Oleh Luqman Hakim Gayo*
Betapapun kacau-balaunya peperangan, toh saya harus pulang ke Indonesia. Ada kegelisahan di sela-sela kerinduan. Ternyata sudah hampir dua bulan saya meninggalkan keluarga, ikut bergabung dengan pasukan Muslim Bosnia. Bergerilya, berkunjung dari satu kota ke kota lain sambil membawa obat-obatan yang dibeli dengan uang umat Islam Indonesia.
Saya bermalam di rumah Muhammad, orang tua Mirsad, ketika itu. “Saya harus pulang besok ke Indonesia,” kata saya suatu pagi ketika kami menghangatkan periuk susu sapi. Kalau sudah hangat, dimasukkan ke cangkir lalu dihidangkan. Gula batu di atas piring kecil, dan, sejumlah tamu di teras sudah menunggu.
“Hah? Anda bergurau?” Muhammad kaget mendengar rencana saya. Lalu ia berteriak dan mengatakan kepada isterinya. Sementara isterinya juga kaget dan menyatakan kepada menantu-menantunya. Semuanya jadi kaget. Memang keluarga Muhammad terdiri dari menantu dan cucu-cucu. Ke-empat anak lelakinya ikut berperang.
“Sudah terlalu lama saya meninggalkan anak dan isteri”, kata saya. Muhammad tak mau mendengarnya, meski matanya tak berkedip melihat saya. Isteri dan para menantu sibuk di dapur, sementara dentuman senjata tidak pernah sepi. Seakan hanya beberapa meter di batas kota. Para pemuda saling bergantian ke garis depan, antara yang luka parah kembali dan yang sehat berangkat.
“Pemerkosaan ternyata bukan hanya sebuah tragedi konsekwensi dari sebuah peperangan. Tetapi, memang direncanakan. Khususnya dalam kasus ini, untuk melenyapkan bibit Muslim di Bosnia”, kata seorang bapak pagi itu. Saya tercenung mendengarnya.
Menjual pangkat dan kekayaan
Suatu kali saya dibawa berkeliling ke sejumlah firstline terdekat. Hasanovic, sang komandan, adalah bekas pegawai tinggi di Beograd, ibukota Yugoslavia itu. Tetapi sejak negara itu terpecah-pecah, dan Bosnia menjadi negara sendiri, ia pulang. “Pangkat saya lepas, rumah dan mobil saya jual, saya belikan senjata”, katanya. Bukan hanya Hasanovic dan Abdullah Faljic, tetapi banyak orang Bosnia yang tadinya sukses di Beograd, kini kembali ke Bosnia..
“Kami tidak sempat berlatih perang. Bayangkan saja, pemuda-pemuda kami disini adalah petani anggur, jagung dan penggembala sapi. Hanya segelintir yang menjadi pegawai negeri. Tidak ada yang mau, karena harus loyal kepada komunis. Mana bisa. Kami kan Islam. Biar miskin dan menderita, asal aqidah tidak tergadai,” kata Ibrahimovic.
Jangan salah, menemui Ibrahimovic tidaklah gampang. Selain dioper-oper ke sejumlah gedung, juga harus melewati beberapa ring keamanan. Saya bisa melintasi ring-ring itu dengan ringkas, karena diantar oleh Abdul Aziz, Presiden Islamic Centre dan menjadi Ketua Merhamet setempat. Bahkan Ibrahimovic sudah berdiri di belakang pintu kantornya, menunggu saya datang.
Dari menteri pertahanan ini saya banyak mendapat informasi. Bahwa, sejak masih tergabung dibawah benderaYugoslavia, warga Bosnia benar-benar seperti warga kelas dua di negerinya sendiri. Mareka jarang jadi pegawai negeri. Karena, mereka memang beragama Islam. Agama yang dibenci di Eropah, apalagi di negeri komunis sepeti Yugo itu. Mereka lebih aktif di pertanian dan peternakan.
“Tetapi sekarang, secara tiba-tiba dan mendadak harus dilatih untuk berperang. Kami siap. Anda tahu? Orang-orang Yugo melarang kami mengumandangkan azan, mereka melarang kami solat, melarang kami puasa, bahkan, melarang ke masjid.”, katanya berapi-api. Dendam ini sudah tersimpan lama. Sampai terakumulasi dan kini saatnya meledak.
“Sampai kapan perang ini akan berlangsung?”
“Kalau mau berhenti, gampang. Turunkan lambang bulan bintang di Masjid itu dan naikkan lonceng gereja. Selesai. Perang berhenti. Tetapi bukan itu yang kami mau. Kami mau mempertahankan aqidah, mempertahankan masjid, mempertahankan azan, membela salat dan puasa, dan mengumandangkan Alqurán, meskipun kami dipaksa perang. Syahid adalah cita-cita kami”, kata Ibrahimovic. Saya merinding seketika.
Memang benar. Ketika bersama Mirsad kami ke sebuah masjid, tampak rerumputan memenuhi halaman depan dan belakang. Permadaninya penuh dengan debu dan kotoran burung, dilipat serampangan. Kran tidak hidup lagi. Membutuhkan renovasi dan pembersihan yang serius, memang. Belakangan ini, sebagian pemuda mulai tidur di masjid, karena mereka harus berlatih menembak di malam hari.
Pemandangan mengharukan, ketika gerobak sapi membawa jagung yang baru dipanen. Kusir gerobak itu seorang gadis berjilbab yang menyelipkan pistol di bawah ketiak. Siap perang setiap hari dimanapun mereka berada, dan melambaikan tangan kepada saya. Pipinya merah merekah karena panas. Keringat menetes di sela-sela anak rambut dan pipinya.
Perpisahan
Malam ini saya tidak kemana-mana lagi. Istirahat dan menunggu rencana besok, yaitu meninggalkan desa ini. Tempat tidur yang disiapkan untuk saya di kamar depan rumah pak Muhammad, hampir tak pernah saya sentuh. Dibawahnya, ada puluhan granat berhamburan. Rangkaian peluru dan senjata laras panjang bergantungan di dinding. Saya ngeri sendiri. Malam ini juga saya ikut bertekuk dengkul di teras bersama kaum laki-laki yang ronda malam.
Di kejauhan tampak cahaya api menjadi bunga, lalu dentuman mewarnai malam. Perang masih terus berkecamuk. Untung kota kecil ini dibawah pertahanan para pemuda, jadi chetnik itu tidak mampu menjajah sampai ke kotanya Mirsad dan Muhammad ini. Namun wajah-wajah cemas masih saja membayang. Mereka sebagian dengan sepeda motor berkeliling, jangan sampai pemuda Serbia menelusup ke kota ini.
Pak Muhammad memang tidak kelihatan, yang biasa ikut nongkrong bersama bapak-bapak lain di halaman rumah. Menjelang subuh baru ia pulang bersama sepedanya. Belum ditanya ia sudah menunjukkan sebuah plastik bertuliskan Riza. “Saya mencari ini untuk Anda, selama ini tidak pernah ketemu nasi”, katanya. Jauh sekali ia bersepeda mencari toko yang masih buka di tengah perang begini.
Paginya, isteri pak Muhammad menghidangkan riza yang hanya satu piring itu, khusus untuk saya. Satu piring, tetapi nyaris sepanjang malam mencarinya. Padahal saya sudah tidak terbiasa lagi dengan nasi. Namun upaya pak Muhammad harus saya hargai. Saya memakannya dengan lahap, seakan-akan tidak cukup dan sangat kurang untuk perut melayu ini.
Ibu-ibu dan para menantu sudah berganti pakaian. Terus terang, hanya untuk melepas kepergian saya. Sementara Mirsad menjemput sejumlah tentara, kami berfoto ria di depan rumah. Isteri Muhammad menjabat tangan saya sambil menangis. “Allahimanit, mester Akim. Jangan lupakan kami. Datang lagi kemari, bawa isteri dan anak, ya”, katanya sambil menutup mata dengan selendang. Selendang lain menutup tangan yang menjabat tangan saya. Ia menanngis terisak-isak.
Tak berapa lama Mirsad datang dengan truknya, penuh dengan pengungsi yang bercampur dengan serdadu. Saya naik disampingnya, kemudian meluncur meninggalkan kota. Kadang-kadang terpaksa berhenti, karena adanya pasukan PBB yang anti dengan kaum muslim. Ketika kami melewati kota Gorny Wakuf, saya menangis. Kota itu sudah rata dengan tanah dan tumpukan puing. Nenek Elenovic Mamnunah entah masih hidup, tapi dimana….?
Kami melewati kota Kladanj yang dikelilingi pinus. Kota sejuk itu berada di lereng gunung pinus. Sepi. Warga kota sudah pindah ke Sarajevo, Visoko, Gradacac dan keluar negeri. Kini Hotel Kladanj di tengah kota, sudah berubah fungsi menjadi asrama serdadu Muslim. Mereka menghormati saya selaku wartawan dari negeri Muslim, Indonesia. Ada yang membuatkan kopi untuk saya. Tapi kami harus segera meluncur sebelum subuh. Embun yang pekat dan dingin harus kami kalahkan.
Akhirnya sampai juga di pantai adriatik. Semua penumpang melepas lelah, merebahkan diri di atas pasir menghadap laut yang bening. Masih terngiang kata-kata Muhammad. Orang Eropah takut kalau orang-orang Bosnia menjadi penceramah. “Bisa-bisa semua orang Eropah akan masuk Islam. Kalau penceramahnya orang dari kawasan Asia, mereka tidak takut. Penceramah Eropa yang mereka takutkan,”
Saya langsung ke hotel, di Zagreb. Memuaskan diri dengan makan nasi di restoran Cina dan merebahkan badan. Besoknya sudah antri di penjualan ticket Lufthansa, mengambil boardingpas untuk Franfurt. Saya butuh istirahat beberapa hari, barulah meneruskan perjalanan ke Jakarta.
Dari Frankfurt saya telepon ke rumah. Isteri saya menjerit, terdengar teriakannya memanggil anak-anak. “Ini ayah, ini ayah. Ayah dimana, katanya ayah sudah meninggal”, katanya sambil menangis. Lalu anak-anak bergantian menyapa. Saya menangis, tidak sabar rasanya ingin tiba di Jakarta sekarang juga.
“Kata beritanya, ada orang Indonesia meninggal dalam Perang Bosnia. Sedangkan yang ada Visa ke sana cuma ayah dari Jakarta. Semua mengira ayah sudah meninggal. Dewan Dakwah kemarin berdemo ke kedutaan Yugoslavia, minta menemukan ayah dimanapun berada…”
“Wah, saya gak apa-apa. Tunggu aja, besok saya sampai”, kata saya meletakkan gagang telepon sambil berurai air mata. Benar, ketika saya pulang disambut dengan gembira dan air mata. Baik di rumah maupun tetangga sekitar. Di kantor juga disambut dengan meriah. Saya dipamerkan di masjid kantor kami, mengingat banyaknya jemaah dari luar. Jadilah saya berkeliling, berceramah tentang Bosnia ke seluruh nusantara.
Bukan sekedar pengumpulan dana, tetapi banyak juga pemuda yang tergerak hatinya untuk ikut berjihad di Bosnia itu. Beberapa hari kemudian, ada beberapa pemuda yang datang ke kantor saya. Mereka minta diantar ke Bosnia.
Sayangnya, pintu ke Bosnia sudah tertutup. Keadaan sudah berubah. Masjid Jami Zagreb sudah diawasi ketat. Tidak ada lagi pengungsi dan lembaga-lembaga internsional. Satu-satunya jalan adalah ikut bergabung dengan pasukan resmi PBB, yang bermarkas di Trogyr. Ah, asyiknya jadi wartawan…..
*Wartawan Gayo tinggal di Jakarta