Oleh Johansyah*
Di antara persoalan sosial Indonesia yang sulit dicari solusinya saat ini adalah tingginya angka pengangguran dan minimnya lapangan kerja, sehingga banyak yang memilih jadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri biarpun hanya menjadi pembantu rumah tangga. Bahkan pencarian lapangan pekerjaan bagi kalangan sarjana pun justru masih tertumpu pada poros Pegawai Negeri Sipil (PNS), seakan-akan dunia pendidikan Indonesia disetting hanya mencetak para lulusan untuk menjadi PNS. Dalam konteks sosial seseorang baru dianggap berhasil dan tidak menganggur jika telah diangkat menjadi PNS.
Pola pikir seperti ini tentunya tidak akan pernah menjadi solusi cerdas dalam mengatasi pengangguran dan minimnya lapangan kerja, sebab absurd bagi pemerintah untuk dapat mengangkat semua lulusan menjadi PNS. Hemat penulis, salah satu alternatif untuk mengatasi problem sosial ini adalah dengan mengembangkan pendidikan kejuruan yang lebih banyak di Indonesia.
Pendidikan kejuruan layak diperhitungkan karena beberapa hal (sumber: http://smk7 ambon.forumotion. com/t73- keunggulan- smk), yaitu; Pertama, memiliki kurikulum yang fleksibel sesuai perkembangan jaman dan kebutuhan pasar. Kedua, meningkatkan kepercayaan diri siswa ketika lulus karena sudah terbiasa bekerja, baik melalui praktik di sekolah maupun praktik kerja industri. Ketiga, tamatannya diminati perusahaan karena sudah memiliki keterampilan yang memadai. Keempat, memberikan pengalaman kerja sehingga lulusan siap untuk membuka lapangan usaha baru. Kelima, membekali siswa dengan cukup teori sehingga ketika lulus tetap bisa mengembankan ilmu di pendidikan yang lebih tinggi.
Selain itu, hemat penulis ada beberapa alasan substansial mengapa pendidikan kejuruan layak dikembangkan; pertama, bahwa kejuruan tidak menuntut banyak teori dan konsep yang beragam tetapi yang dibutuhkan adalah pelibatan langsung anak didik secara praktis dalam mengeksprimen sebuah teori maupun mengembangkan keterampilannya. Kedua, penulis melihat bahwa kejuruan sebenarnya lebih mengedepankan kemauan, bakat dan minat siswa. Sementara pendidikan umum cenderung mengikuti kemauan pemerintah. Kita yakin bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang berorientasi kepada bakat dan minat anak didik.
Ketiga, bahwa kejuruan dapat menjadi penopang hidup ketika para tamatannya tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi, baik karena alasan kemampuan intelektual yang rendah maupun karena kondisi ekonomi yang lemah. Keempat, para lulusan kejuruan cenderung mampu mencari dan bahkan menciptakan lapangan pekerjaan. Hal ini berbeda sekali dengan pendidikan umum yang lantaran minim keterampilan, jangankan menciptakan, mendapatkan lapangan pekerjaan pun sangat sulit. Memang tidak semuanya demikian, namun secara umum hal tersebut harus kita akui sekiranya merujuk kepada realitas yang ada dalam masyarakat saat ini.
Kelima, bahwa dengan kejuruan, angka pengangguran yang tinggi di Indonesia sudah tentu dapat ditekan dan orientasi untuk menjadi PNS juga bisa dikendalikan. Lebih dari itu, kondisi ini tentunya akan membuat keadaan ekonomi masyarakat Indonesia terutama pada golongan menengah ke bawah menjadi lebih baik.
Mungkin kita bisa melihat beberapa negara Asia yang memang cenderung lebih mengembangkan pendidikan kejuruan dari pada pendidikan umum semisal China, Korea, Jepang dan beberapa negara lainnya. Hal ini terbukti di mana dalam bidang teknologi mereka diperhitungkan. Bahkan jika kita mengecek produk-produk teknologi yang digunakan di rumah tangga, alat komunikasi, transportasi dan lain sebagainya semua didominasi oleh produk negara-negara dimaksud.
Hal ini merupakan bukti bahwa pendidikan kejuruan begitu berperan dalam membangun kemajuan sebuah negara dengan menciptakan beragam lapangan pekerjaan dan jelas mampu menekan angka pengangguran. Dari itu, kiranya tidak ada alasan bagi kita untuk mengatakan bahwa model pendidikan kejuruan tidak layak untuk dikembangkan.
Mengembangkan sekolah kejuruan
Pendidikan kejuruan adalah bagian dari sistem pendidikan yang mempersiapkan orang agar lebih mampu bekerja pada suatu kelompok pekerjaan atau satu bidang pekerjaan dari pada bidang pekerjaan lainnya (Rupert Evans: 1978). Secara sederhana, pendidikan kejuruan yang penulis maksud adalah model pendidikan yang memang mengajarkan dan mengembang ilmu-ilmu praktis yang dapat menunjang kehidupan seseorang tanpa harus memperoleh predikat sarjana. Sebuah pendidikan yang mengembangkan bakat, kecakapan hidup serta keterampilan yang secara ekonomi dapat menghasilkan materi.
Pada tahun 2009, jumlah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Indonesia, baik yang negeri maupun swasta mencapai 9161 sekolah. Khususnya di Aceh, sekolah kejuruan hanya 131 sekolah (sumber: http://datapokok. ditpsmk.net/?aksi=1). Jumlah ini masih sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah Sekolah Menengah Atas (SMA) di Indonesia yang mencapai 10.239 sekolah, dan di Aceh berjumlah 345 sekolah (sumber: http://data. menkokesra.go.id/content/ jumlah- sekolah-di- indonesia).
Ke depan barangkali, kalaupun SMK tidak lebih banyak dari SMA setidaknya dapat dikembangkan secara berimbang. Harapan kita adalah dengan adanya pembekalan keterampilan yang memadai kepada para siswa, mereka akan mampu menopang diri dengan skill yang dimiliki dan tidak mengenal bahasa ‘pengangguran’.
Untuk itu, para pejabat di jajaran Kementerian Pendidikan Nasional, baik di tingkat pusat maupun daerah layak untuk memikirkan wacana ini. Generasi ke depan yang kita kembangkan tentunya tidak hanya pintar dan banyak mengetahui ilmu secara teori saja dan tidak besentuhan langsung dengan realitas kehidupan dan problema sosial terutama ekonomi, melainkan generasi yang memiliki keterampilan dan kecakapan hidup sehingga kehadirannya tidak menjadi ‘benalu’ di tengah-tengah masyarakat.
Mungkinkah ini akan terwujud, jawabannya relatif, tergantung pemahaman dan upaya yang ditempuh. Tetapi yang jelas lembaga pendidikan menengah umum, baik sekolah atau madrasah terbukti memang tidak mampu mengembangkan keterampilan anak didik secara maksimal karena memang yang dikembangkan adalah ilmu-ilmu yang bersifat teoritis bukan praktis, sekalipun kurikulum yang diterapkan adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
*Penulis adalah Mahasiswa S3 PPs IAIN Ar-Raniry Banda Aceh