Oleh. Drs. Jamhuri, MA
DO’A adalah permohonan atau permintaan yang dipanjatkan kepada Tuhan tentang apa saja yang menjadi hajat si pemohon.
Permintaan atau permohonan yang berbentuk do’a dapat dilakukan dengan ucapan lisan, tindakan dan juga sikap. ini semua dapat terlihat ketika suatu ibadah dilakukan oleh setiap orang dan pada setiap waktu, terlebih orang melakukannya ketika selesai melaksanalan ibadah shalat , ibadah haji, puasa atau ibadah-ibadah lainnya.
Sementara masih banyak orang beranggapan bahwa do’a hanya dapat dipanjatkan dengan permohonan secara lisan, sedangkan melalui perbuatan dan dengan sikap belum dikategorikan sebagai do’a. Pemahaman seperti ini belumlah menjawab makna shalat secara bahasa yaitu do’a.
Shalat yang diartikan secara bahasa dengan do’a mempunyai 13 (tiga belas) rukun atau lebih sesuai dengan pemahaman masing-masing ulama, diantara kesemua rukun-rukun yang ada dalam shalat hanya ada 2 (dua) rukun yang berbentuk do’a secara lisan yaitu bacaan fatihah dan bacaan tahyat ketika akan mengakhiri shalat, selainnya dilakukan dengan gerakan atau perbuatan, seperti : takbir, ruku’, I’tidal, sujud, duduk antara dua sujud dan seterusnya. Ini menunjukkan kepada kita bahwa do’a bukanlah hanya diucapkan secara lisan tetapi juga dengan gerak.
Contoh lain dapat kita angkat dalam tulisan ini : Ketika ada orang sakit, kita sering mengangkat tangan dan menengadahkan wajah ke atas dan bermohon kepada Tuhan, agar orang yang kita kasihi, kita sayangi atau orang yang sangat berarti dalam hidup kita cepat disembuhkan oleh Tuhan dari penyakitnya. Demikian juga ketika ada musibah menimpa penduduk suatu tempat, baik karena kebanjiran, kebakaran atau juga musibah lain, semua orang berkumpul bersama meminta ampunan, pertolongan kepada Tuhan, agar semua penyakit dan musibah terhindar. Do’a yang dilakukan merupakan wujud dari pengabdian hamba kepada Tuhan, karena adanya keyakinan bahwa semua itu datangnya dari Tuhan, dan hanya Dia-lah yang mampu memenuhi apa yang menjadi hajat semua.
Ada sikap sebagian orang, ketika ada orang sakit atau terkena musibah ia tidak berdo’a secara lisan meminta permohonan kepada Tuhan untuk kesembuhan orang yang sakit atau tidak meminta bantuan secara lisan kepada Tuhan agar orang lain terbebas dari bencana, namun ia bersikap menanyakan apa yang sakit, bagaimana keadaan atau dengan tindakan yang lain, ia mengurut atau memijat mana yang perlu diurut atau dipijat, ia mengantarnya kekamar mandi, mamasakkan makanan untuk si sakit. Ia memberi atau mencari bantuan untuk mereka yang terkena bencana dan juga berbuat sesuai dengan kemampuan dan keperluan orang yang membutuhkan. Tapi tidak pernah keluar dari mulutnya permintaan untuk disembuhkan dan keringanan beban.
Ada juga yang bersikap, tidak mengucapkan permohonan kesembuhan untuk si sakit, tapi ia selalu membawa daun-daun dan buah-buahan serta makanan, dimana daun-daun dan buah-buahan yang dibawa sangat bagus/cocok untuk mengobati penyakit yang yang diderita. Sebaliknya dia tidak menyuguhkan minuman kopi kepada orang yang darah tinggi, tidak menghidangkan makanan yang manis dan bergula kepada mereka yang diabetes, dia juga tidak memberikan rokok kepada orang yang sakit paru-paru atau batuk. Ada juga orang yang bersikap terhadap orang sakit, dengan tidak meminta kesembuhan secara lisan, tidak juga menanyakan mana yang sakit juga tidak membawa apa-apa, tetapi ia selalu melihat dan menjenguk si sakit setiap ia punya waktu.
Lalu, ketika kita ingin mengelompokkan ucapan, perbuatan dan sikap sebagaimana dijelaskan, yang manakah dari katiganya yang berdo’a kepada Tuhan dan yang berharap pada kesembuhan dari Tuhan ?
Kebanyakan orang mengatakan bahwa yang berdo’a diantara mereka itu adalah orang yang meminta secara lisan, mengangkat tangan dan menengadahkan wajah ke atas, sedangkan yang lainnya bukanlan orang yang berdo’a, karena ia tidak menyebut kata permohonan dan permintaan kepada Tuhan.
Tetapi ketika kita melihat tujuan dari dari semua baik ucapan, perbuatan ataupun sikap yang ditunjukkan adalah kesembuhan dari penyakit, maka tidak bisa dikatakan sebaggian mereka berdo’a dan sebagian lagi tidak. Tidak ada penyamaan bila ada anggapan bahwa yang membaca adalah orang Islam dan yang bekerja dan bersikap bukan Islam, namun yang dimaksudkan dalam tulisan ini kesemua mereka adalah orang yang berkeyakinan bahwa Tuhan itu adalah Allah. Karenanya kita percaya bahwa apasaja yang diucapkan walaupun tidak dibaringi dengan kerja dan apasaja yang dikerjakan kendati tidak dibaringi dengan ucapan tetaplah dalam rangka hubungan (ibadah) antara makhluk dengan Khaliknya.
Dari bahasan tersebut jelaslah kepada kita bahwa ada kesesuaian antara makna shalat secara bahasa dengan jumlah rukun shalat, seperti telah disebutkan yaitu ada dua ucapan dan selebihnya adalah perbuatan, namun keseluruhannya tetap dikatakan sebagai do’a.
Pola pemahaman terhadap makna do’a sebagaimana telah diuraikan, memberi pengaruk kepada prilaku kehidupan seseorang. Mereka yang berpahaman bahwa do’a hanya dapat dilakukan secara lisan, menganggap memadai aktivitasnya dengan selalu meminta dan bermohon kepada Tuhan tanpa memerlukan adanya usaha secara fisik. Orang yang berpendapat bahwa usaha secara fisik memadai sebagai langkah mendapatkan apa yang dikehendaki dari Tuhan, akan selalu bekerja dan berusaha sampai memunculkan keyakinan bahwa semua yang dihasilkan adalah hasil usaha darinya tanpa ada keterlibatan selain dari dirinya.
Untuk itu perlu adanya pemahaman bahwa Tuhan menghendaki kedua-duanya (ucapan dan perbuatan), dan kalaupun salah satunya yang lakukan dengan harapan untuk mencapai tujuan tetap mendapatkan legalitas dari Tuhan. Yang terpenting adalah komunikasi dengan Tuhan — melalui sarana yang telah ditentukan seperti shalat, puasa, zakat dan lain-lain — tidak pernah putus.
* Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, penulis tetap di Lintas Gayo Online
.