Gayo oh Gayo (bagian-2)

“Ledakan Emosi Yang Maha Dahsyat”

Oleh: Hafizul Furqan*

MENJELANG akhir acara Internastional Confrensi Gayo Kingdom (ICGK-I) kesedihan mulai terasa, berbicara tentang pengakuan pahlawan menjadi awal cerita. Gayo adalah bagian dari Indonesia, dan untuk kemerdekaan kita telah berjuang bersama-sama, tapi tak satupun orang Gayo mendapat gelar sebagai pahlawan. Salman Yoga S, pemuda Gayo yang bekerja keras untuk menuliskan sejarah dan telah 5 tahun lebih mencari, meneliti dan mengumpulkan data bahwa Gayo memiliki pejuang adalah pemateri ICGK-I selanjutnya. Pejuang-pejuang itu tidak mengharapkan pengakuan, tapi tidak selayaknya kita masyarakat Gayo dan bangsa Indonesia melupakan jasa-jasanya.

Aman Dimot boleh jadi melegenda dengan segala kisah luar biasanya dan Tgk. Ilyas Leube adalah sosok yang jelas dan bisa dibuktikan kebenaran sejarahnya, salah satunya dalam buku Salman Yoga S yang sudah memasuki tahap penelitian akhir sebelum diterbitkan.

Leube adalah gelar yang diberikan orang pesisir untuk seseorang yang mempunyai kelebihan, ini sudah menjadi indikasi bahwa Tgk. Ilyas Leube mendapat pengakuan oleh masyarakat luar.

Lagi lagi karena terbatasnya waktu hanya sedikit saja yang dapat dikupas tentang Tgk. Ilyas Leube, tapi sedikit cerita tentang beliau adalah pejuang dari Gayo yang berperang melawan penjajah, bahkan pernah di undang langsung oleh Wakil Presiden DR. Muhammad Hatta untuk misi sosialisasi proklamasi kemerdekaan bulan Agustus 1945, dimana seluruh Indonesia hanya 50 orang saja yang mendapat undangan tersebut.

Mungkin benar apa yang orang-orang bilang “di Jawa dongeng jadi sejarah, di Aceh sejarah jadi dongeng” artinya kita sangat tidak perduli dengan sejarah, menyedihkan sekali jika sejarah kerajaan Linge, perjuangan orang Gayo dan sejarah lainnya  akan terus menjadi dongeng/kekeberen sebelum tidur antara “awan dan kumpu”. Saat ini pelaku sejarahpun masih ada, tak ada salahnya jika sebagian kita menjadi pencatat sejarah itu.

Sebagai akhir dari cerita panjang yang sudah saya pendekkan ini, saya hanya mengabarkan hasil pembicaraan ICGK-I yang hanya dua hari itu, tak cukup rasanya jika membicarakan Gayo hanya dalam dua hari, tapi sudah cukup rasanya pembicaraan itu mengaduk-aduk perasaan kami sehingga menjadi luapan emosi yang tak terpikirkan sebelumnya, saya menyesal, malu, bangga, ingin memperjuangkan identitas dan bersemangat untuk memperkenalkan Gayo pada dunia sekaligus sedih, karena lama sekali, ya!! Terlalu lama untuk saya agar bisa mengenal Gayo, mengenal nenek moyang saya.

Satu hal lagi yang secara tiba-tiba terasa di ruangan ICGK-I, perasaan cinta terhadap Gayo. Selaku orang Gayo yang tinggal di Gayo saya menjadi lebih mencintai Gayo, bahkan orang Gayo yang tidak tinggal di Gayo pun berjanji untuk datang ke Gayo dan akan belajar lagi bahasa Gayo serta yang paling mengherankan orang bukan Gayo dan tidak tinggal di Gayo Ketut Wiradnyana tiba-tiba mencintai Gayo, beliau memberikan saran dan ide-ide cemerlang untuk menjaga sejarah dan perkembangan masyarakat Gayo. Subhanallah seminar singkat yang memberikan ilmu, sejarah dan cinta kepada masyarakat Gayo.

Gayo oh Gayo adalah sebuah kata dalam catatan Marcopolo yang berarti “Raja  Gunung Yang Mulia”, tak cukup dua hari untuk mengenal Gayo dan jikalaupun ada banyak hari untuk membicarakannya, maka Gayo tak cukup hanya untuk di bicarakan. Di mulai dari saya, anda dan kita semua anak Gayo, urang Gayo dan yang mencintai Gayo. Mari kita tuliskan dan kabarkan pada dunia bahwa Gayo ada, perlu untuk kita jaga. Sekecil apapun usaha kita untuk memperkenalkan dan menjaga Gayo saya yakin nenek moyang kita, orang-orang tua kita pasti akan bangga.

Tak lengkap rasanya jika kita hidup tanpa identitas. Pemateri selanjutnya adalah Ketut Wiradnyana seorang arkeolog yang dijuluki “Aman Met” oleh orang Gayo. Beliau tidak datang untuk membuktikan siapa suku pertama di Aceh atau permasalahan-permasalahan suku lainnya, Ketut datang untuk urusannya sendiri yang kebetulan bisa mengungkap identitas Gayo sebenarnya. Panjang sekali yang beliau jabarkan, butuh sejumlah buku untuk mencatatnya dan buku itu sebagian telah selesai daan sebagian lainnya sedang dalam proses cetak. Kita tunggu saja!

Ada hal menarik yang bisa sedikit saya ceritakan, yaitu tentang orang Gayo yang menurut pak Ketut sudah hidup dengan multikultural sejak lama, bahkan sebelum daerah lain melakukannya. Ini dibuktikannya dengan penemuan fosil manusia dengan dua ras berbeda, pertama ras Austronomelaniswet (Tulisannya mungkin salah) dan ras Mongolia kedua ras ini ditemukan dibeberapa daerah lain di Indonesia tapi hanya di Gayo mereka bisa bercampur.

Ini juga menjadi awal kenapa di Gayo perbedaan begitu mudah diterima, orang Gayo yang tinggal dengan tetangga Jawa bisa bahasa Jawa dan yang dekat dengan orang Aceh bisa bahasa Aceh. Dan satu lagi hipotesa beliau, bangsa Austronesia yang bergerak ke (provinsi Aceh saat ini) tiba di Peurlak dan sebagian Tamiang, kemudian mereka bergerak lagi ke (tanah Gayo saat ini) namun sebagian lagi tetap menetap di Tamiang dan Peurlak, sehingga mereka kemudian bercampur dengan pendatang lain yang datang kemudian. Sedangkan yang berada di Gayo tetap terjaga keasliannya. Perjuangan identitas menjadi problema yang mengaduk-aduk perasaan kami.(hafizulfurqan35[at]yahoo.com)

*Mahasiswa Fak. Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh asal Tingkem, Bener Meriah dan salah seorang peserta ICGK-I, Kedah Darulaman, 7-9 Oktober 2012.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.