Jakarta | Lintas Gayo – Terkait tumbuh-kembang seni Gayo di Jakarta, salah satu penggiat seni di Jakarta, Usman Nuzuly memberikan pendapat yang berbeda. “Betul, ada pertumbuhan. Tapi, generasi muda yang menggiati kesenian Gayo di Jakarta cenderung turun. Demikian halnya dari sisi kuantitas dan kualitas,” katanya di Jakarta Timur, Minggu (16/9/2012)
Pada masanya (1970/1980-an), katanya membandingkan, banyak anak muda Gayo yang aktif berkesenian. Disamping itu, sanggar-sanggar pun bermunculan. Bahkan, sampai mentas di TVRI dan ke luar negeri. Padahal, keadaan serba susah.
“Kami sudah punya tarif, Rp. 750.000 sekali mentas. Hampir semua hotel bintang lima sudah kami pentasi,” kenangnya bersemangat.
Sebaliknya, lanjut putra penterjemah buku Snouck Christian Hurgronje “Het Gajōland en zijne bewoners” itu, sekarang semua serba mudah. Sudah ada HP dan internet. Minimal, mereka punya sepeda motor. “Tapi, jarang anak muda yang menggeluti kesenian Gayo di sini,” keluhnya.
Masalah ini, tegasnya, perlu dibina lagi. Selain itu, penguatan dokumentasi mesti dilakukan. “Kalau tidak semuanya akan hilang,” ujar pencipta Tari Sining itu.(al-Gayoni/red.04)