Lebaran, Tapi Tidak Idul Fitri

Oleh Johansyah*

Beberapa hari lagi umat Islam di seantero jagad ini akan merayakan idul fitri, yang merupakan hari raya besar Islam. Perayaan 1 syawal ini dirayakan dengan suka cita oleh umat Islam setelah mereka menjalani pendidikan dan latihan untuk menempa ruhaniyah di bulan ramadhan yang penuh berkah agar menjadi pribadi muslim yang berkualitas di mata manusia dan Tuhan.

Kendati semua umat Islam berlebaran, namun tidak ada jaminan bahwa semuanya idul fitri, atau tidak semua sukses menjadi hamba yang kembali kepada fitrah (asal mula kejadian), di mana seseorang terbebas dari dosa dan kesalahan. Kecuali itu, ketika makna idul fitri diartikan sebagai ā€˜kembali bersarapan pagiā€™, maka semua kita mendapatkannya karena ramadhan telah selesai.

Pada kenyataannya, betapa banyak orang Islam yang hanya mampu merayakan idul fitri atau lebaran sebagai pesta seremonial religious tahunan, namun mereka tidak mampu menata dirinya menjadi hamba yang lebih baik di mata Tuhan dan manusia sekitarnya. Kelompok seperti ini tentunya mereka yang gagal menjalani diklat ramadhan dan sekaligus gagal total dalam meraih tujuan akhir ramadhan, yaitu takwa.

Begitu banyak dari kita yang merayakan idul fitri dengan hanya mengedepankan aspek simbolisnya. Mereka yang mudik dari perantauan ke kampung halaman minsalnya, terkadang pulang kampung lebih dimotivasi oleh keinginan untuk rekreasi dan pamer kekayaan, bukan malah bertujuan untuk mempererat silaturrahmi, padahal idul fitri adalah momentum yang paling tepat untuk itu. Makanya ketua umum PBNU, Said Aqil Siroj, menganjurkan supaya niat mudiknya untuk bersilaturrahmi dengan orangtua, saudara, tetangga, kiai, dan guru. Jangan niatkan untuk pamer mobil baru, handphone, atau baju baru (Serambi, 13/08/12).

Terkadang lebaran bagi kebanyakan orang hanyalah prestise, bukan prestasi karena telah berhasil mengubah sikap dan perilakunya. Begitu banyak para ibu rumah tangga di akhir bulan ramadhan yang alpa dalam jamaā€™ah tarawih dengan alasan klasik, mempersiapkan kue lebaran dengan beraneka ragam modelnya. Mereka juga disibukkan dengan bongkar pasang perabotan rumah tangga dengan yang baru. Katanya, ā€˜agar tidak malu nantinya jika kedatangan tamuā€™.

Sudah menjadi kebiasaan pula, bahwa menjelang lebaran, keluarga secara umum memikirkan baju baru untuk semua isi rumah. Sebelum masing-masing anggota keluarga memperoleh baju, celana, dan sandal baru, rasanya lebaran tidak sempurna dan seolah-olah lebaran tidak sah tanpa membeli dan mengenakan baju baru.

Inilah adalah orang-orang yang gagal di bulan ramadhan, walau pun dengan begitu gembira merayakannya. Bagi mereka hari raya adalah ajang perubahan dan pembaruan dari aspek lahiriyah belaka, sementara menapikan aspek batiniyah yang merupakan esensi dari tujuan dilaksanakannya puasa.

Di balik kegembiraan orang-orang yang merayakan lebaran seperti ini sebenarnya tersirat kesialan yang mendalam; bahwa ternyata mereka hanya mampu meramaikan dan menemani orang-orang yang lebaran dan mendapat idul fitri sesungguhnya, namun tidak bisa menjadi bagian dari mereka. Ibarat pelayan restoran yang selalu menghidangkan menu enak dan nikmat, namun yang menyantapnya adalah pelanggan yang berkunjung ke sana.

Siapa Sebenarnya yang Idul Fitri?Ā 

Ā Jika sepakat dengan makna idul fitri, yakni kembali kepada fitrah (asal mula kejadian) sebagaimana kondisi anak yang baru lahir, lantas siapa sebenarnya yang idul fitri dan apakah kita menjadi bagian dari mereka? Hal ini tentu penting diketahui agar tau di kapling mana sebenarnya kita berada, apakah hanya kapling lebaran ataukah idul fitri, atau kedua-duanya?

Kelompok yang dikategorikan ke dalam idul fitri adalah mereka yang bersungguh-sungguh menjalani ibadah puasa. Sungguh-sungguh artinya mereka tidak hanya puasa dari makan dan minum, akan tetapi mampu menjadikan indera, pikiran, dan hatinya berpuasa. Puasa mereka tidak sia-sia seperti digambarkan oleh Nabi Saw; ā€œBetapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.ā€ (HR. Thabraniy).

Lebih rinci, orang-orang yang dikategorikan ke dalam kelompok idul fitri adalah; pertama, mereka yang meninggalkan perkataan yang dusta (Zur). Sebagaimana ditegaskan Nabi Saw; ā€œBarangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.ā€ (HR. Bukhari). Maka ketika berpuasa mereka sangat memahami pesan hadits ini sehingga tidak mau sesumbar dalam berbicara. Ini artinya mereka melakukan puasa bicara, yakni tidak mengeluarkan kata dusta dari mulutnya sedikitpun.

Kedua, yaitu orang berpuasa yang menjauhi perkataan yang sia-sia (laghwu). Mereka selalu teringat dengan hadits Nabi Saw; ā€œPuasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan lagwu dan rafats. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, ā€œAku sedang puasa, aku sedang puasaā€.ā€ (HR. Ibnu Majah dan Hakim).

Ketiga, yaitu orang berpuasa yang menjaga penglihatannya dari pandangan yang tidak baik. Nabi Saw bersabda; ā€œAku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah SAW Ā memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandangankuā€ (HR. Muslim).

Keempat, yaitu orang yang berpuasa berpikir dan berzikir untuk Allah. Dalam alqurā€™an orang seperti ini merupakan orang tergolong dalam ulul Albab, yakni mereka yang selalu mengingat Allah dalam semua situasi dan kondisi dan selalu berpikir atas semua mahakarya ciptaan Allah, sehingga mereka betul-betul sadar bahwa tidak ada sesuatu makhluk ciptaan yang dijadikan Allah sia-sia (QS.Ali Imran: 190-191).

Kelima, adalah orang berpuasa yang selalu menjaga hatinya dari perasaan iri, dengki, sombong, takabur, dan perasaan negatif lainnya. Hatinya selalu diliputi dengan menyebut asma Allah sehingga membuat dia selalu tenang. Sebagaimana dikatakan dalam salah satu titah-Nya bahwa bukankah dengan selalu mengingat Allah dapat membuat hati kita tenang? Inilah puncaknya puasa, yaitu puasa hati yang banyak dikatakan para ulama sebagai puasa tarekat.

Dengan demikian, orang-orang berpuasa yang sesungguhnya idul fitri adalah mereka yang secara totalitas mampu memuasakan dirinya, baik lahir maupun batin. Tidak hanya menahan lapar dan dahaga, akan tetapi menjalani Ā puasa yang paling substansial yaitu pengendalian hawa nafsu. Mereka inilah yang sesunggunya idul fitri kendati pun tanpa baju baru, mobil baru, dan hal-hal baru lahiriyah lainnya. Tidak ada yang baru kecuali sikap dan perilaku yang lebih baik dari sebelumnya sebagai cerminan orang sukses di bulan ramadhan yang meraih takwa.

Johansyah, adalah Mahasiswa S3 Pendidikan Islam IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Email: johansyahmude[at]yahoo.co.id.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.