KOMPETISI dalam bahasa arab disebut dengan sabaqa. Kosa kata yang paling akrab di telinga kita adalah musabaqah (perlombaan) yang merupakan bentuk mashdar dari sabaqa. Untuk mengekspresikan sifat kompetitif tersebut, banyak wadah dan ruang untuk itu sesuai bidang atau profesi masing-masing. Pilkada Aceh adalah salah satu contoh ajang kompetisi dalam upaya menuju tampuk kepemimpinan Aceh.
Sayangnya, dari awal dimulainya proses pilkada banyak peristiwa menyayat hati dan tentunya merusak tatanan kedamaian Aceh; penembakan di beberapa wilayah Aceh awal januari lalu, pembakaran mobil tim sukses, penembakan rumah calon kontestan pilkada, dan sederetan kasus lainnya yang hampir setiap harinya terjadi di berbagai wilayah Aceh. Ini semua adalah bentuk kompetisi tidak sehat.
Berkompetisi dalam hal apapun, selama itu dalam koridor kebaikan dan ditempuh dengan jalan yang baik, sesungguhnya Islam sangat mengapresiasinya, bahkan menganjurkannya. Hal ini dapat terekam dalam salah satu firman-Nya: ‘dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya. Maka berkompetisilah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh Allah Mahakuasa atas segala sesuatu’ (QS. [2] al-Baqarah: 148).
Anjuran untuk berkompetisi dalam kebaikan sebagaimana ayat di atas merupakan bentuk kompetisi sehat, yakni kompetisi yang didasari atas motivasi (niat) yang baik dari semua peserta kompetisi, di samping prosesnya juga baik, dan jelas hasilnya pasti akan baik. Adapun bentuk kompetisi tidak sehat adalah kompetisi yang tidak didasari oleh niat dan proses yang baik, sehingga hasilnya juga nanti tidak akan baik.
Mengapa Islam menganjurkan untuk berkompetisi dalam kebaikan?, jawabannya sederhana, karena kebaikan merupakan kemauan dan kebutuhan kolektif manusia, siapa dan di mana pun dia. Bahwa kebaikan secara individu akan melahirkan iklim dan kondisi batin yang terbebas dari belenggu, rasa bersalah dan memberikan efek manfaat luar biasa terhadap kedamaian serta kenyamanan sosial.
Contoh paling sederhana mengenai kompetisi sehat adalah bagaimana rasa leganya seseorang ketika dia memenangi sebuah laga dengan modal kemampuan yang dimilikinya tanpa ada trik-trik licik, tentu sangat bahagia. Bandingkan dengan orang yang menang dengan cara curang, secara batin dia tidak akan pernah puas dangan cara yang ditempuhnya. Surga dunia adalah ketika secara batin orang tidak terjajah dengan kegelisahan, ketakutan dan rasa was-was. Sebaliknya, neraka dunia adalah kondisi batin yang dikekang oleh rasa tidak nyaman seseorang karena banyak melakukan penyimpangan.
Dalam sepak bola, kita bisa saksikan bagaimana ketatnya pertarungan sebuah kompetisi. Namun yang kita salut dari ketatnya persaingan, secara umum dalam sepak bola sportifitas dan objektifitas tetap terjaga. Lihat saja, ketika Bolton berhadapan dengan Totingham Hotspurt di laga perempat final piala FA, di mana pemain Bolton, Muamba tiba-tiba jatuh pingsan karena serangan jantung, spontan pertandingan dihentikan walaupun waktu masih panjang dan semua berdo’a untuk Muamba.
Terkait Pilkada Aceh, barangkali spotifitas dalam persepakbolaan yang sering kita saksikan, merupakan contoh ril bagaimana berkompetisi dengan baik dan sejatinya kita teladani. Para calon pemimpin kita yang ikut bertarung di tingkat kabupaten atau provinsi harus mempu membuktikan bahwa mereka mau dan mampu berkompetisi sehat. Ibarat dalam adu lari, mereka jangan sampai mengambil jalan pintas agar cepat sampai ke finish, atau mencuri start duluan.
Mengiming-imingin masyarakat dengan menghambur-hamburkan uang dengan dalih untuk pembangunan masjid, atau bantuan untuk kelompok pengajian, menjelekkan peserta lain dengan membuka aib lawan, itu semua merupakan cara kompetisi yang tidak sehat. Selain itu, cara seperti ini menunjukkan sikap pesimis para calon bahwa mereka akan menang dan kurang dukungan sehingga melakukan cara-cara tidak sehat yang kita sebutkan tadi.
Kalau pun model peserta kompetisi seperti ini yang menang, penulis yakin apa yang ditempuhnya pasca kompetisi, setelah duduk di tampuk pimpinan, dia akan banyak menempuh cara dan jalan yang tidak sehat. Sekiranya mereka menang karena ditopang oleh materi, maka mereka tetap akan berpikir sama ketika menjabat untuk mengganti rugi dari apa yang telah mereka keluarkan. Bagi peserta kontestan yang menang dengan modal kebaikan dan kepercayaan publik, tidak akan pernah pusing untuk mencari ganti rugi, kalaupun kalah ia akan berlapang hati.
Di sisi lain, kompetisi tidak sehat dalam Pilkada, akan menghancurkan sendi-sendi persaudaraan antar umat muslim, khususnya di Aceh yang merupakan wilayah syari’at. Bayangkan, gara-gara pilkada banyak orang yang terjebak dalam kelompok kecil dan berbicara atas kepentingan mereka. Padahal kita punya ‘rumah besar’ yang siap menaungi semuanya, yaitu Islam. Rasanya, keterlauan jika Aceh bergolak karena kekuasaan dan runtuhnya nilai-nilai persaudaraan.
Kemenangan dalam kompetisi di Pilkada, hemat penulis bukanlah kemenangan yang dihitung berdasarkan kuantitas, bahwa kita berhasil mengantongi jutaan suara mengalahkan yang lain. Kemenangan yang sesungguhnya dalam kompetisi di pilkada bagi semua calon adalah menjalani setiap proses dan tahapan pilkada secara objektif dan sportif dan tidak melakukan strategi kotor yang merusak pasangan lain sebagai lawan kompetisi.
Kemenangan yang sesungguhnya juga adalah kelapangan hati dalam mengakui kekalahan dan keunggulan orang lain, bahwa kita menilai saingan kita lebih layak dan wajar menjadi pemenang dalam kompetisi pilkada. Lebih jauh lagi, bahwa pilkada Aceh hanya akan memberi arti bagi peserta kompetisi dan masyarakat secara umum manakala mereka saling bahu membahu membangun Aceh.
Untuk mewujudkan kompetisi sehat dalam pilkada Aceh, semua calon yang berkompetisi serta kelompok pendukungnya sejatinya mengedepankan etika berkompetisi. Sekiranya dimensi etika semakin ditonjolkan, pasti wajah pilkada akan semakin simpati, ramah, dan cerdas sehingga lahir rasa nyaman dan bangga pada masyarakat. Fastabiq al khairat.
*Penulis adalah Warga Aceh, tinggal di Bener Meriah