Kegagalan Bukan Sebuah Kutukan

Oleh: Al Juhra*

SETIAP manusia memiliki rasa keinginan yang sangat luar biasa. Ketika keinginan itu tidak tercapai, banyak hal yang akan dipikirkan oleh manusia tersebut. Manusia akan berpikir penyebab kegagalan tersebut, manusia akan berpikir mencari solusi terhadap kegagalan tersebut. Namun, banyak juga manusia yang tidak mau berpikir kenapa dia gagal.

Hal di atas merupakan beberapa tanggapan manusia terhadap sebuah ke gagalan yang dialaminya. Jika kita tinjau dari kajian ‘urf (adat), maka kegagalan sering kali disangkut pautkan dengan keadaan keluarga (nasab). Banyak orang berpikir terlalu sempit dalam menanggapi sebuah kegagalan yang dialami oleh seseorang, sehingga kegagalan yang dihadapi orang lain, akan disangkut-pautkan dengan kedaan keluarga, apakah membandingkan dengan orangtuanya, dengan keturunan atau lain sebagainya.

Disisi lain, ketika seseorang menanggapi sebuah kegagalan orang lain, banyak hal terjadi menyangkut-pautkan dengan keadaan lingkungan atau sebuah komunitas masyarakat dimana orang tersebut berdomisi. Orang akan banyak berpikir, penyebab kegagalan yang dialami orang orang lain disebabkan karena masyarakat yang tinggal bersama orang tersebut adalah masyarakat yang selalu gagal.

Anggapan yang dikemukan di atas, terkadang akan menjadi sebuah anggapan yang terpatri dalam pikiran kita. Namun, anggapan tersebut terlalu naif bagi insan yang memiliki pendidikan.

Tujuan pendidikan adalah bagaimana kita sebagai manusia yang memiliki pemikiran, tentu keinginan dalam hati bagaimana membuat sebuah perubahan, tentunya perubahan ke arah yang lebih baik. Terkadang, kita tidak perlu merekayasa keadaan dengan selalu berteori jauh, dengan membandingkan diri kita dengan orang-orang yang katanya “jenius”. Dimana orang “jenius” tidak pernah mengalami kegagalan.

Namun, kita cukup mengambil satu teori yang dikemukakan oleh orang paling berpengaruh di dunia, yaitu teori Rasulullah Muhammad saw. Teori tersebut selalu mengiang dalam benak kita “innama bu’itstu li utammima makarimal akhlak”. Teori ini menunjukkan, bahwa tujuan hidup di dunia adalah bagaimana memperbaiki akhlak individu masing-masing, dan teori ini merupakan teori yang sangat relevan dengan dunia pendidikan.

Tentunya dalam kehidupan perlu adanya rasa keinginan untuk selalu berubah ke arah yang lebih baik, karena Islam mengajarkan perubahan ke arah yang lebih baik. Perubahan itu tentunya akan dimulai dari pribadi masing-masing, tanpa harus menyalahan pribadi orang lain. “Ibda’ bi safsik” merupakan jalan utama yang harus ditempuh dalam menuju sebuah perubahan.

Innallaha la yugairu ma bi qaumin hatta yugairu ma fi anfusihim” individu tidak akan pernah berubah, selama individu tersebut tidak ada niat untuk berubah. Jangan pernah menyerah dalam menghadapi kehidupan, hadapi tantangan kehidupan ini dengan menyadari bahwa Allah “Maha Pengasih dan Lagi Maha Penyayang”.

Jangan pernah berputus asa, jangan pernah menghambakan diri kita sudah ditakdirkan seperti ini. Rubahlah selagi itu tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Islam memeberikan ruang luas bagi kita, untuk merubah apa yang kita inginkan. “wallahu ‘alam”.***

*Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.