Pacuan Kuda Era 80-an, Hari Besar Kedua Setelah Lebaran

.

Hari ini, Sabtu (25/2/2012) Pacuan Kuda memperingati hari yang katanya merupakan ulang tahun Kute Takengen yang ke 435 sudah memasuki babak semifinal. 76 ekor kuda dinyatakan berhak mengikuti banyak ini.

Acara pacuan kuda yang sekarang diselenggarakan di Lapangan Blang Bebangka ini, sejak lama sudah menjadi tradisi yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Gayo di Aceh Tengah.

Pacuan kuda pertama kali diselenggarakan di Gayo pada masa pemerintahan kolonial Belanda di Lapangan Musara Alun yang oleh masyarakat Gayo lebih dikenal sebagai “Belang Kolak”, yang secara harfiah berarti “Padang Luas”. Saat itu event ini diselenggarakan setahun sekali untuk merayakan hari ulang tahun ratu Wilhelmina yang saat itu bertahta di kerajaan Belanda.

Ketika Indonesia memperoleh kemerdekaan pada tahun 1945, event tahunan ini tetap dipertahankan tapi maksud dari penyelenggaraannya diubah menjadi perayaan kemerdekaan Republik Indonesia.

Sepanjang yang saya ingat, acara pacuan kuda selalu dilaksanakan selama satu minggu, dari tanggal 18 sampai 25 Agustus dan acara ini pun semakin digemari oleh masyarakat Gayo yang tinggal di kabupaten Aceh Tengah.

Pada waktu saya masih kecil acara pacuan kuda ini benar-benar merupakan pesta rakyat. Saat event pacuan kuda berlangsung, sekolah-sekolah diliburkan. Orang dari berbagai penjuru kabupaten Aceh Tengah, mulai dari yang memang tinggal di kota sampai yang berasal dari berbagai pelosok yang jauh dari kecamatan Linge atau kecamatan Bandar, tumpah ruah berkumpul di Takengen yang merupakan ibukota kabupaten ini. Pada perkembangannya, momen pacuan kuda telah menjadi hari besar kedua setelah Hari Raya Idul Fitri bagi masyarakat Gayo di Aceh Tengah. Bagi kami yang saat itu tinggal di Panti Asuhan Budi Luhur, pentingnya acara pacuan kuda ini benar-benar terasa. Oleh pengurus Panti, pada acara pacuan kuda ini, kami semua diberikan uang jajan lebih, supaya kami pun bisa menikmati momen istimewa ini seperti anak-anak lain yang tinggal di luar panti.

Waktu itu, bagi banyak pengunjung, termasuk saya. Daya tarik utama acara pacuan kuda bukanlah pacuannya sendiri, tapi ramainya orang yang berkunjung ke arena pacuan kuda itu.

Pada era 80-an Pacuan kuda adalah surga bagi para penjual mainan dan jajanan. Saat pacuan kuda di selenggarakan, seluruh bagian dari lapangan Musara Alun, mulai dari pinggir lintasan sampai ke tengah lapangan dipenuhi dengan tenda penjual makanan, penjual mainan, arena permainan sampai para penjual pakaian. Saat kuda sedang tidak melintas di lapangan di sekitar kita dipenuhi dengan teriakan para penjual mainan dan penganan. Beberapa di antara mereka adalah anak-anak kecil seumuran kami yang menjual tebu yang sudah dikupas di dipotong kecil-kecil dan dicucuk dengan bambu dalam ember logam yang berisi air.

Pada masa itu, saya malah tidak pernah peduli dengan kuda yang dipacu, di arena pacuan saya lebih tertarik untuk menghabiskan uang jajan saya untuk menikmati komidi putar, menikmati berbagai jajanan yang dijual orang di tempat itu. Karena semua itu tidak bisa saya nikmati setiap hari.

Dulu jika orang mengatakan Pacuan kuda, yang pertama terbayang di pikiran saya adalah Balon e’ok (balon yang berbunyi kalau dipencet), komidi putar, tebu yang dicucuk dengan bambu, kacang dan mie yang dijual di kios-kios sementara yang dibangun di seantero lapangan.

Selain oleh anak-anak kecil seperti kami, pada masa itu momen pacuan kuda juga merupakan momen yang paling ditunggu-tunggu oleh para muda-mudi di Kabupaten Aceh Tengah, karena bagi muda-mudi ini, momen pacuan kuda adalah momen terbaik untuk mencari pasangan.

Pada momen pacuan kuda, muda-mudi berbagai pelosok Aceh Tengah datang ke acara ini mengenakan pakaian terbaik yang mereka bunya, dan penampilan terkeren yang mereka bisa. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk memikat lawan jenis yang juga hadir di sana. Pada acara pacuan kuda, pemuda yang datang dari satu kampung yang sama berdiri bergerombol dengan topi dan kacamata hitam, menarik perhatian cewek yang lewat dengan suitan nakal adalah pemandangan yang lazim.

Beberapa pemuda lain, menarik perhatian lawan jenis dengan cara yang lebih elegan, entah itu dengan mendekati sang perempuan saat sedang istirahat atau mengajak ngobrol menawari minuman.

Biasanya, begitu berhasil mendapatkan pasangan. Sehabis acara pacuan kuda yang berakhir pada siang hari, muda-mudi ini melanjutkan kencan ke daerah Ujung Baro, yang jaraknya sekitar 4 kilometer dari Lapangan Musara Alun.

Saat itu, angkutan umum belum sebanyak sekarang dan sepeda motor juga masih merupakan barang mewah yang hanya dimiliki oleh kalangan berpunya. Jadi saat itu para muda-mudi yang baru menemukan pasangan itu pergi ke Ujung Baro dengan berjalan kaki.

Bagi warga desa Bale, Hakim dan Dedalu yang terletak di jalan antara Kute Takengen dan Ujung Baro, pemandangan muda-mudi yang bergandengan tangan sambil menenteng botol limun 888 produksi perusahaan minuman ringan di kota Bireun adalah pemandangan umum di masa pacuan kuda.

Beberapa pemuda bandel dari desa-desa itu kadang mengambil kesempatan pada momen itu dengan cara memeras pasangan muda-mudi yang ketahuan berpacaran di tempat sepi. Tapi adanya kejadian seperti itu, tetap tidak mengurangi minat para muda-mudi Aceh Tengah untuk mengunjungi Ujung Baro.

Imbasnya, sehabis pacuan kuda kita akan menyaksikan pesta perkawinan di mana-mana…

Begitulah momen pacuan kuda di era 80-an dan kemeriahan yang menyertainya. (Win Wan Nur)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.