AWAL tahun 1981 tepatnya tanggal 15 juli 1981 awal mula Rajali Jemali bin Roga membuat sejarah baru di lembah Leuser.
Sosok Rajali yang tak pernah mengenyam pendidikan sekolah dasar serta bangku sekolah wisata atau hal kepecintaalaman seperti pendidikan dasar mapala yang selayaknya seorang guide wisata.
Berbekal pengalaman sebagai petani kebun tembakau, naik turun lembah Leuser Rajali untuk kali pertama membawa tamu wisata asing yang berkebangsaan Malaysia untuk mengelilingi lembah Leuser dalam sebuah penelitian tentang berbagai macam burung yang ada dilembah Leuser.
Perjalanan yang menghabiskan waktu 3 hari atau dengan kata lain tracking tersebut rajali hanya membawa perlengkapan seadanya, perlengkapan yang bukan merupakan perlengkapan standard dalam melakukan kegiatan pegiat alam bebas.
Dengan pengalaman dan perlengkapan seadanya rajali membangun tenda dari plastik hitam yang digunakan berteduh dari hujan serta hawa dingin lembah Leuser yang pada waktu itu perlengkapan tenda dom atau perlengkapan lainnya tak mungkin untuk di sedia oleh seorang Rajali.
Ditahun yang sama setelah perjalanan pertama nya Rajali sukses membantu melakukan penelitian tentang burung bersama tamu Malaysia nya, Rajali kembali melakukan propesi baru nya sebagai guide di lembah Leuser dengan 2 orang tamu dari inggris bernama Siemen dan David untuk melakukan penelitian tentang semua satwa yang ada di lembah Leuser.
Dari sini lah awal mula nama Mr. Jaly timbul dipermukaan lembah Leuser, dari hasil bincang-bincang Rajali dan tamu nya. Karena pemanggilan nama rajali terlalu panjang maka atas dasar inisiatif 2 orang tersebut dipanggil lah rajali dengan sebutan MR. JALI.
Bukan hanya sekedar nama saja mereka memberikan ide membantu Mr, tetapi 2 orang sosok jurnalis yang bekerja di sebuah media massa inggris tersebut telah berjasa mengenalkan Mr. Jali ke dunia internasional sebagai guide Leuser dengan menyebarkan informasi melalui brosur serta informasi dari mulut kemulut tentang wisata lembah Leuser yang penuh dengan keanekaragaman hayati flora-fauna nya.
Hingga pada tahun 1987 Rajali Mr. Jali kembali membuka jalur wisata ke puncak tertinggi di Sumatra yaitu puncak Leuser. Pendakian kepuncak tertinggi Leuser dilakukan bersama dengan team ekpedisi mapala Kompas Usu Medan.
Pada waktu itu team ekpedisi melakukan pedakian pengibaran bendera merah putih dipuncak tertinggi Leuser bertepatan dengan ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke 42 tahun. Jauh sebelum nya jalur pendakian Leuser dinding tenggara pernah di lakukan oleh Wanadri pada tahun 1984. Dan kembali di rintis oleh Mr, jali pada tahun 1987 sebelum melakukan pendakian dengan mapala Kompas Usu.
Seiring dengan perjalanan waktu dan kunjungan tamu terus berdatangan mengunjungi Leuser baik untuk melakukan pendakian ke puncak Leuser atau melakukan tracking maupun haiking di lembah Leuser dalam penelitian atau menikmati panorama alam yang begitu indah selayak nya surga dunia bagi penikmat alam bebas, Ayah dari enam orang anak ini sama sekali tidak pernah menggunakan alat navigasi dan standart keamananan sama sekali.
Beberapa kali ia menemui dinas terkait untuk menyampaikan hal yang menjadi permasalahan terkait dengan standart keamanaan saat mendaki tetapi hasilnya nihil, Sangat di sayangkan pada saat kami mendengar penjelasan beliau bahwa sebagai salah seorang guide beliau tidak pernah sama sekali mendapat pendidikan dasar dalam memandu wisata dan bahkan jika memperhatikan ceritera beliau tentang medan yang di lalui bersama para tamunya beliau tidak memiliki alat navigasi, terdengar menggelitik ketika yang kami dengar adalah alat navigasi yang ia miliki sekarang adalah pemberian dari teman dekat beliau bukan dari instansi terkait, padahal jelas beliau adalah salah satu sumber di mana Kab. Gayo Lues dan Leuser pada khususnya sebagai tujuan wisata yang begitu di rindukan oleh mereka yang merindukan alam yang secara otomatis menambah pendapatan asli daerah di kabupaten tersebut.
Sekilas terlihat Mr. Jali terlihat seperti orang tua pada umumnya di kenal baik hampir seluruh masyarakat Gayo Lues pada umumnya mengenal beliau sebagai orang yang selain menjadi Guide juga sebagai pencinta Lingkungan ia juga sebagai guru Alam bagi ribuan sarjana yang membutuhkan informasi tentang jutaan kekayaan hutan Leuser baik dalam maupun Luar negri, saat kami melihat buku tamu beliau tidak sedikit para kandidat Doktor juga masih membutuhkan jasa dan pengetahuan beliau.
Ketika kami menanyakan kepada beliau apa-apa saja yang menjadi problematika ketika menjadi guide dan sebagai salah satu pelestari hutan, ini merupakan salah satu upaya untuk menciptakan kader yang cinta dan menjaga alam beliau dengan nada tegas menjelaskan bahwa jika hutan musnah apa yang akan kita wariskan pada cucu, afrika menjadi contoh real nyata bagai mana dahulu dan sekarang Jika harus merusak hutan maka semua akan mati sedikit demi sedikit menghilang jika pemerintah kurang memperhatikan maka semua akan habis untuk kepentingan sesaat jangan hanya bisanya menjual.
Dan seharusnya LSM yang bergerak di ranah lingkungan maupun LSM lain yang memiliki peran hendaknya menunjukan eksistensinya untuk hutan Leuser kesinambungan dunia.
Mr. Jali yang Tidak tamat Sekolah Dasar, tidak pandai menulis tetapi jitu dalam berbicara dalam menggunakan bahasa asing yang ia pelajari dari para tamu asingnya tersebut sambil berseloroh, mengatakan jika dia pandai mungkin saya udah jadi profesor. Dalam tiga hari mengguide Mr.Jali bisa mendapat tiga juta rupiah, tetapi untuk melayani semua tamu semua ada kode etik nya.
Dengan rasa penasaran yang begitu mendalam kami kembali menanyakan mengapa hasil temuan bapak selama perjalanan menjadi guide Kenapa tidak di bukukan? Saya takut itu di jual ke orang luar dan semua habis.
Menyekolahkan anak lewat profesi guide merupakan sesuatu yang telah di buktikan oleh MR.jali kesemua anaknya telah berhasil ia sekolahkan di universitas bergengsi di Aceh, survival (beratahan hidup) dalam menjaga ketahanan juga harus di pelajari dan difahami, begitu jelas beliau adalah salah satu syarat utuk menjadi Guide ke hutan Leuser sebagai contoh tidak ada penanak nasi tapi ingin makan dan minum tidak ada air, bagaimana mengatasinya? Pertanyaan yang sempat membuat kamis sendiri merasa bingung.
Di kediaman beliau kami bertemu dengan salah satu kader beliu Rahmat yang merupakan mahasiswa di Banda aceh yang merupakan Mapala Aktif menyesalkan jika Aceh tourism berkantor kantor di Medan, ini tentunya menghabiskan ijin biaya keluar, bayar tiket instansi pemerintahan untuk berurusan ke sana.
Masih banyak Generasi dari beliau yang terus menapaki Leuser dengan segala sesuatu yang bersifat apa adanya, pertanyaannya adalah mereka yang menjadi jembatan untuk aceh visit 2013 apakah hanya sebagai simbol ?. Kita tunggu saja.(Konadi Adhani)