Nikah “Munik” (Legalitas Pelanggaran Hukum Tuhan)

 

Oleh Drs. Jamhuri, MA[i]

Banyak upaya yang dilakukan masyarakat dalam mewujudkan terjadinya pernikahan, diantara langkah tersebut adalah mahtabak, ini biasa dilakukan oleh kaum laki-laki yang tidak mendapat persetujuan pernikahan dari orang tua (keluarga) pihak perempuan. Namun juga sebaliknya kaum perempuan mempunyai cara yang diakui dalam adat utamanya adat Gayo untuk mendapatkan haknya menikah dengan laki-laki yang dikehendakinya, boleh jadi karena ketidaksetujuan keluarga pihak laki-laki atau juga karena ketidak bersediaan laki-laki tersebut mempersunting si perempuan. Istilah untuk hak perempuan ini disebut dengan munik.

Cara pernikahan Mahtabak kendati masih diakui keberadaannya dalam adat, tapi pelaksanaannya tidak pernah terdengar lagi. Apakah akibat kemajuan zaman sehingga hilangnya sebagian adat dan budaya dari suatu masyarakat , atau ada bentuk lain yang menggantikannya ? mungkin ini memerlukan kajian khusus tentang kebertahanan adat dan budaya dari kemajuan dan perkembangan zaman.

Munik berbeda dengan mahtabak, kendati keduanya adalah upaya luar biasa atau penyimpangan dari kebiasaan adat perkawinan. Perbedaan Munik dengan mahtabak juga pada ketidaksetujuan orang tua, ketidaksetujuan pada mahtabak hanya dari pihak keluarga perempuan, tapi ketidaksetujuan pada munik bisa dari keluarga pihak laki-laki dan juga pihak keluarga (wali) perempuan.

Untuk istilah munik dalam  perlakuan masyarakat saat ini sangat jauh bergeser dari prinsip dasar dan condong kepada legalisasi pelanggaran hukum Tuhan. Pelanggaran ini terjadi tidak hanya oleh si pelaku “perkawinan munik” tetapi juga melibatkan orang tua kedua belah pihak, pimpinan kampung, pimpinan agama dan seluruh komponen masyarakat dimana pelaksanaan perkawinan itu dilaksanakan. 

Fenomena perkawinan masyarakat yang belum siap menghadapi kemajuan tekhnologi saat ini, menjadikan perkawinan munik sebagai sarana pembentukan rumah tangga.  Kendati sebab yang mewujudkan perkawinan tersebut telah jauh bergeser dari prinsip awalnya. Diantara Penyebabnya saat ini banyak  diawali dengan pelanggaran hukum Tuhan yakni “Zina” (Gayo : Kedepeten).

Data ini didapat dari diskusi pada hari jum’at (23/09) dengan para kepala KUA yang berasal sebagian Kabupaten/Kota di Aceh, mereka menggambarkan keadaan perilaku masyarakat yang mereka hadapi dan tangani. Namun ketika mereka ditanyakan tentang upaya mengatasi perilaku tidak baik seperti ini, mereka menjawab tidak cukup tersedia  payung hukum untuk prilaku masyarakat seperti itu dan mereka mengharap keterlibatan semua pihak untuk mencari solusinya. 

Prilaku yang menyimpang dan berakhhir dengan kawin munik adalah sebagai akibat dari perbuatan mereka melanggar hukum Tuhan, boleh jadi pelanggaran yang dikerjakan karena ketidak tahuan. Dan kalau ini merupakan ketidak tahuan maka setelah mereka tahu, mereka akan merasa bersalah kepada Tuhan dan bertaubat atas kesalahan yang dilakukan, namun indikasi kearah ini hampir tidak terlihat. Artinya perbuatan baik menurut agama yang mereka lakukan setelah menikah tidak lebih baik dari sebelum menikah, sehingga kasus seperti ini menjadi trend dan biasa dalam masyarakat.

Tahun 70-an dalam masyarakat Gayo ditemukan pernikahan yang diakibatkan pelanggaran hukum Tuhan “Zina” (kedepeten), namun hukuman terhadap mereka yang melakukan perbuatan seperti ini jelas, yakni tidak diakui sebagai anak oleh orang tuanya. Dan aqad nikah yang dilangsungkan tidak oleh wali (ayah) si perempuan tetapi dengan wali wakil (kendati masih dengan wali nasab). Hukuman langsung dari orang tua sekarang ini hampir tidak ada lagi, apakah karena orang tua menyadari bahwa perlakuan anak seperti ini akibat dari lemahnya control mereka, atau karena lemahnya pendidikan agama yang mereka berikan, atau juga perubahan wujud kasih sayang dari orang tua kepada anaknya sudah jauh bergeser.

Pada tahun yang sama kita masih melihat berlakunya “sumang pelangkahan”, pemuda dan pemudi sangat merasa takut kepada masyarakat ketika ketahuan berjalan dengan orang yang bukan “peserinen atau dengan” (keluarga) mereka, tetapi sekarang kepedulian masyarakat terhadap perilaku yang melanggar hukum Tuhan ini seolah merupakan keizinan-Nya.

Informasi dari seorang anggota masyarakat (YB) yang rumahnya berdekatan dengan lintasan objek wisata mengatakan, ketika masyarakat suatu kampung melarang muda-mudi berboncengan dengan cara yang berasyik ma’syuk, maka orang tuanya akan datang dan mengatakan anak dia hanya berjalan-jalan dan tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum Tuhan.

Ketika terdengar ketelinga tokoh masyarakat dan tokoh agama, bahwa anak si pulan munik respon pernikahan seperti itu merupakan kejadian yang lumrah dan biasa terlihat dari raut muka mereka, dan tidak pernah terdengar ungkapan “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”. Apakah ini wujud dari kepsimisan ulama dalam melihat penegakan hukum Tuhan dalam perilaku masyarakat modern, atau juga ketidak sanggupan mengatasi perilaku warga yang tidak cukup payung hukum dalam masyarakat.

Anggota masyarakat secara keseluruhan juga terdiam dan tidak merasa suatu pelanggaran hukum Tuhan telah terjadi, mereka menyiapkan apa saja yang berhubungan dengan acara pesta pernikahan sebagaimana layaknya pernikahan yang tidak diawali dengan pelanggaran hukum, dan ketika pernikahan itu selesai mereka memperlakukan sama dengan masyarakat yang baik, karena memang tidak jelas lagi batasan antara yang baik dengan yang tidak baik pada saat sekarang ini.

Pemerintah dan pimpinan tingkat kampung membiarkan hal ini berlangsung lama yang tidak tahu kapan berakhirnya, adat yang menjadi pagar agama hilang dari masyarakat seolah tidak ada bekas dan tidak bermanfaat. Lalu pertanyaan bisa kita ajukan, kapan ini akan berakhir ? Apakah hukum Tuhan itu selesai dengan kesepakatan dan persetujuan semua orang  ?.

Penyebab dari kasus munik karena pelanggaran hukum Tuhan, berakibat juga pada pelanggaran hukum Negara. Karena banyak yang melanggar masih berusia di bawah umur menurut Negara dan telah baligh menurut agama, sehingga pemalsuan usia untuk dapat melangsungkan perkawinan di manipulasi dengan melibatkan perangkat kampung. 



[i] Dosen pada Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.


Deprecated: str_replace(): Passing null to parameter #3 ($subject) of type array|string is deprecated in /home/wxiegknl/public_html/wp-content/plugins/newkarma-core/lib/relatedpost.php on line 627

News