Oleh Athahirah
——
Sore ini hujan turun begitu deras, hujan yang membawa berkah bagi penghuni alam, waktu ashar Belumlah berlalu, tapi turunnya hujan membuat suasana begitu sendu, sepi..kemana orang-orang yang tadi ramai ku dengar, suara hentakan musik atau mungkin televisi. Sesaat tadi masih ku dengar, suara-suara itu hilang. Kuambil Al-qur’an, ku coba membaca bait-bait surat cinta-Nya semakin syahdu ku rasakan, tiba-tiba hati ku bergetar , bergemuruh dan ada sesuatu yang hangat mengalir pelan jatuh di pipiku. Aku rindu suasana saat hujan turun, dulu aku masih bersamamu.
Lantunan shalawat merdu mengalun dari suaramu, selalu membuat ku ingin bertemu dengan kekasih-Nya itu. Tanganmu terus saja bekerja, sesaat kemudian terdengar lagi alunan syahdu ayat-ayat Al-Qur’an. Sejurus kemudian kau bacakan juga artinya untuk ku. kau coba memahamkan ku sambil sesekali kau memberikan petuah untuk ku. Saat hujan seperti ini segala ingin kita akan di ijabah oleh Allah swt begitu tutur mu. Maka kau tutup petuahmu dengan do’a penuh pengharapan, aku ikut mengamini. Kini di saat hujan sore ini kuamalkan petuahmu. kulepaskan segala getar rindu ini. Bersama derai air mata yang jatuh ke bumi, diiringi irama air hujan yang turun deras. Luruh segala rinduku, bersama luruhnya air mu ke bumi, basah jiwaku sebasah bumi ini. Perlahan hujan reda ,hanya menyisakan embun yang berarak perlahan meninggalkan bumi. Membawa pergi separoh jiwaku, bersama pengabdian dan do’a ku. Do’a yang terijabah sesaat setelah hujan reda. (08/07/10)
Catatan di atas merupakan segelintir dari suara hati ku dalam mengenang masa-masa suka dan duka bersama Ibu. Yah…Ibu..perempuan pertama yang aku kagumi sepanjang hidupku. Sulit rasanya jika harus menceritakan kisah-kisah hidup ku secara runut, apalagi kisah bersama Ibu. Tapi aku mencoba untuk menuliskannya walau masih banyak kisah-kisah yang terlewat atau lupa untuk di tuliskan.
Awalnya aku dan keluarga tinggal di sebuah desa yang terisolir. Tidak ada angkutan umum, jalan masih jalan tanah, kiri kanan jalan ada hutan-hutan kecil atau perkebunan penduduk. Hampir semua penduduk berjalan kaki untuk menyelesaikan semua urusannya, bahkan jika harus ke kota, hanya sebagian kecil saja penduduk yang menggunakan sepeda motor. Padahal jaraknya dari kota tidak terlalu jauh. Bila di tempuh dengan angkutan umum + 2 jam, jika mengendarai sepeda motor mungkin 1 jam. Tapi, ya begitulah saat itu kondisi desa tempat aku tinggal. Tapi jauh dari masalah-masalah itu, desa ku adalah desa yang indah, berada di dataran tinggi, orang-orang menyebut nama Desa ku “Kute Panang”, yang berarti enak memandang. Jika kita menyapu pandangan kita ke segala arah, maka kita akan dapat melihat kota-kota kecil di bagian pesisir negeri ini, semua mata yang memandang akan berdecak kagum mengagungkan Sang Maha Pencipta keindahan yang tiada tandingannya.
Aku dan keluarga ku hidup bahagia, usia ku mungkin sekitar 4 atau 5 tahun waktu itu, aku memiliki 2 orang kakak dan 1 orang adik, jadi waktu itu kami masih 4 bersaudara. Aku sudah bisa mengingat kisah-kisah keluarga kecil ku, walau masih remang-remang. Ayahku seorang pedagang kopi. Ayah membeli kopi-kopi dari petani dan menjualnya kembali ke pengusaha di kota. Hingga pada suatu hari Ayah mengalami kecelakaan yang hampir membutakan matanya. Ayah tergelincir di jalan licin dan curam dekat desa, waktu itu sedang musim penghujan. Ayah segera dilarikan ke Puskesmas Pembantu oleh warga desaku, dan akhirnya Ayah di rujuk untuk di rawat intensif di rumah sakit Kabupaten. Untuk itu Ibu harus meninggalkan aku dan saudara-saudaraku bersama nenek, karena Ibu harus merawat Ayah. Hampir 6 bulan lamanya Ayah di rawat sampai Ibu kehabisan uang. Jangankan untuk berobat untuk makan saja susah. Sementara Ayah masih harus rawat jalan.
Untuk menghemat biaya, Ayah dan ibu menumpang di rumah paman yang kebetulan dekat dengan rumah sakit. Ibu hanya pulang sesekali untuk melihat keadaan kami. Ternyata Ibu berjuang sendiri di kota, berjuang untuk bisa bertahan hidup, keluar dari himpitan ekonomi yang menyesakkan dada. Ibu mencoba mengais rejeki walau hanya sedikit, Ibu berjualan sayur-sayuran di pasar setiap pagi, padahal waktu itu Ibu sedang hamil. Ibu terus berjuang dengan harapan Ayah bisa cepat sembuh dan kebutuhan makan terpenuhi walau hanya sekedar nya saja. Pagi-pagi sekali, sebelum ayam berkokok Ibu sudah berangkat ke pasar untuk mencari barang dagangan, berebut dan terhimpit di tengah-tengah pedagang lain yang juga berharap mendapatkan barang dagangan. Begitu seterusnya entah berapa lama.
Alhamdulilah kesehatan Ayah sudah mulai pulih dan yang lebih membahagiakan Ibu, Ayah tidak buta, Ayah bisa melihat dengan sempurna. Ibu sangat bahagia, untuk merayakan kebahagiaanya itu Ibu memberi kabar bahwa Ayah sudah sembuh dan akan segera pulang. Tentu saja aku dan saudara-saudara ku sangat senang, tidak sabar lagi menantikan kedatangan Ayah dan Ibu. Karena aku dan keluarga ku akan bersedih jika Ayah dan Ibu tidak bisa pulang, padahal bulan Ramadhan akan tiba beberapa minggu lagi.
Akhirnya pada hari yang dijanjikan, Ayah dan Ibu pulang, aku melihat Ibu berjalan kepayahan karena Ibu sedang menggendong adikku dalam perutnya. Aku suka bertanya pada Ibu ku “bu…, Ibu, perut Ibu kok besar?, sambil tersenyum geli Ibu ku menjawab, “ Ibu sedang menggendong adik bayi.., sebentar lagi kamu akan punya adik. Dan ketika aku melihat perut Ibu semakin membesar aku berpikir sebentar lagi aku akan punya adik bayi. Dan benar saja pada bulan ramadhan adik bayi ku lahir , entah kapan itu terjadi, karena begitu aku bangun dari tidur ku yang nyenyak, paginya aku melihat adik bayi laki-laki. Rumah ku ramai di kunjungi para tetangga, Ayah ku memberinya nama “Rizky Ramadhan”. Aku sangat bahagia dengan kelahiran adik bayi ku, setiap hari aku selalu mencoba untuk menggodanya, begitulah kunikmati kebahagian bersama Ayah, Ibu dan adik bayi.
Suatu hari di tengah kebahagiaanku aku mendengar perbincangan Ayah dan Ibu. Mereka merencanakan akan pindah ke kota, mencoba melanjutkan untuk berdagang sayur-sayuran. Tibalah waktu menyedihkan itu. Ayah, Ibu, abang dan juga kakak ku dan tentu saja adik bayi akan di bawa ke kota.
Sementara aku dan 1 orang adik ku masih di tinggal bersama nenek. Pada hari yang sudah di tentukan mereka berangkat pukul 3 dini hari. Sebenarnya Ayah tidak mengira kalau waktu itu masih pukul 3, karena rencananya mereka akan berangkat meninggalkan desa sekitar jam 5 pagi. Ayah dan Ibu tidak mau keberangkatan mereka ke kota di ketahui oleh penduduk Desa. Namun ayah mendengar suara ayam berkokok, ayah mengira pertanda shubuh telah tiba. Dengan membawa barang seperlunya yang sudah disiapkan sejak malam, dan sedikit barang dagangan mereka berangkat menembus gelapnya kabut malam dengan menahan rasa dingin yang dihembuskan angin berlapis embun. Mereka terus berjalan menapaki langkah-langkah yang tak pasti. Ayah menjinjing barang dagangan di atas kepalanya, tangan kanannya menenteng barang juga. Ibu menenteng barang yang bisa di tenteng tentu saja sekaligus menggendong bayi mungil yang masih merah dengan terpaksa harus melakoni pahitnya perjuangan Ayah dan Ibunya demi pendidikan dan masa depan anak-anaknya kelak. Kakak dan abang ku juga ikut membawa barang-barang yang bisa mereka bawa. Mereka terus berjalan tanpa lelah dan tanpa mereka sadari mereka telah sampai di batas kota. Kabut malam mulai menipis, udara sejuk pagi berhembus lembut menerpa dedaunan yang menggugurkan embun-embun yang hinggap di dahan-dahan. Setengah jam kemudian mereka memasuki wilayah kota mentari pagi menyemburatkan warnanya, cahayanya menyambut kedatangan keluarga ku penuh kehangatan. Seolah memberi harapan masa depan cerah menanti.
Ayah dan Ibu ku berjuang keras untuk tetap bertahan hidup di kota. Warga desa yang sudah mengetahui kepindahan keluarga ku mulai mencibir. “ huh kita lihat saja nanti apa mereka bisa bertahan di kota?”, sudah biasa hidup di desa kok kepengen hidup di kota. Beraneka ragam cibiran ditujukan untuk keluarga ku, tapi ya biarlah mereka mencibir, toh waktu bisa membuktikan apa yang akan terjadi nanti. Hidup di kota memang sulit, untuk tempat tinggal saja keluarga ku harus berpindah-pindah dari kontrakan satu ke kontrakan lain.
Semua kebutuhan sehari-hari serba beli, tidak ada yang gratis jika hidup di kota. Sesekali Ibu mengisahkan pengalamannya padaku ketika ia pulang menjenguk. Aku sedih mendengar kisah perjuangannya, tapi Ibu selalu bilang.”jangan bersedih, hidup ini memang perjuangan, maka kita harus berjuang”. Ibu ucapkan nasehatnya sambil tersenyum penuh keyakinan, suatu saat ia akan membuktikan kesuksesannya. Aku selalu berdoa untuk keluarga ku karena aku sejak kecil sudah di ajarkan banyak doa oleh Ayah dan Ibu ku. Ayah dan Ibu sewaktu tinggal di desa guru ngaji bagi anak-anak penduduk di desa ku di malam hari. Makanya biar pun aku masih kecil tapi aku sudah mampu membaca Al-Qur’an dan mengerjakan shalat 5 waktu. Nenek ku yang setia selalu menghibur ku kalau aku rindu dan bersedih.
Hampir satu tahun lamanya aku tinggal bersama nenek dan akhirnya aku ikut di bawa ke kota. Aku sangat senang akan berkumpul dengan Ayah dan Ibu juga saudara-saudaraku. Tapi aku juga sangat sedih harus berpisah dengan nenek. Nenek akan tinggal bersama paman di desa lain yang jaraknya cukup jauh dari desa ku dengan berjalan kaki. Tapi apa hendak di kata aku memang harus ikut ke kota, kata Ibu aku akan sekolah di kota. Sampai di kota aku bertugas menjaga adik bayi ku, Ibu bilang sementara Ibu mencarikan sekolah untuk ku. Aku tetap setia menjaga adik bayi ku karena Ibu harus ke pasar. Sudah hampir satu tahun aku tinggal di kota aku belum juga sekolah. Aku tau mungkin Ayah dan Ibu ku belum punya uang.
Aku tetap setia mengikuti kisah perjalanan panjang keluarga ku. Hingga aku juga merasakan apa yang pernah Ibu ceritakan. Mulai dari pindah-pindah rumah kontrakan sampai pemilik rumah kontrakan yang tidak punya perasaan, di ejek oleh anak-anak tetangga sebagai anak orang miskin. Aku merasa diri ku bukan lah diri ku yang waktu masih tinggal di desa. Aku memang anak yang sangat penurut tapi tidak pendiam. Tapi sejak tinggal di kota aku menjadi anak yang pendiam tapi jika ada yang mengganggu dan menghinaku atau menghina keluarga ku maka aku akan marah, aku akan berkelahi dengan mereka.
Tak jarang kehadiran ku di kota membuat masalah baru bagi keluarga ku. Jika aku ketahuan berkelahi maka Ibu tak segan-segan memarahiku. Walau Ibu tahu aku tidak suka di ejek apalagi di hina, tapi tetap saja aku yang di salahkan. Aku selalu di minta untuk mengalah. Kadang-kadang aku kesal, kenapa Ibu selalu membela orang lain, kenapa aku tidak bisa menyakiti orang lain. Sementara setiap hari seenaknya mereka menyakiti ku. Aku tahu Ibu tidak mau punya urusan dengan Ibu-Ibu mereka. Sehingga sejak kejadian perkelahian-perkelahian ku dengan anak tetangga itu, Ibu sering mengajak ku ikut ke pasar membawa serta adik bayi. Aku senang sekali karena dengan begitu aku tidak terlalu repot mengurusnya karena tetap ada Ibu kalau dia rewel.
Tahun berikutnya aku sangat senang karena aku sudah bisa masuk sekolah. Aku sekolah dekat rumah kontrakan baru kami, juga tidak terlalu jauh dari pasar tempat Ibu berjualan. Masuk sekolah Dasar aku sudah bisa membaca dengan baik dan sudah khatam Al-Qur’an. Alhamdulillah Ayah dan Ibu selalu menyempatkan waktunya di malam hari untuk mengajari kami pelajaran sekolah dan tetap mengaji, dan tentu saja akan selalu ada petuah-petuahnya yang hingga kini melekat, shalawatan dan lagu-lagu pujian kepada Allah sebagai pembukaan sebelum pengajian dimulai. Itulah yang membuatku tetap bahagia dan bangga kepada Ayah dan Ibu ku. Aku tetap bahagia hidup bersama keluarga yang senantiasa berjuang dengan segala kepahitan hidupnya. Makanya aku tidak suka jika ada yang menghina keluarga ku apalagi orang tuaku, karena mereka adalah kebanggaanku. Mereka telah membangun pesantren untukku dirumahku.”rumahku pesantren ku,Ayah dan Ibu ku ustadz dan ustadzah bagi ku. Begitulah aku selalu membanggakan kedua orang tua ku.
Waktu pun terus berlalu, aku bukanlah anak kecil lagi, tapi telah tumbuh menjadi anak yang akan memasuki usia remaja yang lebih cepat dewasa melewati usianya. Kehidupan telah mengajarkan ku banyak hal. Ibu juga tidak lagi berjualan sayur-sayuran di pasar. Ibu mencoba menjual makanan di depan sekolah Muhammadiyah tempat aku sekolah. Ada mie lontong,mie goreng, cendol, rujak, dan gorengan-gorengan. Masakan Ibu sangat di sukai oleh semua murid-murid. Jam istirahat aku ikut membantu Ibu melayani pembeli. Ibu berjualan sejak jam 10.00 pagi hingga jam 4.00 sore. Karena sekolah selalu di pakai sampai sore. Kalau pagi di pakai untuk sekolah anak-anak SD dan SMP, siang sampai sore untuk anak-anak SMA.
Malam aku membantu Ibu menyiapkan makanan-makanan yang akan dijual besok. Pada suatu sore aku dan Ibu sibuk di dapur menyiapkan bahan-bahan yang akan di masak malam ini, sekaligus Ibu merebus mie dan lontong lebih awal dari biasanya. Ibu juga menggoreng kerupuk karena kerupuk yang biasa di taburkan di atas mie sudah habis, bumbu-bumbu rempah mie juga Ibu tumis.
Sementara aku asyik merajang-rajang bahan sayurannya. Ada sawi manis, ada seledri, bawang dan lain-lain di ruang tengah tempat kami biasa mengaji dan belajar. Di luar hujan turun rintik-rintik tapi cukup membuat bumi ini basah. Tiba-tiba saja aku mendengar suara teriakan Ibu dari belakang, segera saja aku berlari ke belakang aku melihat ada api di baju Ibu, rupanya Ibu di sambar api saat menumis bumbu rempah-rempah. Aku panik dan berteriak memanggil Ayah yang tak ada dirumah, tiba-tiba saja dengan reflek aku tarik Ibu keluar rumah dan dan memintanya berguling-guling di tanah basah karena hujan. Api di baju Ibu pun padam setelah berguling-guling beberapa menit. Aku terkesima melihat Ibu kelelahan, aku menghampiri Ibu dan memeluknya sambil terus terisak, kami berpelukan erat tapi tak ada kata yang terucap. Isakan dan pelukan erat kami sudah cukup mengartikan bahwa kami tak ingin berpisah. Ingin terus bersama selamanya walau apapun yang terjadi dalam hidup ini, aku akan setia menemani Ibu. Oh…Ibu…, ku tuliskan kenangan ini dengan deraian air mata. Aku tak pernah lupa peristiwa tragis itu. Keesokan harinya Ibu berjualan kembali seperti biasa.
Hari-hari pun berganti seiring berputarnya jarum jam. Perputaran roda kehidupan pun seolah mengikuti putaran jarum jam yang tak pernah henti. Sejak kejadian itu aku seolah semakin mencintai Ibu ku, aku semakin rajin membantunya dan Ibu pun hanya meminta bantuan kepada ku jarang sekali Ibu meminta bantuan kepada abang dan kakak ku, apalagi adik ku fitria. Ayah juga tidak berbeda dengan Ibu, setiap saat ketika membutuhkan bantuan Ayah juga tetap meminta bantuan ku. Terkadang aku sering bingung pekerjaan mana yang harus ku selesaikan, karena aku sering menerima pekerjaan sekaligus dari Ayah dan Ibu, ketika aku di panggil Ibu segera saja aku datang menanyakan ada apa, Ibu meminta ku membantunya menyuci piring-piring bekas masak atau piring-piring bekas jualan misalnya, saat aku sedang menyuci. Tiba-tiba Ayah memanggil ku dan segera saja aku memenuhi panggilan Ayah. Ayah meminta ku menghitung barang atau jumlah hutang orang-orang yang belum membayar hutangnya.
Sejak tidak berjualan sayur-sayuran Ayah juga membuka usaha lain, Ayah berdagang makanan dan minuman ringan, juga rokok di lokasi terminal bus dengan kios gerobak dorongnya. Karena aku sering bingung, pada suatu hari aku bertanya kepada Ayah dan Ibu ku. Mungkin tepatnya di sebut protes. “Ayah…. Ibu…., sapa ku suatu hari, kenapa hanya aku saja yang selalu di suruh-suruh, di mintai tolong sejak kecil sampai sekarang?”kenapa abang, kakak, jarang sekali Ibu dan Ayah mintai tolong, apalagi adik tidak pernah sama sekali, Ayah ku tidak membolehkannya bekerja apalagi yang berat-berat sampai-sampai aku merasa di beda-bedakan dengannya. Adik ku Fitria memang memiliki fisik yang berbeda dengan kami, kaki nya agak cacat, bagian telapak kaki sebelah kanan agak melengkung dan betis kanannya sedikit lebih kecil. Karena itulah Ayah dan Ibu tidak membolehkannya bekerja. Menurut cerita Ibu ku adik ku di duga terkena virus folio sejak ia masih bayi.
Sebenarnya tidak terlalu parah dan fisik yang lainnya kuat. “ia pasti bisa bekerja walau pun tidak mesti mengangkat yang berat-berat tapi sekedar untuk menyuci piring kan bisa”! Protes ku pada Ayah. Mendengar protes ku, tiba-tiba saja Ibu menangis dan memeluk ku erat sambil berkata “kau lah anak ku yang paling setia, penurut dan rajin membantu sejak kecil”. Ayah juga berkata, “pada dasarnya tidak ada orang tua yang membeda-bedakan anaknya, tapi pasti ada anak yang selalu melekat dalam hati seorang Ayah dan Ibu, ada satu yang istimewa terpatri secara diam-diam dalam hati kedua orang tua”. Tiba-tiba saja aku menangis dan meminta maaf. Ibu semakin memeluk ku erat, Ayah mengelus rambut ku penuh kasih. Luruh seluruh jiwa ku, lantakkan pemberontakan ku. Aku merasakan bulir-bulir air mata ibu jatuh ke pipiku. Ibu berkata “kamu yang Ibu cinta, segalanya merupakan cermin cinta Ibu untuk mu anak ku, maaf kan Ibu jika membuat mu terlalu lelah”.
Aku semakin terisak perih, kenapa aku tidak memikirkan betapa lebih perihnya hati Ibu ku mendengar protes ku. Oh..Ibu..maaf kan aku, aku tak bermaksud melukai hatimu. Sejak itu hanya pengabdian yang ku miliki dan aku katakan pada Ibu aku ingin selamanya bersamamu Ibu meski kelak ada orang lain dalam hidup ku. Aku dan Ibu berpelukan semakin erat, Ibu mencium kening ku dan aku mencium tangannya yang tak lagi lembut berharap pintu maafnya untukku sebagai awal pengabdian ku berikutnya.
Bertahun-tahun lamanya aku dan keluarga ku tinggal di rumah kontrakan itu. Sejak ngontrak tidak ada masalah, sehingga kami tidak perlu mencari kontrakan baru. Karena Ayah mengontrak rumah itu untuk jangka waktu 2 tahun sekali, setiap 2 tahun akan di perpanjang. Tapi tidak untuk kali ini, Ayah harus segera mencari tempat tinggal baru, kami harus segera mengosongkan rumah itu dalam waktu satu minggu, sisa uang kontrakan akan dikembalikan.
Rumah itu memang rumah warisan keluarga si pemilik rumah itu. Rencananya keluarga besar mereka akan segera membagi-bagikan harta warisan itu, tapi sepertinya ada persengketaan sesama hak waris. Yah apa boleh buat, keluarga ku pun menjadi korban. Ayah dan Ibu mulai berpikir keras mencari jalan keluar. Semalaman Ayah dan Ibu kurang tidur atau mungkin tidak tidur sama sekali, aku mendengar mereka berbincang-bincang sampai larut malam.
Keesokan harinya Ayah keluar rumah pagi-pagi sekali, kata Ibu Ayah mencari kontrakan baru. Sampai malam larut Ayah belum juga pulang. Aku dan Ibu menunggu dengan penuh harap dan akhirnya aku tertidur juga. Paginya aku sudah melihat Ayah ada dirumah, segera saja aku melontarkan pertanyaan kepada Ayah,”bagaimana hasilnya yah? Apa Ayah sudah menemukan kontrakan baru?.Ibu menyiapkan sarapan pagi, dan menyuguhkan secangkir kopi panas untuk Ayah, aku mencoba bersabar menunggu Ayah menjawab pertanyaanku. “Alhamdulillah Ayah menemukan solusi sementara tapi belum tahu juga apakah solusi ini bisa benar-benar menjadi solusi”, Ayah mulai bercerita. “Kemarin saat Ayah sudah kelelahan berkeliling-keliling mencari kontrakan baru dari satu desa ke desa lain.
Ayah belum juga menemukan rumah yang pas, Ayah kehausan dan mampir ke sebuah warung kopi, disana Ayah bertemu dengan seorang teman. Setelah berbincang-bincang banyak hal Ayah mencoba menceritakan masalah yang sedang kita hadapi ini, dengan seksama teman Ayah mendengarkan cerita Ayah. Teman Ayah itu seorang pengusaha “panglong”, menjual bahan-bahan bangunan dari kayu, ia meminta Ayah segera mencari tanah yang dapat digunakan untuk membangun rumah, ia akan membantu kita dengan memberikan bahan-bahan kayu atau papan yang kita butuhkan untuk membangun rumah.” Spontan aku mengucapkan syukur kehadirat Allah, Alhamdulillah ya rabbi, Engkau pemberi solusi yang bijak dalam setiap masalah hidup kami, lirih ku dalam hati, aku tak bisa menahan rasa senang ku, langsung saja ku brondong Ayah ku dengan pertanyaan berikutnya. “Terus bagaimana dengan tanahnya Ayah?, apakah Ayah sudah menemukannya?.”Ayah diam dan menyeruput kopinya yang sudah mulai hangat, Ayah menggeleng, dan berkata “selesai sarapan ini Ayah akan berangkat mencari tanah yang bisa kita beli atau mungkin di sewa.
Ibu menghidangkan sarapan pagi, kami sarapan dalam diam, entah apa yang ada dalam pikiran Ayah, Ibu dan saudara-saudara ku. dalam diam aku memanjatkan do’a.”Ya Allah berilah kami jalan keluar yang terbaik dalam setiap masalah kami, beri kami kemampuan untuk menghadapi dan menyelesaikannya rabbi…, ya rabbal izzati. Selesai sarapan Ayah berangkat kembali mencari tanah. Ibu tidak berjualan hari ini, aku dan saudara-saudara ku berangkat ke sekolah. Waktu itu abang dan kakak ku sudah di sekolah menengah pertama aku dan adik ku masih di SD Muhammadiyah, adik bayi ku kini tidak bayi lagi dia sudah umur 5 atau mungkin 6 tahun. Hari ini ia bersama Ibu tinggal dirumah kalau Ibu berjualan dia ikut Ibu karena tidak ada lagi yang menjaganya dirumah.
Sepulang sekolah aku belum menemukan Ayah dirumah, Ibu bilang Ayah belum pulang. Aku dan Ibu tidak banyak berbicara. Aku menunggu Ayah pulang dengan harap-harap cemas, mungkin Ibu juga begitu, aku dapat melihat keresahannya dalam desahan napasnya. Aku mencoba memecah kebisuan membuka pembicaraan dengan Ibu. “Ibu kalau Ayah sudah menemukan tanah, apakah kita masih punya cukup waktu untuk membangun rumah? Sementara tenggang waktu yang diberikan tinggal 4 hari lagi?…Ibu mendesah, ‘entahlah kita tunggu saja Ayah mu pulang, nanti kita bicarakan lagi”. Baiklah bu ucapku sambil berlalu menuju meja belajar ku. Aku mencoba menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Hari sudah senja di luar hujan turun deras, Ayah belum juga pulang. Ibu meminta ku membantunya menyiapkan makan malam. Tapi hingga masakan selesai Ayah belum juga pulang, adzan magrib berkumandang bersahut-sahutan dari menara ke menara, terdengar sangat indah sedikit mampu menghalau keresahan ku dan Ibu. Aku beranjak mengambil air wudhu kami shalat berjama’ah di imami Ibu.
Selesai salam kami berdo’a di pimpin Ibu aku dan saudara-saudaraku mengamini. Waktu isya menjelang Ayah belum juga pulang kami belum makan padahal makanan yang sudah disajikan sudah dingin. Tapi sepertinya rasa lapar pun tidak menghampiri kami. Kami kembali shalat isya berjama’ah tanpa di imami Ayah. Ketika sedang berdo’a ketukan pintu terdengar Ibu segera mengakhiri do’anya dan bergegas membukakan pintu. Alhamdulillah Ayah sudah pulang, kehadirannya yang sudah ditunggu-tunggu membuat aku tidak bersabar ingin mengetahui hasil perjuangan Ayah hari ini. Tapi aku tak tega memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan ku seperti biasanya.
Aku melihat rawut wajah yang begitu lelah tergambar jelas di wajahnya tanpa dapat disembunyikan dengan senyumannya dan menyapa kami dengan lembut. Kami makan malam bersama biar pun dengan makanan yang sudah dingin. Entah mungkin karena lapar kami makan dengan lahap juga, hampir jam 9 malam. Selesai makan aku membereskan semua peralatan makan. Ibu menyiapkan air hangat untuk Ayah dan segera mandi sepertinya Ayah sempat terguyur hujan dalam perjalanannya. Ibu meminta kami semua langsung beristirahat besok harus sekolah dan Ayah juga masih terlalu letih. Ya sudah Lah aku menuruti kata Ibu. Mencoba merebahkan diri walau mata ku sulit sekali terpejam karena penasaran. Akhirnya karena terlalu lelah berpikir aku tertidur juga dan benar saja aku terbangun agak kesiangan dari biasanya. Ibu tidak membangunkan ku,mungkin karena melihatku tertidur lelah semalaman gumamku dalam hati. Aku bergegas mencuci muka dan berwudhu menunaikan shalat shubuh.
Selesai shalat aku segera mengguyur tubuh ku dengan air di kamar mandi dengan tergesa-gesa karena kalau tidak aku akan terlambat ke sekolah. Selesai mandi, menyiapkan keperluan sekolah ku hari ini tidak terlalu lama karena aku sudah menumpuk nya di atas meja sejak sore selesai mengerjakan tugas sekolah. Aku berpakain dan menuju dapur membantu Ibu menghidangkan sarapan. Aku melihat Ayah sudah di dapur sedang minum kopi paginya. Setelah sarapan Ayah menceritakan hasil perjalanannya kemarin, “Ayah sudah mendapatkan tanah tapi kita hanya menumpang sementara disana, karena kita tidak sanggup membeli tanah itu, uang nya tidak cukup. Hanya cukup untuk keperluan membangun rumah.” Dalam hati aku tetap bersyukur, tapi tetap saja aku utarakan apa yang menjadi pikiran ku. “Ayah tapi apakah kita punya cukup waktu untuk membangun rumah sampai tenggang waktu empat hari?. Ayah memandang kami semua, “Ayah akan coba meminta tambahan waktu satu minggu lagi, mudah-mudahan bisa.
Hari ini Ayah akan ke rumah teman Ayah pemilik panglong itu dan mencari bahan-bahan, juga keperluan lain untuk membangun rumah. Sekaligus melihat tanah dan membersihkannya terlebih dahulu sebelum kemudian di bangun. Begitulah Ayah terus bekerja keras di bantu oleh temannya yang baik hati itu dan dua orang anak buahnya. Setelah hampir satu minggu Ayah bekerja insya Allah dua hari lagi selesai, begitu cerita Ayah saat makan malam bersama. Kami di minta oleh Ayah untuk bersiap-siap membereskan segala barang-barang untuk kepindahan. “Sudah boleh berkemas-kemas kata Ayah, agar kalau sudah waktu nya kita bisa pindah kita tinggal mengangkat barang saja”.
Tiga hari berikutnya kami meninggalkan rumah kontrakan kami yang penuh kenangan itu. Kami berangkat selepas isya. Barang-barang dibawa dengan becak dayung sementara kami semua berjalan kaki sambil menuntun barang-barang dibelakang becak. Setelah berjalan hampir setengah jam kami mulai memasuki jalan menuju rumah kami.
Gelap dan sepi tidak ada cahaya lampu, rumah-rumah penduduk berjauhan. Sepertinya desa ini belum terlalu ramai penduduknya. Di kiri kanan jalan tumbuh rumput-rumput liar hampir menyerupai semak-semak. Jalan desa ini kelihatan tak terurus. 15 menit berjalan sampailah kami di rumah baru yang hanya terbuat dari papan. Ayah menyalakan lampu dinding. Ibu, aku dan saudara-saudara ku memindahkan barang-barang dari atas becak ke dalam rumah. Abang-abang becak itu ikut menurunkan barang sepertinya mereka teman Ayah juga.
Kami kelelahan dan tidak sanggup merapikan semua barang-barang, Ibu meminta kami tidur. “Kita lanjutkan besok merapikan semuanya”,sekarang tidur lah. kami tidur dengan pulas di tempat tidur yang dibuat dari papan di setiap kamar.
Pagi menjelang, aku merasakan suasana baru sedang menyelimuti ku, aku tersenyum bahagia. Aku dan saudara-sauaraku kembali membantu Ibu merapikan semua barang. Ayah ikut membantu membersihkan halaman sekitar rumah. Rumah kami punya halaman yang luas di depan dan belakangnya di samping kanan rumah kami juga terdapat tanah yang masih kosong dan lumayan luas. Ibu merencanakan membuat taman bunga di halaman depan. Di tanah bagian belakang rencananya akan di buat dapur tambahan. Di tanah kosong bagian samping rencananya Ibu akan menanam sayur-sayuran Ayah akan meminta izin kepada pemilik tanah itu yang rumahnya tak jauh di belakang rumah kami. Ternyata si pemilik tanah itu adalah sepasang suami istri yang sudah tua. Kami memanggilnya nenek Asa dan kakek Asa.
Karena rumah kami sudah sangat jauh dari sekolah ku tempat Ibu berjualan, membuat Ibu tidak dapat melanjutkan usahanya di sekolah sementara Ayah masih tetap berjualan di gerobak dorongnya. Ibu mencoba mencari mata pencaharian lain karena Ibu ku adalah sosok perempuan yang tidak pernah mau berpangku tangan, ia selalu berusaha membantu Ayah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga apalagi sebentar lagi aku dan adik ku akan melanjutkan ke Sekolah Tingkat Pertama, abang dan kakak ku juga akan melanjutkan ke Sekolah Lanjutkan Tingkat Atas. Semua itu membutuhkan uang, maka nya Ibu berpikir keras untuk dapat membantu Ayah.
Akhirnya Ibu mendapat izin bisa menanam sayur-sayuran di tanah kosong samping kanan rumah. Ayah membersihkan rumput-rumput yang selama ini tumbuh, membuat gundukan-gundukan tanah memanjang berjalur-jalur, rupanya Ibu akan menanami sayuran diatas gundukan tanah disetiap jalur-jalurnya. Tiap sore aku bertugas menyirami tanam-tanaman itu, kadang-kadang kalau Ayah pulang cepat Ayah yang melakukannya tapi aku tetap ikut menemani Ayah.
Aku merasakan kedamaian dan kebahagian. Satu bulan berikutnya sayur-sayuran itu sudah bisa di panen, Ibu membawanya ke pasar. Tapi kali ini Ibu tidak berangkat terlalu pagi karena Ibu tidak lagi berebut barang dagangan di pasar seperti dulu. Ibu sepertinya sangat menikmati usaha baru nya itu. Ibu berniat menambah lahan tanamannya dan mencari-cari tanah kosong yang dapat digunakan untuk menanami apa saja. Akhirnya Ibu menemukan tanah meski pun di sewa. Tanah itu bekas tanah sawah Ibu menanami tanah itu dengan sayur kangkung awalnya Ibu hanya coba-coba. Ibu baru menanam satu petak saja tapi karena melihat hasilnya lumayan Ibu semakin ketagihan dan menanami lagi petak-petak yang lainnya hingga akhirnya kebun kangkung itu menjadi usaha yang sukses. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah aku harus memotong kangkung-kangkung itu dan membawanya pulang ke rumah, abang ku juga ikut memotong kangkung. Setelah memotong kangkung baru berangkat ke sekolah. Ketika Ibu pulang dari pasar Ibu sudah bisa membersihkan kangkung-kangkung itu, di ikat dan sore hari nanti di siram agar besok pagi segar kembali.
Semakin hari usaha kebun kangkung Ibu terus berkembang, permintaan-permintaan semua pelanggan harus kami penuhi, maklum saja pada waktu itu, baru kebun kangkung Ibu yang memenuhi semua permintaan pasar. Kami tidak lagi sanggup bekerja jika untuk memenuhi permintaan pasar. Maka Ibu mulai mempekerjakan para tetangga yang tidak memiliki pekerjaan seperti Ibu-Ibu yang tidak punya usaha kecuali hanya mengharap dari suami, anak-anak remaja yang putus sekolah karena tidak punya biaya yang ada di desa kami. Jumlah mereka delapan orang, tapi ada juga diantara mereka tidak terlalu rutin bekerja. Tugas mereka adalah membersihkan kangkung-kangkung itu dan mengikatnya dalam ikatan kecil. Ada juga dua orang yang di pilih Ibu untuk memotong kangkung. Semua itu Ibu lakukan demi memenuhi permintaan sebuah perusahaan kertas swasta yang beroprasi di daerah ku. Dalam satu minggu mereka bisa pesan 3 atau 4 kali sekali pesan sampai 100 ikat kangkung. Kangkung-kangkung itu di pasok untuk kebutuhan karyawan perusahaan yang menyebar di beberapa titik di wilayah hutan pinus. Pinus-pinus yang dijadikan sebagai bahan untuk membuat kertas.
Alhamdulillah dengan adanya tenaga kerja itu, tugas ku menjadi ringan. Aku pun mulai aktif di sekolah dan sudah kelas dua. Aku aktif di OSIS, Pramuka dan kegiatan belajar lainnya bersama teman-teman ku. tapi sesekali aku masih membantu Ibu, apalagi kalau hari libur semua harus ikut membantu membersihkan rumput-rumput yang tumbuh di sekitar kangkung.
Usaha Ibu terus berlanjut sampai aku masuk sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Aku masuk Sekolah SMK Jurusan Akuntasi. Sementara Ayah sudah membeli kebun kopi di desa, tapi bukan di desa tempat tinggal kami dulu. Ayah membeli kebun kopi di wilayah transmigrasi. Ayah membelinya dari seorang peserta transmigrasi yang tidak betah, kemudian menjual kebun kopinya beserta lahan kosong lainnya lalu pulang ke Pulau Jawa tempat asalnya. Sejak saat itu Ibu sering ikut Ayah ke kebun, jadilah aku yang ditugasi mengurus kebun kangkung kami, mulai dari mengurus pekerja, mengantar kangkung-kangkung ke pasar sampai aku menjalankan bisni kangkung itu dengan teman sekelas ku disekolah. Satu minggu sekali teman ku pesan kangkung sampai 300 ikat. Setiap hari sabtu ia harus mengantarkan kangkung-kangkung itu ke rumahnya, tempat ayah nya membuka usaha. Mereka memenuhi kebutuhan karyawan perusahaan di sekitar Desa Jagong, Glampang dan beberapa wilayah hutan lainnya. Uang hasil penjualan kangkung itu juga langsung aku yang mengatur nya, mulai dari kebutuhn sehari-hari dirumah, jajan dan keperluan sekolah. Aku juga harus menyisakan hasilnya dan menyetor nya ke Ibu jika Ibu sudah kembali dari kebun. Begitu seterusnya entah berapa lama, aku melakoni semuanya sambil sekolah
Tiga tahun berikutnya aku tamat SMK dan Ayah mengantarkan ku kuliah ke daerah pesisir. Aku mengambil D3 jurusan Tata Niaga. Tahun pertama aku kuliah usaha kebun kangkung Ibu ku masih berjalan dengan baik walau pun sudah ada saingan-saingan baru. Banyak penduduk di desa ku dan desa-desa sekitarnya mulai mengikuti jejak Ibu menanam kangkung dan sayur-sayur lainnya. Tapi di tahun kedua aku kuliah Ibu ku sudah tidak lagi mengelola kebun kangkung tapi sudah ikut Ayah ke kebun. Karena Ibu juga tidak sanggup lagi mengurus kebun kangkung itu sendiri ditambah lagi penghasilannya semakin hari semakin menurun. Ya sudah lah lirih ku, aku tak dapat berbuat apa-apa untuk menyelamatkan kebun kangkung yang pernah membuat ekonomi kami menjadi lebih baik. Ya sudahlah toh sekarang sudah ada kebun kopi dan Ibu dapat menanam di sana serta menjual hasilnya ke kota. Ibu ke kebun satu minggu sekali dan kembali lagi ke kota dan begitu seterusnya.
Alhamdulillah kami sudah punya mobil sendiri sebagai sarana transportasi meskipun bukan mobil mewah. Ayah membeli mobil yang bisa tahan banting di jalan hutan dan berlumpur, ya seperti jalan ke kebun kami itu. Ayah membeli mobil jeep. Aku menyebutnya mobil balap penjahat. Di tahun itu juga Ayah membeli tanah sendiri dan memindahkan bahan bangunan rumah kami ke tanah milik kami. Jadi sejak tahun 2001 kami sudah tinggal di rumah dan tanah milik sendiri, keluarga kami tidak lagi menumpang.
Satu tahun berikutnya aku menyelesaikan kuliah ku dan pulang ke kampung halaman. Sebenarnya aku minta izin untuk melanjutkan S1 tapi Ayah dan Ibu meminta ku pulang. Pikirkan adik-adikmu mereka juga harus sekolah dan kuliah, ditunda dulu S1 mu. Nanti kalau ada rejeki baru dilanjutkan lagi. Aku pulang dan mencari pekerjaan. Sebenarnya aku sudah punya rancangan apa yang akan ku lakukan setelah selesai kuliah. Aku katakan pada Ayah aku ingin punya usaha sendiri. Aku ingin membuka wartel dan usaha rental computer. Ayah menampung keinginan ku tapi belum bisa merealisasikannya karena untuk membuka kedua usaha itu butuh modal yang banyak.
Akhirnya aku bekerja di sebuah lembaga pelatihan computer sebagai instruktur dengan harapan suatu saat aku akan bisa memiliki usaha seperti ini. Satu tahun pertama aku berada di desa aku kembali memikirkan keinginan ku melanjutkan kuliah S1. Dan aku memutuskan untuk kuliah di Perguruan Tinggi Swasta di daerah ku saja. Aku bisa sambil kerja dan membiayai kuliah ku sendiri. Aku utarakan keinginan ku kepada Ayah dan Ibu. Alhamdulillah Ayah dan Ibu mendukung dan menyerahkan semua keputusan itu pada ku. Tahun 2003 aku masuk kuliah S1 tapi terpaksa pindah jurusan karena jurusan lanjutan D3 ku tidak tersedia, dan aku putuskan juga untuk kuliah jurusan Pendidikan.
Di tahun pertama dan kedua kepulangan ku sampai aku melanjutkan kuliah S1 hingga semester empat aku hidup bahagia bersama keluarga ku. Tidak ada masalah-masalah yang terlalu besar. Aku tetap membantu dan meringankan beban Ibu dengan setia termasuk membimbing dan membina adik-adik ku yang jumlahnya sudah bertambah. Keluarga ku bukan lagi keluarga kecil tapi keluarga kesebelasan sepak bola bila ditambah dengan Ayah dan Ibu. Aku sudah menjadi 10 bersaudara. Meriah sekali kalau kami berkumpul di sore hari. Aku sudah menjadi aktivis mushalla sejak aku terbina 1 tahun sebelumnya melalui perekrutan kader aktivis mushalla. Aku tidak lagi bekerja di lembaga pendidikan computer itu. Aku sudah punya computer sendiri walau Cuma dua. Aku buka rental computer di lokasi kampus, aku yang menjadi pekerja di usaha ku itu sambil kuliah dan ditengah-tengah kesibukan aktivitas ku yang lain. Termasuk aku harus membagi waktu untuk Ibu.
Pertengahan tahun 2005 sudah di lalui di tahun ini. Tapi aku melihat ada sesuatu yang tidak beres dengan Ibu. Aku merasa ada yang dirahasiakannya. Aku sering melihat Ibu menangis diam-diam. Kehilangan keceriaan, agak sensitive. Suka bernyanyi. Aku tahu Ibu ku memiliki jiwa seni tapi nyanyiannya kali ini sangat berbeda. Nyanyian-nyanyiannya sangat menyayat dan penuh makna duka yang dalam. Aku coba menyelidiki berbicara dari hati ke hati. Aku lihat hubungan Ibu dengan Ayah baik-baik saja, tidak ada pertengkaran bahkan sering pergi bersama terkadang malam hari. Aku semakin penasaran ada apa gerangan dengan Ibu? Karena aku tidak melihat ada permasalahan antara Ayah dan Ibu.
Abang dan kakak ku sudah menikah mereka sudah memiliki keluarga sendiri dan tinggal jauh dari kami walau sesekali mereka tetap berkunjung setiap ada kesempatan. Makanya Ibu hanya punya aku sebagai tempat bercerita, tapi kali ini Ibu enggan menceritakan masalahnya tapi sungguh aku mampu melihat Ibu tidak sanggup lagi menyimpannya dalam dada. dan benar saja pada suatu hari aku sengaja meluangkan waktu khusus untuk menemani Ibu dirumah. Aku ingin mencoba bicara dari hati ke hati sebagai seorang anak dengan Ibunya. Aku ingin Ibu bercerita apa yang selama ini dirahasiakan kepada ku. Hari itu hanya ada aku dan Ibu dirumah Ayah sedang berada di kebun jadi aku cukup banyak waktu untuk menemani Ibu karena tidak ada pekerjaan rumah yang terlalu repot untuk dikerjakan.
Aku hanya membantu Ibu memasak. Aku melihat rona kesedihan di wajahnya saat memasak pun, sambil bernyanyi dan tiba-tiba saja Ibu menangis tersedu-sedu kemudian memeluk ku erat. Oh Ibu lirih ku apa sebenarnya yang kau simpan selama ini, duka apa yang Ibu rasakan? Bagilah pada ku Ibu?. Aku bukan lagi gadis kecilmu, kini aku adalah gadis dewasa yang siap membantu Ibu, menjadi teman dan mendengarkan curahan hati Ibu. Jangan Ibu merahasiakan apapun dari ku Ibu. Ayo bu ceritakanlah..desak ku pada Ibu. Sambil mengusap air matanya Ibu berkata , “baiklah Ibu akan ceritakan, tapi kamu harus janji pada Ibu ini hanya akan menjadi rahasia kita berdua sampai saatnya tiba, dan setelah mendengar cerita ini Ibu meminta tidak ada yang berubah dari kamu. Kamu tetap menjadi anak yang setia penuh pengabdian, penurut dan penuh cinta serta menghormati kedua orang tua terlebih kepada Ayahmu tidak ada perubahan cinta di hatimu untuknya”. Aku tersentak kaget Ibu berkata demikian apalagi tentang cinta ku kepada Ayah, ada apa dengan Ayah?tanya ku dalam hati.
Ibu memulai ceritanya, ia kisahkan mulai dari seorang sahabat Ayah yang sedang sakit-sakitan sejak beberapa bulan terakhir. Aku mengenalnya dan rumah nya tidak terlalu jauh dari desa kami. Sejak sahabat Ayah sakit Ayah dan Ibu sering berkunjung setiap ada kesempatan. Bahkan Ayah sesekali ikut terlibat merawat sahabatnya itu. Ayah merasa kasihan awalnya karena sahabatnya itu ditelantarkan oleh anak-anaknya. Ia hanya hidup bersama istri keduanya. Istri pertamanya melarikan diri dengan laki-laki lain. Rupanya melihat kebaikan hati Ayah telah membuat istri sahabat Ayah ini jatuh cinta kepada Ayah serta mengutarakannya kepada Ayah seperti seorang putri yang sedang jatuh cinta kepada seorang pangeran pujaan hatinya. Setiap ada kesempatan saat merawat sahabatnya Ibu melihat tatapan perempuan itu kepada Ayah, seperti tak sadar kalau dihadapannya ada suami yang terbaring tidak berdaya.
Perempuan itu memang masih muda bahkan terlalu jauh perbandingan usia nya dengan suaminya. Usia sahabat Ayah ku itu memang sudah usia lanjut. Sementara Ayahku kelihatan masih sangat muda dan terlihat sangat gagah meski usianya sudah lebih dari 50 tahun. Ibu melanjutkan ceritanya. “Dan entah setan apa yang merasuki Ayahmu, Ayah mu seperti nya telah jatuh cinta.
Ayah mengatakannya kepada Ibu dengan jujur. Ayah ingin menikah dengan perempuan itu meminta persetujuan Ibu”.Ibu menahan tangisnya. Reflek aku berkata, Ibu minta cerai saja dari Ayah, aku bisa hidup tanpa Ayah dan aku juga mampu menghidupi Ibu sampai kapan pun. Ayah telah berkhianat bu, Ayah telah menghianati cinta Ibu.” Aku menangis tersedu-sedu, aku merasakan betapa pedih nya hati Ibu selama ini, aku bingung harus bagaimana? Aku teringat pesan Ibu sebelum memulai ceritanya tadi. Mampukah aku?. Apakah ada anak yang mampu tetap setia, bersikap santun dan tetap memiliki cinta yang sama terhadap Ayahnya? Bila lelaki pertama yang ia kenal dalam hidupnya telah melukai dan menghianati cinta sejatinya?, batin ku”. Pikiran ku berkecamuk, air mata ku tak dapat ku bendung sambil terus menatap bola mata Ibu, seolah aku ingin menemukan jawaban atas permintaan Ayah terhadap perempuan idola ku ini.
Ibu mengelus rambut ku, sambil berkata “Ibu sudah ceritakan semuanya, tidak ada lagi yang Ibu rahasiakan, perasaan Ibu juga lega. Tapi Ibu minta satu hal, jangan sampai Ayah mu tahu kalau Ibu sudah menceritakan ini padamu, Ayah mu meminta Ibu untuk merahasiakan nya kepada kalian semua sampai ada keputusan.
Kapan keputusan itu ada Ibu, karena pernikahan Ayah dan perempuan itu tidak akan mungkin terjadi selama ia masih memiliki suami!!. Apakah menunggu sampai suaminya yang sakit-sakitan itu mati?, kematian itu ketentuan Allah bu, biar pun suaminya sakit-sakitan belum tentu Allah akan mencabut nyawanya dalam waktu dekat, kecuali ia berniat membinasakan suaminya dengan tangannya sendiri demi cinta nafsu gilanya itu, atau apakah Ayah akan berselingkuh?. Aku kembali berang, Ibu berusaha menenangkan ku dengan lembut. Seolah aku tidak lagi melihat duka dimatanya. “Ibu menatap ku dan berkata, Untuk menjaga Ayahmu dari kemaksiatan, makanya Ibu selalu menemani Ayahmu jika Ayahmu ingin berkunjung melihat sahabatnya itu. Melihat sahabatnya Ibu bilang? Bukankah demi memuaskan hati dan melepaskan rindu untuk bertemu perempuan itu Ibu?. “Sudahlah anak ku, bersabarlah ini semua hanya ujian untuk Ibu dan kalian semua, apapun yang terjadi nanti itu adalah ketetapan Allah yang terbaik. Lalu apa keputusan Ibu? Tanya ku lagi, “Ibu akan mengizinkan Ayah mu menikah lagi dan Ibu rela di poligami demi mendapatkan imbalan syurga”. Aku terperangah mendengar jawaban Ibu.
Sejak aku mendengar cerita itu dari Ibu, aku tidak mampu menahan gejolak emosi ku kepada Ayah, untuk menghindari itu dan demi menghormati Ibu atas apa yang Ibu minta padaku. Aku memilih menghindari interaksi dengan Ayah. Aku pulang kerumah selalu waktu magrib saat semuanya sedang shalat berjama’ah, aku berwudhu dan segera masuk kamar, aku shalat sendiri di kamar. Sebisa mungkin aku selalu menghindari interaksi dan perbincangan dengan Ayah, aku yang biasa nya selalu berceloteh menceritakan semua akitivitas ku di kampus berubah menjadi tak banyak bicara.
Dua minggu berlalu sejak aku tahu cerita itu, aku meminta izin kepada Ayah dan Ibu untuk tinggal di kantor dealer sepeda motor yang baru di buka milik teman ku. Aku bekerja dibagian administrasi di sana. Ayah dan Ibu mengizinkan ku karena memang selama ini aku selalu mendapat kepercayaan dari kedua orang tua ku. Sementara Ibu memahami kondisi ku, ia izin kan aku agar aku bisa lebih tenang dan bijak menyikapi masalah ini. Baru satu minggu aku tinggal di kantor dealer aku sering rindu ingin pulang. Padahal setiap pagi Ibu selalu datang melihat ku atau sekedar mengantarkan sarapan untuk ku atau juga sayur-sayuran.
Satu bulan berlalu aku tinggal di kantor dealer memasuki minggu pertama bulan kedua aku benar-benar sudah tidak bisa menahan rindu ku ingin pulang kerumah. Pernah aku merasakan rindu yang terus menghentak-hentak di malam hari sekitar pukul 22.00 malam, aku menangis pilu dan meminta teman ku mengantarkan ku pulang. Dalam kondisi bengong dan heran teman ku mengantarkan ku pulang. Kami mengenderai sepeda motor dalam waktu 10 menit aku sampai dirumah. Aku langsung memeluk Ibu yang kulihat belum tidur masih berbincang-bincang dengan adik-adik, Ibu terkejut dengan kedatangan ku malam-malam. “Ada apa?kok malam-malam?”, Tanya Ibu. Ku pandangi terus wajah Ibu lekat, dan Ibu ku tersenyum mengerti apa yang terjadi pada diriku. Ia berkata. “Ibu baik-baik saja, pulanglah kalau banyak pekerjaan mu”. Aku memijat-mijat kaki Ibu juga tangannya, hanya 15 menit aku melepaskan rasa rindu ku. kemudian aku kembali pulang.
Tiga bulan sudah aku tidak tinggal dirumah, suatu hari aku mendengar kabar Ibu sakit. Entah sakit apa tapi Ibu sering mengeluh sakit di bagian pundak, letih dan Ibu cepat lelah. Aku memutuskan pulang kerumah saja tidak lagi tinggal di dealer, aku ingin merawat Ibu. Ibu kami bawa berobat dan Alhamdulillah sembuh. Pada suatu hari aku mencoba memberanikan diri untuk bertanya tentang masalah perempuan itu dan Ayah.”bagaimana bu apakah sudah ada jalan keluar tentang masalah Ayah dan perempuan itu? Apakah Ibu masih terus menemani Ayah untuk mengunjungi perempuan itu?. Ibu tersenyum, aku melihat itu adalah senyum bahagia dan Ibu berkata “Ayah mu sudah memutuskan untuk tidak akan menikah dengan perempuan itu, tidak akan pernah sampai kapanpun, Ayahmu berjanji tidak akan pernah meninggalkan Ibu. Hanya Ibu perempuan satu-satunya yang ia cintai. Dan sudah satu bulan ini Ayahmu tidak pernah lagi mengajak Ibu kesana, suaminya juga sudah sembuh. Mereka juga telah menjual rumahnya dan pindah ke tempat lain.”tutur Ibu dengan bahagia.
Aku kaget bukan kepalang, seolah tak percaya dengan penuturan Ibu, serta merta aku menodong Ibu dengan pertanyaan-pertanyaan lain. “kok bisa bu? Apa yang Ibu lakukan terhadap Ayah? Apakah Ibu menasehatinya? Atau…apa bu? Kenapa Ayah tiba-tiba bisa berubah seperti itu, disaat Ibu sudah rela dipoligami?..”Anakku, sapa Ibu lembut, Allah itu Maha tau, Allah telah mengatur segala jalan hidup kita. Ibu tidak pernah melakukan apapun kepada Ayahmu apalagi mencoba menasehatinya, Ibu tidak punya keberanian untuk melakukannya. Ibu hanya punya Allah satu-satunya tempat mengadu yang tiada pernah mencela, setiap saat mendengarkan isi hati Ibu. Ibu meminta, memohon berikan jalan yang terbaik. Rabb yang Maha Pengasih kasihanilah aku, Rabb yang Maha Penyayang sayangilah aku,kasihani dan sayangi suami ku, lepaskan ia dari ikatan cinta nafsu ya rabb, kembalikan kebahagian keluarga ku karena persoalan ini ya rabb. Jangan biarkan suami ku tersesat terseret nafsu. Karena pernikahan itu tidak akan mungkin terjadi jika tanpa izin Mu, itulah doa Ibu setiap saat anakku, dan Allah telah mengabulkannya”.
Aku tersedu mendengar untaian doa-doa Ibu, aku merasakan ikatan cinta seorang istri yang teramat dalam kepada suaminya, bukan sekedar ikatan cinta karena suami istri tapi lebih kuat dari itu, ikatan cinta karena Allah.
Keluarga ku kembali bersatu tanpa ada perempuan ketiga dalam hidup Ayahku, aku kembali merajut benang cintaku untuk Ayahku, aku kembali mencoba merasakan bahwa aku masih tetap mencintainya. Aku rasakan itu dan aku menemukan kembali puing-puing cinta yang sesaat pernah runtuh. Namun tiga bulan berikutnya Ibu kembali sakit-sakitan. Kami segera memeriksakan Ibu ke dokter spesialis, ternyata diagnosis sementara Ibu terkena penyakit kanker. Aku seperti disambar petir mendengar penjelasan dari dokter. Ibu harus segera di rujuk kerumah sakit provinsi untuk memastikan diagnosa lebih lanjut.
Setelah dua hari dirumah satti, Ibu dinyatakan positif kanker stadium 1. Ibu segera di oprasi akhir Februari 2006 di sebuah rumah sakit swasta secara gratis, Alhamdulillah beban biaya menjadi lebih ringan. Aku mendapatkan informasi operasi gratis ini dari seorang teman yang bekerja sebagai perawat di rumah sakit itu. Segera saja Ibu aku bawa ke rumah sakit itu. Dua minggu lamanya Ibu dirawat pasca operasi dan dinyatakan boleh pulang untuk istirahat dirumah. Karena kanker yang Ibu derita termasuk ganas, maka dokter memberikan rujukan untuk menjalani kemoterapi ke rumah sakit di luar provinsi tempat tinggal ku.
Untuk sementara menunggu jadwal kemoterapy Ibu dibawa pulang dulu untuk istirahat di rumah. Aku melihat Ayah sangat setia merawat Ibu. tak sekejap pun ia lalai, selalu berada di samping Ibu. Aku bisa melihat bola matanya, ia tidak ingin kehilangan, ia masih ingin menebus kesalahannya. Dalam hati aku berdo’a, “Ya Allah jangan kau biarkan Ayah ku menjadi orang yang selalu merasa bersalah dalam hidupnya, hapuslah kenangan kesilapannya dari dirinya ya Allah”.
Hampir dua minggu dirumah tibalah jadwal kemoterapi, Ibu harus segera dibawa ke rumah sakit yang telah dirujuk dokter. Awalnya Ibu meminta ku ikut juga, tapi keesokan harinya Ibu berkata lagi,aku tidak usah ikut, takut kuliah ku terganggu. Karena melihat kesehatan Ibu membaik, aku turuti permintaan Ibu, karena kuliah ku sudah banyak yang tertinggal, aku hanya mengirimi surat kepada semua dosen pengasuh mata kuliah. Waktu itu aku semester 6. Akhirnya yang mengantarkan Ibu adalah Ayah ditemani abang dan kakak ipar ku.
Di sana nanti ada abang anak paman ku yang juga membantu merawat Ibu. Satu bulan sudah Ibu di rawat setelah kemoterapi, abang bersama istrinya pulang, karena melihat kondisi Ibu sudah mulai pulih. kata abang Ibu sebenarnya ingin berbicara dengan kami semua dan sangat merindukan kami, tapi karena Ibu membutuhkan istirahat yang cukup, maka Ibu meminta abang untuk merekam suara Ibu di perekam suara handphone untuk melepaskan kerinduan begitu kata Ibu. Ketika abang tiba dirumah abang langsung memutar rekaman suara Ibu. Dalam rekaman itu Ibu seperti meninggalkan pesan untuk kami semua. “Anakku ..Ibu sehat-sehat, banyak-banyak berdo’a untuk Ibu, Ibu rindu sekali ingin bertemu kalian semua. Anakku kalian banyak, akur-akurlah sesaa kalian, jangan ada yang saling menyakiti dan jangan tinggalkan shalat. Anakku perhatikan shalat adik-adik mu ya?”. Ibu menutup pesannya, seperti pesan khusus untuk anak nya yang lebih di tuakan, mungkin itu untuk ku,lirih ku dalam hati.
Satu minggu setelah kedatangan abang, aku merasakan rindu yang berat menghimpit dadaku. Aku merencakan besok aku akan minta izin kepada abang untuk berangkat menggantikan abang merawat Ibu. Tapi rencana tinggallah rencana, rencana Allah lah yang lebih pasti. Hari Kamis siang Ayah menelpon ku dan bertanya dimana abang? Waktu itu abang sedang pergi menemui orang yang bersedia membeli mobil milik Ayah dan ditempat itu tidak ada signal dan abang tidak bisa dihubungi. Ayah berkata Ibu ku minta-minta pulang, aku mencoba membujuk Ibu berbicara langsung dengan Ibu, tapi Ibu terus saja minta-minta pulang. Ia tidak mendengarkan siapa pun. Yang diinginkan ibu hanya pulang. Akhirnya kami memutuskan memenuhi permintaan Ibu.
Malam itu juga Ibu dibawa pulang dengan menyewa angkutan umum di kota itu tanpa penumpang lain. Kami pun sudah tidak sabar menanti Ibu sampai dirumah, sanak family yang mendengar kabar Ibu pulang berdatangan kerumah, para tetangga juga tidak ketinggalan. Seolah-olah ada firasat tidak enak dalam hati mereka. Aku mencoba untuk tetap tenang. Tepatnya menenangkan diri. Rumah ku semakin ramai kakak sulung ku datang dan baru dihalaman rumah ia sudah menangis histeris melihat orang begitu banyak dirumahku, ia kira Ibu sudah tiba dan sudah menghembuskan nafas terakhirnya. Akhirnya kami mencoba membuat ia tenang. Kami menunggu dengan perasaan cemas bercampur harap.
Perjalanan panjang pun ditempuh baru sekitar jam 11.30 ke esokan harinya angkutan kota itu melewati perbatasan antara kota bagian pesisir dan memasuki wilayah kota ku. kami mendapatkan informasi dari sepupu ku, sekitar dua jam lagi akan sampai ke rumah waktu itu jam 12.00 siang. dan benar saja 2 jam berikutnya rombongan yang mengantarkan Ibu tiba dirumah.
Ketika angkutan umum itu berhenti di halaman rumah alangkah pilunya hati ku aku menyaksikan Ibu ku sudah terbujur kaku, ia telah meninggalkan kami selamanya. Kontan saja mebuat semua orang yang ada sudah menunggu sejak pagi menangis histeris saling beradu. Bahkan adik-adik ku sudah ada yang pingsan, kakak ku kehilangan kendali semakin histeris. Aku coba untuk tetap tenang dan ku kuatkan untuk tidak menangis. Ibu ku di tidurkan di tempat yang telah disiapkan sebagai tempat tidurnya, aku tak menyangka itu akan menjadi tempat tidur terakhirnya di dunia ini.
Aku pergi ke dapur untuk menguatkan hati, sungguh aku sakit pilu mendengar tangisan-tangisan itu. Ternyata aku malah menangis sambil bersandar ke pintu dapur rumahku. Tiba-tiba aku merasakan sekujur tubuh ku bagian sebelah kiri menjadi kaku dan kebas, aku segera sadar apa yang terjadi pada diriku. Aku segera beriistighfar dan bergegas berwuhdu kemudian mengambil Al-Qur’an dan memulai mengaji di hadapan Ibu ku. aku tak mampu menghentikan tangisan-tangisan itu. Ku coba mengeraskan suara bacaan Al-Qur’an, ku beberapa menit kemudian masing-masing mulai mengendalikan diri. Ada yang segera mengurusi yang pingsan, menenangkan yang histeris tak terkendali. Orang-orang berdatangan banyak sekali silih berganti aku tidak tahu dari mana datangnya. Semua ingin menyaksikan kepergian Ibu, atau ingin bertemu untuk yang terakhir kalinya. Aku melihat Ayah tertunduk dalam tanpa menitikan air mata, berusaha menguatkan diri.
Kemudian Ayah bangkit dari duduknya berusaha menenangkan adik-adik ku. Memberikan pengertian dan pemahaman dengan lembut kepada adik-adik ku. Kami hanya menunggu keputusan keluarga besar kami apakah Ibu langsung dimakan hari ini atau besok menunggu kedatangan adik ku Fitria yang sudah lama merantau di pulau Jawa menempuh pendidikan desainer. Akhirnya keputusannya Ibu dimakamkan sore ini juga. Sambil menunggu prosesi pemakaman tamu terus berdatangan berduyun-duyun, berkelompok-kelompok mengucapkan bela sungkawa sambil sesekali bertanya kepada Ayah hal ihwal kepergian Ibu. Ayah pun menceritakan sambil sesekali menahan tangisnya.
Pukul 4 sore prosesi pemakaman usai, Ibu segera di usung menuju lokasi pemakaman dengan ambulan kami ikut mengantarkan dengan ikhlas. Diiringi rombongan family, tetangga dan orang-orang lainnya yang begitu banyak dan tidak aku kenal. Pemakaman pun berlangsung setelah seorang ustadz memberikan nasehat kepada kami yang ditinggalkan. Pemakaman Ibu di iringi hujan yang turun rintik seolah langit merasakan kesedihan ku.
Aku tinggalkan pemakaman dengan langkah gontai sambil berucap kemudian berpaling “Selamat jalan Ibu…damailah di syurga abadi yang engkau dambakan selama hidupmu..bidadari syurga telah menantimu dipintu-pintu syurga, mengulurkan tangannya menyambut kehadiran mu, mereka adalah dayang-dayang mu yang siap melayanimu Ibu atas kesabaran dan pengabdian mu yang tulus kepada laki-laki yang pertama dan terakhir dalam hidupmu, amin.”
“Dan wanita-wanita di dunia yang beramal shaleh, ia akan memasuki syurga-syurga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai. ia akan menjadi bidadari-bidadari syurga yang cantik jelita”. Akan ku akhiri catatan kisah ku ini dengan catatan hati ku yang penuh getar kerinduan.
Pengabdian…
Aku pernah pertanyakan itu, ketika itu aku masih remaja
Aku protes padamu, kenapa hanya aku yang mengabdi
Kukatakan itu dengan sesugukan dan hati perih
Tanpa pernah mengerti perasaanmu
Tiba-tiba kau merengkuhku dalam pelukanmu
Luruh seluruh jiwaku, lantakan segala pemberontakanku
Dengan butir-butir air matamu, kau berkata
Aku yang kau cinta, segalanya merupakan cermin
Cinta mu untukku. Oh….bodohnhya aku ketika itu
Sejak saat itu hanya pengabdian yang ku miliki
Dan aku katakan padamu aku ingin selamanya bersamamu
Meski suatu saat ada orang lain dalam hidupku
Tapi kini………….
Ahh………….pengabdianku
Masihkah saat ini aku mengabdi..??
Semoga segala yang kau tinggalkan ini
Di pundak ku, di jiwa ku
Di dada ku, di perih ku, di harap ku
Di do’a-do’a ku, di getar rindu ku
Adakah pengabdian ku untukmu (07/07/10)
(Athahirah)
——
Kisah ini mulai kutulis di keheningan malam di rumah peninggalan kedua orang tuaku dengan hati perih dan deraian air mata ku. 27/07/10 sampai 28/07/10 pukul 14.39 siang
.