Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
TAHUN 1997-1998, saat masih bersekolah di SLTP Negeri 2 Bebesen (SLTP Negeri 10 Takengon sekarang), salah satu temanku, Ibnu Sina, menawarkan kaset SABA Group kepadaku. Aku sudah lupa harganya. Kalau tidak salah sekitar Rp12.000. Kemungkinan, dia salah satu pemasar kaset SABA ketika itu. Aku pun langsung mengiyakan. Hanya saja, ku tegaskan, aku tidak bisa bayar cash. Maklum, aku bersekolah dari keluarga yang terbatas. Apalagi, dua kakak ikut bersekolah, waktu itu. Dengan begitu, orang tua kami pun mesti kerja keras.
Namun, keterbatasan itu bukan halangan buat kami. Sekarang, baru kusadari, kenapa orang tua ku tidak mengizinkanku meneruskan sekulahku ke Pondok Pesanteren Darul Ulum Langsa dan SLTP Negeri 1 Takengon. Jawabannya, lebih karena faktor ekonomi. Kalau di SMP Kebet—sebutan sekolahku—otomatis, aku bisa jalan kaki dari rumah dan tidak perlu biaya tambahan.
Akhirnya, Ibnu pun, panggilan temanku tadi, menyakinkanku, kalau pembeliannya bisa dicicil. Alhasil, aku bisa memiliki kaset SABA yang salah satu anggotanya Ivan WY, yang beberapa hari lalu sudah lebih dulu menghadap-Nya. Buatku, grup musik ini cukup unik, berciri, modern, fenomenal, dan melegenda kemudian.
Namun, mereka tetap tidak meninggalkan identitas ke-Gayoannya. Khususnya, dalam saer-saer lagu yang mereka bawakan. Saernya memiliki ruh, ideologi, mengandungi nilai-nilai filsafat “mengajak berpikir,” histori, dan sosiokultural. Singkatnya, wajah Gayo masa lalu, sekarang, dan “futuristik” urang Gayo serta tanoh tembuni terefeleksi dalam lagu-lagu SABA.
Bango Iyo
Secara pribadi, aku belum pernah bertemu dengan Ivan WY tambah anggota SABA lainnya, kecuali Kandar SA. Itupun, saat aku hijrah sementara ke Jakarta. Bahkan, sampai umurku 28 tahun. Barangkali, usiaku yang masih muda. Dan, “masih anak-anak kemarin” bila dibandingkan dengan usia mereka. Tapi, aku bisa mengenal mereka melalui karya-karya mereka “lagu-lagu SABA.” Khususnya, Ivan WY alm.
Melalui lagu-lagunya, semakin mengenalkan, mengingatkan, mengajakku berpikir, merenung, berbuat, dan terus menuliskan “mewariskan” Gayo. Lebih-lebih, dalam album terakhir yang sempat “dibajak;” ama ine, bensu, bernenirin, denang, nahma ni Gayo, ike, kale,ku tunung, muk-muk^ken, pelanuk, dan yundi.
Mendengar kabar kepergiannya (15/6/2012), perasaanku persis sama saat mendengar A.R.Moese berpulang, 2007 lalu. Antara percaya dan tidak. Karenanya, kutuliskan dalam tulisan ini, sebagai wujud penghargaanku pada Ivan. Sambil mendengarkan lagu-lagu SABA, jemariku terus menyambungkan kata, kalimat, dan paragraf untuk mengenang beliau.
Saat sampai pada lirik
So bango iyo ([lihatlah] bangau [yang terbang] sore itu)
Nge ku elopen (sudah ku elopen)
Mu nemah cerite (membawa “menuturkan” kisah)
Temerbang ku langit ijo (terbang ke langit biru)
Sayang gere ne ulak (sayang, tidak lagi kembali)
Kao rakan sebet rakan ku (kamu, teman [sekaligus] sahabat ku)
Mu naring ni aku ([sudah] meninggalkanku)
Kena nge sawah janyi (karena sudah sampai janji [dengan-Nya])
Kite mu pisah i batang ruang ni (kita berpisah di batang ruang [ruang, rumah, dunia] ini)
Sebuku gere berlauh (sebuku tidak beair mata)
Lirik lagu tersebut semakin mengingatkanku pada Ivan. Pun, seperti ku katakan, aku belum pernah bertemu secara fisik. Namun, ruh lagu tadi merasuki jiwaku. Kao rakan sebet rakan ku. Mu naring ni aku. Kena nge sawah janyi Kite mu pisah i batang ruang ni. Sebuku gere berlauh. Selamat jalan bang Ivan. Cepat atau lambat, kami juga akan menyusulmu. Allahhummaghfir lahu warhamhu wa’aafihi wa’fu anhu. Ya Allah..ampunilah dia, berilah rahmat, kesejahteraan, dan maafkanlah dia. Semoga kami pun bisa terus berkarya. Lebih dari itu, menyegerakan apa yang mau kami kerjakan untuk urang serta tanoh tembuni dan sebisanya. Amin.(algayonie@yahoo.com)
*Penikmat lagu-lagu SABA dan Ivan WY alm