya akan memulai bercerita.
Cerpen “Adikku Belajar Berjalan” di atas adalah tulisan pertama saya yang saya tulis sewaktu kelas 1 SD di Bengkulu. Ama terkejut melihat tulisan tersebut. Untuk ukuran kelas 1 SD, mungkin ini sudah lumayan kan?
Awalnya saya senang menulis sejak diberikan hukuman oleh Ama. Misalnya, saya membuat adik menangis, maka saya dihukum harus menuliskan kegiatan saya dari pagi sampai malam. Karena (kata Ama) waktu kecil saya agak nakal, sering dihukum, akibatnya terkumpullah beberapa tulisan dari hukuman itu. Ketika tulisan itu saya baca lagi, kok asyik ya dan itu ternyata membuat saya ketagihan! Bukan ketagihan dihukum lho tapi ketagihan menulis! Lalu saya menulis di diary, binder, dan kadang mengetiknya di komputer sampai akhirnya terkumpul sekitar 20-an tulisan. Masih belum sempurna dan sangat singkat. Biasa kan, anak-anak.
Ama melihat bakat saya ini sewaktu saya mengetik di komputernya. Tulisan-tulisan yang masih belum sempurna kemudian lahir, misalnya puisi, catatan harian, dan cerita tentang binatang. Sejak itulah Ama mulai mengarahkan saya untuk selalu menulis. Ama melatih saya menggunakan bahasa Indonesia yang indah dan kaya. Misalnya, kata “terus” yang banyak sekali dalam karya saya diarahkan untuk diganti dengan sinonimnya, misalnya “selanjutnya,” “lalu,” “kemudian,” “setelah itu.” Memang menjadi lebih enak membacanya.
Ketika Ama pindah ke Banda Aceh tahun 2008, saya bertemu Ama Kul, Prof. Dr. Al Yasa’Abubakar. Ia memberi hadiah kepada saya buku KKPK (Kecil-kecil Punya Karya) berjudul Two of Me karya Sri Izzati. Kata Ama Kul, penulisnya buku itu anak-anak seperti saya. Setelah itu Ama membelikan buku yang ditulis anak-anak juga, namanya Eva Maria Putri Salsabila, berjudul Anak Penangkap Hantu. Wah, saya jadi panas nih! Sejak itulah saya bersemangat untuk menjadi penulis seperti penulis-penulis buku tersebut. Saya mulai menulis novel yang tidak terlalu bagus pada saat saya kelas empat SD (SDIT Nurul Ishlah Beurawe Banda Aceh) dan baru betul-betul selesai saat sudah di kelas lima. Memang agak lama sih.
Di kelas lima, Ama menampakkan kumpulan cerpen saya kepada Bu Yen (Kepala Sekolah). Lalu Bu Yen memberikannya kepada Bu Cut Januarita, dari Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Aceh. Dan mulailah kerjasama. Naskah novel pertama yang saya buat sewaktu kelas empat SD pun saya berikan agar dibaca. Beliau pun menganjurkan saya agar mengirimnya ke penerbit. Akhirnya saya kirim dan tinggal menunggu hasilnya. Setahun menunggu nggak juga terbit. Sudah hampir putus asa. Kata Ama, tidak boleh putus asa. “Kalau penerbit tidak mau mencetak, kita cetak sendiri,” katanya. Pokoknya harus tetap menulis!
Suatu hari, muncul ide menulis lagi setelah menonton film Harry Potter, Saya lalu menulis novel berjudul I Can Fly bercerita tentang seorang anak yang ingin menjadi peri. Setelah itu selesai, saya dapat ide baru lagi dan setelah berdiskusi panjang dengan Ama, lahirlah novel Kupu-kupu Misterius yang saya selesaikan dalam waktu 10 hari. Itu karena Ama menjanjikan akan membelikan saya empat novel kalau mampu menyelesaikan novel itu dalam waktu 15 hari. Karena Ama kalah, ia harus membeli lima novel. Ah senangnya. Akhirnya novel ke-3 pun selesai. Novel ini bercerita tentang seorang anak korban tsunami yang menjadi kupu-kupu lalu berkomunikasi dengan kakaknya menggunakan kode morse di daun bunga. Saya dibantu oleh halaman rumah kami yang memang banyak ditanami bunga oleh Ine. Ia memang hobiis bunga!
Tentang novel keempat, awalnya Ama mengajak kami melihat kapal PLTD Apung di Keudah, lalu kuburan massal Ulee Lheue, dan terakhir Perumahan Tiongkok alias perumahan Jackie Chan. Ama bercerita banyak soal kapal, kuburan massal, dan perumahan-perumahan bantuan itu. Menakjubkan… Menyedihkan… Luar Biasa… Banyak ide melintas di kepalaku. Lalu kutulis novel Tawa An Nisa yang berlatar belakang tsunami Aceh.
Disela-sela waktu, saya juga sering menulis cerpen. Cerpen itu pun saya gabungkan dan menjadi sebuah kumcer (kumpulan cerpen). Jadilah itu sebagai buku kelimaku. Kubuat judulnya Pelangi di Musim Kemarau. Buku kedua sampai kelima semuanya saya selesaikan saat kelas enam dan sudah dikirim ke penerbit yang sama dengan naskah pertama, yaitu Dar!Mizan Bandung.
Ramadhan tahun ini, saya merampungkan menulis naskah ke 6, yang kuangkat dari kisah nyata tentang beberapa kelompok persahabatan yang sering bertengkar di sekolahku. Ketika novel keenam ini sedang ditulis, novel pertamaku terbit. Itulah The Happy Party (Dar!Mizan, Bandung, Juni 2011). Jadi, baru terbit setelah saya duduk di bangku tsanawiyah Pesantren Tgk. Chik Oemar Diyan. 2 years later… lah.
Semangatku makin menggebu-gebu karena bukuku ternyata beredar di seluruh Indonesia dan laku lho (hehehe). Naskah ke-6 selesai, saya bergegas menulis naskah ke-7, judulnya Lost In The Mirror. Idenya berasal dari Ama ( Ama memang sering punya ide brillian tapi nggak mampu menuliskannya karena katanya ia nggak tahu bahasa dan logika anak-anak). Saya dan Ama lalu diskusi, bagaimana ceritanya, awalnya gimana, tengah dan akhirnya. Sulit juga sih. Sampai saya marah-marah waktu disuruh perbaiki. Hihihi… tapi akhirnya selesai juga. Dan dikirim ke penerbit yang berbeda dengan keenam naskah sebelumnya, yaitu ke Lingkar Pena Publishing House, Jakarta. Mudah-mudahan bisa terbit juga.
Semua naskah yang saya tulis tidak berjalan dengan mulus begitu saja. Tapi banyak kejengkelan. Saya sering jengkel dengan Ama karena sering disuruh perbaiki naskah. Tapi, walaupun dengan rasa berat, saya pun memperbaikinya. Rasa jengkel pun hilang setelah novel selesai. Karena, biasanya jika novel selesai, saya diajak pergi ke toko buku. Yeey… dapat hadiah novel lagi deh… Alhamdulillah…
Kata Ama dan Bu Cut Januarita, resep untuk jadi penulis besar adalah terus menulis dan menulis. Setiap hari harus menulis walaupun hanya satu halaman. Saat sudah di pesantren, saya agak kesulitan untuk menulis karena nggak punya waktu lagi. Belajarnya sangat ketat, sering sampai malam. Jangankan menulis, mandi dan makan pun kadang-kadang nggak sempat. Lagi pula nggak boleh ada hp, laptop, dan peralatan elektronik. Jadi, saya menulis waktu akan tidur saja dan menulisnya di diary. Isinya biasanya tentang kejadian-kejadian hari itu. Mudah-mudahan, diary itu suatu saat bisa menjadi sebuah novel juga seperti novel A. Fuadi berjudul Negeri Lima Menara yang bercerita tentang Pesantren Gontor.
Sekian cerita saya. Mudah-mudahan bermanfaat. Dan, saya mohon do’a dari semuanya, agar Saya dapat terus menulis dan dapat melahirkan karya-karya yang lebih bagus. Amiin…
——-
* Siswi/santri Kelas 1 Tsanawiyah Pesantren Tgk. Chik Oemar Diyan, Indrapuri Aceh Besar
Link terkait http://www.lovegayo.com/9610/ini-dia-penulis-termuda-aceh-berdarah-asli-gayo.html#comment-2613
Tetap semangat,lanjutkan cita-citamu…teruslah berkarya…:-)
dari judul novelnya aja sudah bagus yang membuat penasaran untuk mebacanya. pasti isi novelnya pun bagus