Tsunami Padamkan Konflik Aceh

Catatan: Muhammad Syukri*
—-

MENGENANG 7 TAHUN TSUNAMI ACEH | Tsunami yang meluluhlantakkan kota dan desa di Provinsi Aceh dipicu oleh gempa besar berkekuatan 9,3 SR pada pukul 7:58:53 WIB tanggal 26 Desember 2004. Tsunami terbesar dan terbanyak menelan korban jiwa dalam sejarah tsunami dunia. Tsunami itu bukan hanya menghancurkan Aceh dan beberapa wilayah di Sumatera, tetapi melanda beberapa tempat di India, Thailand, Sri Lanka, Malaysia dan sejumlah permukiman di Afrika.

Gempa disertai dengan tsunami, selain menghancurkan permukiman dan infrastruktur, juga merenggut korban jiwa yang mencapai 186.983 orang dan korban hilang mencapai 229.826 orang (sumber: PBB). Dari korban meninggal sebanyak itu, sekitar 126.915 jiwa adalah warga Aceh dan Sumatera (Indonesia). Kematian massal akibat bencana seperti itu, jarang terjadi dalam sejarah peradaban dunia, kecuali akibat perang.

Sulit mendeskripsikan bagaimana mayat-mayat bergelimpangan di jalanan Banda Aceh dan Krueng Aceh serta wilayah lain di Aceh. Seperti mayat bayi yang masih dalam pelukan ibunya terpanggang di pagar kawat duri, sungai (krueng) Aceh dipenuhi ribuan mayat bersama material kayu, kapal-kapal nelayan bertengger di atap rumah warga, dan mobil-mobil mewah keluaran terbaru teronggok bagai besi tua. Bencana mengirim manusia kembali ke asalnya, dikebumikan dalam tanah. Dari tanah kembali ke tanah.

Menceritakan kematian massal yang sangat dahsyat itu kepada orang yang tidak pernah menyaksikan, atau anak-anak kelahiran tahun 2004, terlihat keraguan diwajahnya. Mereka akan meyakini cerita itu setelah melihat foto kedahsyatan tsunami. Bagi mereka yang menyaksikan langsung mayat-mayat bergelimpangan dan kehancuran total yang disebabkan oleh tsunami, pasti bangkit rasa kemanusiaannya untuk membantu sesama. Kalaupun ada permusuhan, untuk sementara pasti dihentikan demi kemanusiaan.

Bagaimana mungkin ratusan ribu mayat itu dapat ditemukan dan dikebumikan oleh beberapa orang. Tidak juga mungkin kehancuran total itu bisa diperbaiki dalam waktu cepat tanpa bantuan berbagai pihak, terutama donatur luar negeri. Peringatan dan cobaan Sang Khalik itu menyadarkan para pihak untuk segera menghentikan konflik Aceh yang juga telah menelan korban tidak sedikit.

Di awal peristiwa tsunami terjadi, keluarga korban yang masih selamat menjadi sangat nekat. Mereka berani menuju lokasi bencana ditengah malam mencari keluarganya yang hilang, padahal konflik Aceh belum reda. Sebelum tsunami, sangat jarang ditemukan orang yang berani keluar rumah saat sang fajar mulai terbenam di ufuk barat. Sebab, perang antara pihak-pihak yang sedang berkonflik masih terus berlangsung di berbagai tempat.

Tsunami memang membuat orang berani dan nekat. Rasa kemanusiaan mendorong orang berani mengambil sebuah langkah yang sebelumnya hampir tidak mungkin dicapai. Perang terhenti dengan sendirinya. Semua pihak turun tangan mengevakuasi korban dan menguburkan mayat-mayat yang bergelimpangan di sejumlah tempat. Tidak terdengar lagi suara tembakan dan sweeping di sepanjang jalan menuju ke daerah bencana, padahal tingkat status kemanan waktu itu darurat militer.

Akhirnya, pada tanggal 15 Agustus 2005 ditandatangani MoU Helsinski yang menandakan berakhirnya konflik Aceh. Sejak itu rakyat Aceh telah kembali dapat menikmati kehidupan normal sebagaimana saudara-saudaranya di wilayah nusantara lainnya. Mereka sudah berani menempuh perjalanan di malam hari, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Mereka sudah bisa berusaha dengan tenang untuk memperbaiki ekonomi keluarga pasca tsunami dan konflik. Akankah kehidupan normal ini akan berlangsung untuk seterusnya? Wallahualam bissawab.

*Penulis tetap di Lintas Gayo, tinggal di Takengon

.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.