Shalily, Single Parent Sukses dari Gayo

Oleh : Khalisuddin

Tepat kiranya dijadikan sebagai suri tauladan, perjuangan seorang ibu di Gayo bernama Shalily, wanita yang perkasa karena ketangguhannya menopang hidup keluarga sendiri tanpa sang suami. Menjadi single parent, membesarkan, mendidik serta mengantarkan anak-anaknya untuk hidup mandiri, punya pekerjaan dan punya keluarga.

Shalily, wanita ramah senyum dan berjilbab kelahiran Bale Atu Takengon 25 Desember 1954 silam harus ikhlas ditinggal untuk selamanya oleh sang suami tercinta, 15 Maret 1996 lalu.

M Amin K, suami Shalily hanya seorang guru berpangkat rendah di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTSN) 1 kota berhawa sejuk Takengon, meninggalkan Shalily saat delapan anak-anak buah cinta mereka sedang butuh perhatian, juga butuh biaya melanjutkan pendidikan. Dua puteri dan satu putera mereka, sedang menempuh pendidikan di bangku kuliah. Fadilah dan Zulkifli di IAIN Ar Raniry Banda Aceh dan Radiyah di Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala dikota yang sama.

Lain lagi dua anaknya, Kasturi dan Munawardi juga sedang menempuh pendidikan setingkat SMA. Kasturi dibidang kebidanan dan Munawardi di Madrasah Aliyah Negeri 1 Takengon.

Yang paling membuat Shalily dan para pelayat yang hadir saat penyelenggaraan jenazah M Amin waktu itu adalah ketika menyaksikan tiga anak lainnya yang seakan bingung dengan apa yang terjadi. Ketiganya belum sepenuhnya menyadari, status mereka telah menjadi anak Yatim, tanpa ayah selama-lamanya. Sri Rezeki dan Sri Nikmah, keduanya siswi MTSN 1 Takengon, dan Mude Angkasa masih di bangku MIN.

Hari-hari berat menjadi single farent segera dihadapi Shalily. Mengandalkan uang pensiun almarhum suaminya ternyata tidak cukup menjadi galah untuk menjangkau cita-cita Shalily dan kedelapan anaknya.

Shalily beserta anak-anaknya mengelola kebun peninggalan suami yang berjarak 3 km dari rumahnya yang sempit di kawasan Tan Saril, Bebesen Aceh Tengah. Kopi, Jeruk, Ubi Kayu, Labu Jepang dan jenis sayur-sayuran lainnya menjadi andalan tambahan penopang hidup dan belanja sekolah. “Kalau ke kebun, jangan pulang dengan tangan kosong. Bawalah suatu hasil kebun kita untuk dibawa ke pasar,” demikian pesan M Amin yang selalu terngiang-ngiang ditelinga Shalily.

Walau getir, Shalily masih sempat bersyukur, sang suami telah meninggalkan pondasi yang kuat bagi Shalily dan anak-anaknya. “Pandai-pandailah mengatur uang, rajin menabung dan pantang menyerah. Anak-anak kita Insya Allah menjadi anak berguna kelak, ” demikian kata-kata yang sering diucapkan M Amin semasa hidup.

Kedelapan anak-anak Shalily sangat tanggap terhadap keinginan dan cita-cita sang almarhum ayah dan ibu tercinta. “Rajin ibadah dan persingkat rentang waktu menjadi beban ibunda” adalah motivasi bagi kedelapan bersaudara dibawah komando Fadilah dan Zulkifli, putri dan putra tersulung Shalily.

Hari demi hari dihadapi keluarga ini dengan segala keprihatinan dan tanpa harap uluran tangan keluarga lainnya. Shalily mencari tambahan penghasilan dengan membuat penganan ringan ubi kayu yang dibudidayakan di kebun mereka. “Saat pagi, saya bekerja kekebun, malam bersama anak-anak mengolah ubi kayu jadi penganan ringan, dan esoknya sebelum kekebun saya titipkan di kios-kios,” kata Shalily didampingi salah seorang putranya, Munawardi.

Menyangkut nilai atau arti penting pendidikan, Shalily menyatakan sempat kecewa karena tidak dapat melanjutkan pendidikan kejenjang perguruan tinggi. “Saya hanya tamatan SMA. keadaan waktu itu tak memungkinkan bagi saya untuk meneruskan pendidikan. Dan saya tak ingin sejarah kekecewaan tersebut terulang kepada anak-anak saya,” ujar Shalily Selasa (22/12) malam.

Ilmu itu penting, tegas Shalily dan saat itu tak terbayang dibenak saya jika suatu saat anak-anak saya akan jadi Pegawai Negeri Sipil. “Saya seorang wanita lemah yang hanya punya tekad untuk berhasilnya pendidikan anak-anak saya. Masalah rezeki atau pekerjaan ada yang mengaturnya. Ilmu adalah modal untuk hidup,” kata Shalily.

Seiring waktu, satu demi satu putra-putri Shalily tuntaskan pendidikan. Satu persatu juga beroleh kesempatan menjadi PNS, sebuah pekerjaan yang diidam-idamkan kebanyakan orang. Shalily tak urus sana sini untuk dapatkan gelar PNS bagi anak-anaknya, semua berjalan begitu saja. “Saya tak punya kolega dan juga tak punya uang untuk meluluskan anak-anak saya menjadi PNS. Semua berjalan apa adanya sesuai kehendak Yang Kuasa,” tukas Shalily.

Enam orang anak Shalily kini berstatus PNS dan dua lainnya telah berpenghasilan tetap menjadi bidan berstatus Pegawai Tidak Tetap (PTT) di Aceh Tengah.

Kini, hari-hari Shalily dilalui dengan senda gurau bersama 9 orang cucu. Satu persatu pohon yang ditanam Shalily bersama almarhum suaminya telah berbuah. Pohon-pohon yang dipupuk dengan peluh dan deraian air mata kini telah tumbuh menjadi pohon dewasa. Ada yang sudah berbuah dan ada yang sedang berbunga.

Hanya beberapa saja yang masih menjadi beban Shalily, tiga orang anaknya belum dipertemukan jodoh oleh Yang Maha Kuasa. Dan yang paling utama sebagai pengikut ajaran Muhammad SAW, Shalily inginkan secepatnya naik Haji ke Masjidil Haram.

Kisah kegigihan Shalily ternyata diperhatikan orang lain. Tiga tahun lalu, tepatnya 22 Desember 2006, saat pemerintahan Aceh Tengah dipimpin Drs. Syahbuddin BP MM sebagai Bupati. Tanpa sepengetahuan Shalily dan anak-anaknya, pihak aparat kampung Tan Saril rupanya telah mempromosikan Shalily menjadi ibu teladan ditingkat kecamatan dan seterusnya dipromosikan oleh camat menjadi calon ibu teladan tingkat Kabupaten.

Oleh Tim selector, Shalily dinyatakan sebagai ibu terlayak menjadi salah satu contoh bagi ibu-ibu di Dataran Tinggi Gayo dalam mendidik anak. Shalily dinobatkan sebagai Ibu Teladan Aceh Tengah tahun 2006.

“Bekalilah anak-anakmu dengan ilmu, tak perlu berikan harta berlimpah. Jangan khawatirkan hidup anak-anakmu jika kamu sudah didik dia menjadi manusia yang berilmu pengetahuan,” pesan Shalily.

Sumber : http://tgj.co.id/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.