“Tak banyak bilangan Urang Gayo yang menekuni seni lukis bahkan akhir-akhir ini hampir tak ada lagi terdengar ada Urang Gayo menggelar pameran lukisan. Mungkin dia generasi terakhir, setidaknya diera tahun 2000 – 2007, Muhammad Nasir Alirgo”
—–
Dalam perjalanan pulang ke Takengon setelah menghadiri undangan pesta perkawinan adik dari salah seorang pendiri situs berita Lintas Gayo, Rahmatan Nurul Azmi di Pante Raya Kabupaten Bener Meriah, Selasa (12/10/2011) tanpa rencana kami mampir di sebuah café disisi kiri pungung bukit Singah Mata.
Perhatian kami langsung tertuju ke selembar spanduk yang dipenuhi foto lukisan manusia dan budaya Gayo. “Menerima pesanan lukisan/repro : Foto, Pemandangan dan lain-lain” demikian sederet kata ditulis diposisi teratas diantara foto lukisan tersebut.
Kebetulan seorang rekan, Novaldin sedang berada di lokasi berhadapan dengan café tersebut, Saya, Munawardi, Wen Rahman dan Iwan Masri menyebarangi jalan Takengon – Bireuen tersebut, mampir dan bertegur sapa dengan Novaldin dan sejumlah orang yang ada ditempat tersebut.
“Siapa yang mengelola café tersebut bang”, saya bertanya kepada Novaldin. “O dia itu pelukis dan pegiat LSM lingkungan di sini,” jawab sosok setengah baya pengusaha cafe di Banda Aceh dan Takengon dengan menu utama Burger ini.
Naluri atau instink jurnalistik segera bekerja. Saya mengajak rekan-rekan untuk mampir untuk sekedar ngopi dan bila beruntung bisa mengggali informasi dari pemilik foto lukisan tersebut yang belakangan saya ketahui namanya Muhammad Nasir Alirgo.
Seorang perempuan mempersilahkan kami masuk yang teryata istri Alirgo bernama Kasmawati. Saya lalu bertanya apakah bisa berkenalan dengan pemilik café tersebut. Sejenak kemudian ibu 3 orang anak yang masing-masing bernama Ken Ine Simehate (Kelas VI SD), Rike Rezeki Mahara (kelas II MIN) dan Rahima Sara Pane (TK) itu beranjak kebelakang rumah dan beberapa saat kemudian muncul bersama sesosok bertubuh agak gempal berkain sarung. Kami bersalaman dan saya langsung meminta kesediaannya untuk diwawancarai.
Dia ternyata tidak keberatan dan memulai ceritanya dan mengajak kami melihat dia mengerjakan 2 (dua) pesanan lukisan dari salah seorang pejabat di Pemerintah Kabupaten Bener Meriah.
“Kedua lukisan ini saya buat dengan biaya Rp.9 juta,” kata Alirgo yang mengaku telah melukis sekitar 250 karya lukisan ini. Dia kemudian memberikan sebuah dokumen yang berisi sederetan pameran dan kegiatan yang berkaitan dengan lukisan sepanjang tahun 1990 hingga 2007.
Puncak kejayaan Alirgo nampaknya terjadi pada tahun 2004. Tercatat dia membuka studio lukisan di Muntilan Magelang dan yang paling fantastis ditahun tersebut dia mendapat orderan dari orang Belanda bernama Sajaco. Tak tanggung-tanggung, 30 lukisan diminta dibuat Alirgo dengan nilai Rp.90 juta.
Di Tahun 2006, Alirgo kembali membuka Galery yang bertempat di Magelang. Dan dikota tersebut Alirgo dipandang pelukis kelas Kakap. Buktinya, di tahun 2007 dia diminta menjadi dewan juri even lomba lukis se-Kabupaten Magelang.
Hingga saat ini, gallery milik Alirgo masih eksis di kota tersebut. Disana dipajang ratusan lukisan karya Alirgo yang dipercayakan kepada anggota keluarga disana untuk mengelolanya. Cari saja “Singah Mata Arts Galleri Mantenan Mertoyudan 03/01 Magelang.
Muhammad Nasir Alirgo, pria kelahiran Ulu Nowih Jamur Laya Kabupaten Aceh Tengah pada 3 Nopember 1969 silam bisa disebut sebagai salah seorang generasi terakhir pelukis berkelas nasional berdarah Gayo.
Sejak kecil sudah suka dan mulai melukis secara otodidak. Setelah menamatkan Sekolah Menengah Atas (SMA) tahun 1990, ia menekuni dunia seni lukis dengan bimbingan Thomas Tarigan di sanggar Seni Lukis Patimura.
Dia tidak bisa lagi keluar dari dunia lukis dan memutuskan merantau ke Jakarta dan berguru pada Kidro hingga mengantarkannya mengikuti sejumlah pameran lukisan di sejumlah tempat yang diawali dengan keikutsertaannya pada pameran pembangunan tahun 1992. Lukisannya dipajang di stand perindustrian.
Tiga tahun berikutnya, 1995, pengagum Affandi ini mulai menantang hidup di perantauan. Dia bekerja dikantor Pemerintahan Wali Kota Depok hingga tahun 2000. Ditahun 1996 membuat kalender tahun 1997 bertajuk “Pesona Alam Budaya Gayo” dan ditahun yang sama mendirikan Ikatan Pelukis Muda Budaya Gayo (Ipembuga).
Periode berikutnya, dia mengikuti sejumlah even yang berkaitan dengan seni lukis disejumlah tempat di Jawa berupa pameran dan even lain diantaranya :
Tahun | Pameran Lukisan |
– 1998 : |
|
– 1999 : |
|
– 2000 : |
|
– 2001 : |
|
– 2002 : |
|
– 2003 : |
|
– 2004 : |
|
– 2005 : |
|
– 2006 : |
|
– 2007 : |
|
Menurut LK Ara yang dikuatkan Fikar W Eda, ada sejumlah pelukis asal Gayo yang sempat eksis diantaranya (alm) Kidro, (alm) Chairul Bahri yang sempat mendalami ilmu membuat patung hingga ke Italia. Di Yogyakarta ada (alm) Yuski Hakim.
Sementara di Takengon ada (alm) Thomas Tarigan dan Ali Balwi. Di Banda Aceh ada Saleh Kasim dan di Jakarta ada Permadi Liosta yang dalam sejarahnya sebagai seniman lukis sempat menggelar pameran hingga ke Perancis dan Italia.
Sementara pelukis yang tergolong muda, selain Alirgo ada Kassah Hakim, Julihan Darussalam dan yang termuda Irwansyah yang berstatus masih membujang dan sebagai guru PNS di SMAN 4 Takengon. (Khalisuddin)