Setelah kasus pencaplokan seni budaya Gayo Saman oleh Aceh, hari-hari belakangan ini,dinamika hubungan antar suku di Aceh semakin jelas bentuknya.
Bentuk yang terang benderang itu terekam pada kejadian demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa poros Leuser di gedung DPRA, sebagaimana bisa kita baca dalam berita yang dipublikasikan Harian Aceh yang potongannya saya kutip di bawah ini.
Pantauan Harian Aceh, setelah setengah jam berorasi, anggota DPRA Abdullah Saleh datang menemui mahasiswa. Tapi dia hanya ingin berkomunikasi dalam bahasa Aceh. Mahasiswa yang sebagian di antaranya tak begitu lancar berbahasa Aceh karena berasal dari suku Gayo dan Alas, meminta politisi Partai Aceh itu menggunakan bahasa Indonesia.
Tak ada kesepakatan bahasa yang digunakan, cekcok pun tak terhindarkan. “Kalian ini demonstran tak jelas, kalian bukan orang Aceh,” kata Abdullah Saleh sambil meninggalkan pengunjuk rasa, tapi tetap memantau dari kejauhan.
http://harian-aceh.com/2011/02/17/demo-desak-pengesahan-qanun-pilkada-ricuh.
Abdullah Saleh sangat benar, orang Gayo dan orang Alas itu jelas bukan orang Aceh.
Apa yang ditampilkan oleh Abdullah Saleh ini adalah sebuah kejujuran sikap yang jarang kita temui pada para politisi zaman sekarang, herannya kok banyak orang Aceh yang mencacimaki dia.
Secara pribadi, sebagai orang non Aceh tapi tanah kelahiran saya terperangkap dalam administrasi wilayah Aceh, saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Abdullah Saleh, anggota DPRA dari PA ini, sebab Abdullah Saleh telah menyadarkan saya untuk tidak pernah berhenti bersyukur, karena Allah tidak mengizinkan Aceh untuk M E R D E K A.
Sebab kalau Aceh sampai merdeka, apa jadinya kami orang-orang non Aceh yang terperangkap di dalam negara yang dikuasai oleh manusia rasis seperti ini?. Jelas kami akan dijadikan sebagai warga negara kelas dua, sebagaimana yang dialami oleh orang Cina dan Tamil di Malaysia.
Jadi apa yang terjadi saat ini, Aceh tidak merdeka meskipun telah melalui perjuangan yang panjang dan lama adalah anugerah tak terkira, bagi kami orang Gayo dan suku-suku minoritas lain yang tanah tumpah darahnya terperangkap di dalam wilayah administrasi Aceh.
Saya sepenuhnya maklum melihat sikap yang ditunjukkan oleh para politisi yang menguasai parlemen Aceh sekarang. Kalau kita mengingat bagaimana mereka mereka berjuang, menumpahkan keringat, air mata, bahkan darah untuk melepaskan segala tekanan yang diarahkan oleh negara kepada suku mereka. Untuk bisa sampai ke posisi seperti sekarang ada banyak rekan seperjuangan mereka yang meregang nyawa. Sehingga adalah sebuah sikap yang sangat manusiawi dan selayaknya kita puji, ketika mereka mendahulukan untuk mengurusi dan mensejahterakan suku mereka yang hidup cukup menderita di bawah tekanan penguasa di masa lalu, ketika mereka mendapat kesempatan untuk itu.
Kemudian ketika kita mengingat sejarah kegemilangan Aceh di masa lalu, jelas Aceh adalah sebuah bangsa yang besar, jadi kita harus maklum kalau mereka tidak merasa nyaman dengan keberadaan kami di tengah mereka, suku-suku yang tidak bisa berbahasa Aceh, suku-suku yang dalam tafsiran sejarah mereka tidak memiliki sejarah masa lalu segemilang orang Aceh yang gagah perkasa.
Cuma yang agak aneh bagi saya adalah, ketika para politisi dan penguasa Aceh yang hebat itu merasa tidak nyaman dengan keberadaan kami, orang-orang suku Non-Aceh di dalam wilayah administrasi mereka, kenapa kami suku-suku yang tidakk bisa berbahasa Aceh ini, suku-suku yang sudah jelas bukan orang Aceh tapi terperangkap dalam administrasi provinsi Aceh ini tidak dibiarkan saja membuat provinsi sendiri yang terpisah dengan Aceh?
Wassalam
Win Wan Nur
Suku Non-Aceh yang lahir di Aceh
Abdullah Saleh tak tau sejarah..
KITA TINGGAL D.NEGARA INDONESIA ANUTAN KITA PANCA SILA YG BERSELOGAN BHINEKA TUNGGAL IKA
YANG ARTINYA WALAUPUN BERBEDA BEDA KITA TETAP SATU.
makanya jangan saling menonjolkan diri dri sebelah pihak saja kalau gini jadinya kapan maju daerah kita??? mari bangkit dengan semangat nasionalisme tanpa ada perbedaan diantara kita ingat semua asal muasal manusia dari gumpalan tanah suku,agama,bahasa,dan adat itu hanya simbol sosial semata bukan untuk d.acungkan
sangat disayangkan….
Menurut sherlock homes kemampuan bermusik muncul terlebih dahulu dibandingkan kemampuan manusia untuk berbicara.
sejarah aceh maupun bahasanya yaitu tidak ada bahasa aceh,bahasa gayo,bahasa alas,dan bahasa yang ada di aceh, dulu kalau tidak salah bahasa nasional aceh adalah bahasa melayu jawi,itulah bahasa nasional aceh dahulu baik itu tinggal dipesisir maupun tinggal diseputaran daerah aceh bahasanya adalah tetap bahasa melayu jawi. orang gayo jaman dulu kalau merantau kepesisir pasti bukan bahasa aceh melainkan bahasa melayu jawi.beda dengan sekarang yang merasa bahasa aceh itu adalah bahasa nasional aceh, abdulah saleh itu orang yang tidak tahu sejarah makanya dia berkata seperti itu, kalau dipikir2 abdulah saleh itu bukanlah orang aceh melainkan orang pendatang dari suatu daerah yang tidak dikenal diaceh.seharusnya dia malu tapi harap maklum krn dia tidak tahu malu.kalau sejarah trungkap pst abdulah saleh itu akan tahu siapa sbenarnya dia. smg kebenaran itu akan trungkap. amin
Keberadaan Gayo Alas Dan suku non Aceh Lainnya yg ada dalm Wilayah Administrasi Aceh tentu saja telah memberi warna yang khas pada aceh sendiri, hal tersebut merupakan kekuatan tersendiri bagi Aceh secara keseluruhan.
Salah satu kelemahan demokrasi mungkin adalah cuma yang kuat yang suaranya di dengar. Cuma yang kuat yang kuat yang layak mendapat penghormatan, sementara lemah tidak di dengar dan kurang mendapat penghargaan, sehingga tersisihkan dalam segala hal. dengan kesadaran yang demikian yang lemah seharusnya dapat menyusun strategi yang labih jitu sehingga walaupun lemah dapat diperhitungkan juga dalam kancah perpolitikan.
Kondisi yang dapat saya pahami saat ini adalah kesadaran politik diantara suku minoritas sediri mempunyai jurang yang sangat besar. Mereka yang mempunyai kesadaran dan pemahaman politik dengan tingkat intelektual tinggi, memiliki ide-ide yang cemerlang sehingga tidak dapat dipahami dan diikuti oleh teman sejawat yang lain. hal tersebut menimbulkan prustasi yang berkepanjangan bagi yang telah melemparkan ide-ide cemerlang tersebut dampaknya adalah suku-suku minoritas terpecah menjadi bagian-bagian kecil yang tentu saja dalam konsep demokrasi diatas menjadi sangat lemah dan kurang diperhitungkan, Hal tersebut tentu saja pasti ada solusinya yaitu mereka yang bergeak lebih maju lebih melambatkan gerakannya, mendidik, memberikan pemahaman kepada rekan-rekan yang lain sehingga bermuara kepada satu aliran yang deras yang mempunyai kekuatan yang dapat diperhitungkan.
Memang pepatah menyatakan “Waktu adalah pedang, yang apabila tidak dipergunakan akan menghunus diri sendiri” atau orang barat menyatakan waktu adalah uang. Tapi untuk membangun kekuatan yang besar kita tidak dapat berpedoman kepada pepatah tersebut.
Sebenarnya dalam kasus ini, Abdullah Saleh juga tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Realitas politik di negeri ini adalah, cuma yang kuat yang suaranya di dengar. Cuma yang kuat yang kuat yang layak mendapat penghormatan.
Jadi ketika Abdu…llah Saleh berani berkata seperti itu, sadar atau tidak dia sebenarnya telah berhitung, kalau efek dari ucapannya ini paling hanya ribut sesaat. Setelah itu akan hilang dengan sendirinya.
Suku-suku minoritas ini pada kenyataannya tidak memiliki kekuatan politik apapun di tingkat provinsi. Mereka juga tidak solid sesama mereka sendiri. Pendeknya posisi tawar mereka dalam perpolitikan Aceh, rendah sekali.
Sementara itu suku Aceh yang mayoritas juga, tidak benar-benar merasa terganggu dengan pernyataan seperti ini, ada sedikit yang merasa terganggu, tapi jauh lebih banyak lagi yang menganggap hal seperti ini cuma masalah kecil dan cenderung memaklumi, dengan berbagai alasan. Entah mengatakan itu hanya ulah oknum lah, karena kurangnya pendidikan yang bersangkutan lah, dan sebagainya.
Intinya, ini bukan masalah suku Aceh, masalah Abdullah Saleh ini adalah masalah suku-suku minoritas yang memiliki posisi tawar sangat rendah.
@ wien Buntul
Bisa saja jika hal semacam ini tidak cepat di tanggapi dan harus ada tindakan tegas terhadap oknum anggpota Dewan Tersebut.
ACEH adalah satu Bambu ibarat Takaran Beras.
Namun Tanpa Gayo Alas Dan suku non Aceh Lainnya yg ada dalm Wilayah Administrasi Aceh apa artinya….
= sama dengan Kurang Takarannya…:-)
Ketika era soeharto, pemerintahan dikelola dengan sangat sentralistik, ketidak adilan dimana-mana dibidang politik, ekonomi, kebebasan mengeluarkan pendapat diberangus sedemikian rupa, sehingga muncul suatu gerakan politik dan bersenjata menamakan dirinya GAM. GAM tentu saja telah dan mempelajari sisi lemah kebijakan pemerintah di era soeharto dan mempunya konsep yang lebih baik dari yang sudah ada. Cita-cita merdeka tidak tercapai. rakyat aceh disponsori GAM diberi keleluasaan yang berbeda dalam tata kelola pemerintahan dengan daerah lain di Indonesia, dan hal tersebut merupakan langkah maju yang cukup fantastis. Tata kelola pemerintahan yang diusung tentu lebih adil, demokratis, berpemerataan dalam bidang ekonomi,politik tentunya dan berbeda 180 derajat dari era pemerintahan soeharto.
pergolakan selama ini sangat berdampak luas, korban berjatuhan, yatim piatu, orang menjadi Gila, banyak Janda-Janda muda, anak yang tidak ketahuan siapa bapaknya dan banyak lagi dampak psikologis yang dialami masyarakat Aceh, Pemerintahan yang dikuasai GAM saat ini tentu mempunyai kemampuan yang lebih dari Pemerintahan yang di tentangnya terdahulu, perlakuan yang lebih manusiawi kepada mereka, konpensasi, memikirkan kesejahteraan mereka lebih baik. Konsep Demokrasi pun tentunya lebih baik dari Rezim yang ditentangnya, di daerah aceh mempunyai beragam karakteristik yang berbeda-beda. Misal Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Sabang dan lain-lain dengan mengetahui hal tersebut maka tokoh-tokoh GAM tentu tidak mengikuti sistem yang sentralistik juga, dan tidak memaksakan kehendak karena konsep GAM tentu lebih baik dalam hal perbedaan-perbedaan tersebut, dan mengedepanpan demokrasi yang berbeda yang tentunya 180 derajat lebih baik dari pada konsep yang sudah ada. Dan apabila malah lebih buruk dari pemerintahan era soeharto, jelaslah bahwa Gerakan Aceh Merdeka hanya berorientasi kepada Kekuasaan. dan sudah saatnya rakyat aceh memberontak seperti yang mereka lakukan terhadap rezim Soeharto. Maka keadaan sekarang terbalik GAM menjadi kepajangan tangan rezim soeharto maka akan muncul gerakan baru yang menentang mereka..he..he..he
Sangat kita sayangkan sikap anggota dewan seperti itu. seolah dia lupa, bahwa banyak tokoh2 Aceh dahulu juga bukan dari Suku Aceh. Dahulu Gayo, Alas, Aceh, juga sama-sama mempertahankan tanah leluhur ini dari penjajahan Belanda.
Kepada teman2 dari Gayo, Alas, kita tetap satu, islam mempersatukan kita semua.
Perjuangkan Hak dan membela yang benar.
Sahid di Jalan ALLAH SWT.
PA Hanya memperjuangkan Perut dan Golongannya.
saya adlh blasteran suku non aceh dan sumatra (bukan gayo atau alas). sejauh ini memang terasa jelas sekali perbedaan yang ditorehkan antara aceh dan non aceh. bila ingin berbicara meleburkan perbedaan tersebut berarti berbicara kedua belah pihak itu. pertanyaannya, mau kah yang kemudian baru mengarah kepada dapat kah kita melakukannya. ketika ada kemauan dari kedua pihaknya pasti akan ada hasil yang terlihat.
hanya untuk merendahkan ego untuk bersama. . . . .
Membaca kata ketertindasan ibarat mencari tau siapa yang dulu ada dimuka bumi telur atau ayam, kita akan memasuki suatu lingkaran setan yang tidak akan ada habisnya. suku Gayo ditindas suka aceh, suku aceh ditindas suku Jawa, Suku Jawa ditindas asing(Amerika) Amerika ditindas Yahudi, Yahudi merasa ditindas Bangsa Arab Karena pengaruh Islam yang menghalangi mereka menguasai dunia dan seterusnya dan seterusnya. Sudah saat nya meninggalkan paradigma ayam telur, mari kita curahkan pikirkan kepada kebenaran, penyelewengan dan penghianatan kepada Rakyat kecil, siapa pun suku apapun yang melecehkan masyarakat, memiskinkan masyarakat dengan tingkah polah menyalahi wewenang dan jabatan kita secara beramai-ramai kita hancur kan.