Setahun sudah saya menjabat CEO PLN, pekan lalu. Kurang dari setahun semua provinsi di Indonesia sudah saya kunjungi. Banyak yang sudah saya kisahkan dalam CEO Noted, tapi beberapa di antaranya belum. Misalnya, kunjungan ke Aceh, Kalteng, Kalsel, Kalbar, Bangka, dan Bengkulu. Saya juga belum menulis kunjungan ke Jambi, Wakatobi, Tanimbar, Kolaka, dan Kendari.
Daerah yang paling sering saya kunjungi ternyata Sumut. Mengalahkan pulang kampung saya ke Surabaya. Ini sudah cocok dengan prinsip “mementingkan yang penting dan jangan mementingkan yang kurang penting”. Maklum, Medan adalah kota metropolitan yang krisis listriknya terparah. Saya harus mendorong teman-teman PLN Medan bekerja all-out. Dalam waktu enam bulan, krisis listrik yang begitu hebat itu bisa teratasi.
Banyak juga daerah yang saya kunjungi sampai tiga kali. Termasuk Kendari. Kunjungan pertama saya ke Kendari tidak diketahui siapa pun. Kunjungansaya yang ketiga pun saya lakukan diam-diam meski akhirnya gagal: menjelang kembali ke bandara, keberadaan saya bocor ke PLN setempat. Hanya saat kunjungan kedua kami melakukannya beramai-ramai dengan hampir semua direksi. Yakni, dalam rangkaian rapat direksi di Wakatobi dan sekalian menjelajah dari Kolaka ke Kendari jalan darat.
Aceh saya kunjungi 1,5 kali. Saya sebut 1,5 karena pada kunjungan kedua pertengahan Desember lalu saya jatuh sakit. Yakni, ketika rombongan tiba di sebuah bukit yang amat tinggi di Takengon, Aceh Tengah. Begitu turun dari mobil, badan saya menggigil. Di Pegunungan Gayo itu, di tepi danau Laut Tawar itu, udara memang amat dingin dan angin berembus agak kencang. Tapi, bukan itu soalnya. Gejala demam memang sudah ada sejak berangkat dari Jakarta.
Apalagi, saat itu saya tidak berjaket (jaket yang saya beli di London saya hadiahkan kepada supervisor penyulang jaringan listrik 20 KV yang paling berprestasi di PLN Kota Bireuen tiga jam sebelumnya). Tapi, demam ini memang sudah waktunya tiba. Badan saya terasa meriang sejak tiga hari sebelumnya. Disertai batuk-batuk kecil yang tidak berhenti-berhenti. Radang tenggorokan sudah kelihatan gejalanya.
Memang ada yang tidak beres di tubuh saya. Tapi, demam itu saya tahan. Tujuan kunjungan ke Takengon harus tercapai dulu. Yakni, untuk melihat Danau Tawar yang akan menjadi sumber PLTA (pembangkit listrik tenaga air) Peusangan sebesar 80 MW. Hanya dari ketinggian gunung inilah Danau Takengon bisa terlihat jelas berada di bawah sana. Terutama bagian di mana air dari danau itu mengalir ke sungai yang akan dijadikan proyek. Dari sini pula pemandangan terindah bisa dinikmati. Danau Laut Tawar itu terhampar damai di bawah sana, di pangkuan Pegunungan Gayo yang mistis. Dari ketinggian ini terlihat juga Kota Takengon yang terhampar di salah satu sisi danau itu.
Janji pergi ke Takengon memang tidak bisa saya abaikan. Sayalah yang mengundang pimpinan puncak Nippon Koei untuk datang ke Takengon saat saya menemuinya di Tokyo dua bulan lalu. Saya berjanji kalau bos besar Nippon Koei itu mau datang ke Takengon, saya sendiri yang akan mengantarkannya. Ini saya maksudkan agar proyek yang sudah tertunda 12 tahun lebih itu bisa segera dimulai kembali. Proyek ini penting agar Aceh segera mandiri di bidang energi listrik. Tidak lagi selalu bergantung kepada Sumut (karena Sumut sendiri juga memerlukan listrik lebih besar).
Sambil menahan gigil saya dengarkan paparan desain PLTA Peusangan di udara terbuka di ketinggian Pegunungan Gayo. Sesekali konsultan dari Nippon Koei (Koei dalam bahasa Jepang berarti engineering) menunjuk ke gambar proyek, sesekali pula menudingkan tangannya ke arah danau di bawah sana. Beberapa pertanyaan saya ajukan ke konsultan itu sambil gigi saya menahan gemeretak.
Nippon Koei setuju memulai kembali proyek ini. Dua bulan lagi (Februari 2011) PLTA Peusangan mulai dikerjakan. Rasanya proyek ini akan menjadi megaproyek pertama di Aceh sejak terjadinya perdamaian di sana. Sepekan kemudian, ketika saya bertemu Gubernur Aceh Irwandi Yusuf ketika sama-sama rapat dengan Wapres, saya laporkan soal ini. Gubernur bukan hanya gembira. Bahkan, dia sekalian minta PLN bangun saja semua listrik panas bumi di sana.
Ketika paparan selesai, saya minta langsung diantar ke hotel. Tidak ikut kunjungan lanjutan menelusuri Sungai Peusangan. Tiba di hotel saya langsung menjatuhkan diri di tempat tidur. Menarik selimut tebal dan menggigilkan badan segigil-gigilnya. Tidak ada yang tahu dan tidak ada yang melihat. Saya memang minta agar semua rombongan meneruskan agenda. Sedangkan beberapa teman Aceh yang mengantarkan saya, saya minta menunggu di luar kamar saja.
Suhu badan saya rasanya tinggi sekali. Panas. Sambil menggigil saya berpikir penyebab-penyebab yang mungkin melatarbelakangi demam itu. Yang paling saya waspadai tentu demam berdarah. Ini bisa mematikan. Terutama kalau telat menanganinya. Tapi, saya merasa bukan demam berdarah. Tidak ada gejala kembung di perut. Tenggorokan memang agak gatal, tapi untuk menelan ludah tidak sakit. Saya coba minum air sedikit juga tidak terasa sakit. Bahkan, selera makan saya tidak berubah. Saya paksakan makan kue yang saya bawa dari kantor PLN Bireuen juga terasa enak—kue yang disiapkan ibu-ibu persatuan istri PLN Bireuen ini memang enak. Ini berarti bukan demam berdarah. Maka, saya putuskan: cukup beristirahat total di tempat tidur. Juga tidak ikut makan malam dengan dua bupati setempat.
Selama dua kali ke Aceh saya mendapat kesan bahwa program-program PLN berjalan lancar di sana. Program mengatasi krisis listrik yang amat berat itu sudah lama selesai. Di Bireuen, Bener Meriah (ini nama kabupaten baru) sampai Takengon tidak banyak lagi listrik padam. Gangguan penyulang tinggal 2-3 sebulan. Memang masih ada loses (kebocoran listrik di perjalanan karena “menguap” yang tinggi, tapi sudah ketahuan penyebabnya: jaringan listrik 20 KV di sana terlewat panjang (140 km dari Bireuen ke Bener Meriah tanpa ada gardu induk di tengahnya). Program mengatasinya sudah siap dilaksanakan. Penyulang panjang itu akan dipotong. Listrik untuk Bener Meriah tidak akan dikirim lagi dari Bireuen, tapi diikutkan Takengon. Jaraknya hanya 40 km.
Pimpinan PLN Aceh, Pak Zulkifli, juga berhasil menggerakkan para manajer untuk memerangi tagihan macet. Aceh, sejak terjadi gejolak politik dan bencana alam, memang menderita “demam tagihan” yang akut: rakyat ogah membayar listrik. Satu per satu penyakit ini berhasil disembuhkan. Kini tinggal satu kampung yang masih sulit.
Dua hari setelah pulang dari Aceh saya ke Pangkalan Bun, Kalteng. Saya ingin bertemu teman-teman PLN Pangkalan Bun dan melihat PLTU skala kecil yang hampir selesai dibangun di sana. Di Pangkalan Bun juga terdapat penyulang yang terlewat panjang. Yakni, penyulang 240 km ke arah Sampit yang sering mengalami gangguan. Di seluruh Indonesia terlalu banyak jenis penyulang seperti ini. Menurut teori, satu jaringan penyulang sebaiknya paling panjang hanya 30 km. Tapi, tak terhitung banyaknya penyulang yang panjangnya melebihi 100 km! Inilah salah satu penyebab seringnya mati listrik. Juga penyebab turun-naiknya tegangan yang sangat merugikan konsumen. Gerakan memerangi penyulang panjang, betapapun mahal dan sulitnya, sedang dilakukan di seluruh Indonesia. Kegelisahan teman-teman PLN yang wilayahnya memiliki penyulang yang terlampau panjang kini sudah menjadi virus yang mendemamkan Indonesia. Kegelisahan itu, di Bengkulu bertambah-tambah. Kota sebesar Bengkulu ternyata hanya dilayani satu GI (gardu induk). Kalau ada masalah dengan GI ini, bisa dibayangkan akibatnya: seluruh ibu kota provinsi itu akan gelap-gulita. Maka, selama kunjungan saya ke Bengkulu masalah ini dibahas.
Tidak mungkin Bengkulu menunggu GI dengan cara normal. Harus ada langkah khusus secara cepat. Maka, saya tantang kepala PLN Bengkulu untuk membangun GI sendiri. Materialnya bisa didapat dari gudang-gudang proyek PLN dari seluruh Indonesia. Saya hubungi teman-teman di proyek untuk mengetahui apakah material untuk membangun sebuah GI cukup tersedia di gudang-gudang itu.***
Sumber : riaupos.com